Ingatan Penelope terbang ke satu tahun sebelum manusia serigala dan makhluk magis lainnya menyentuh radar pengetahuan gadis berambut karamel tersebut ....
(Flashback)
"Kraaak!"
Teriakan serak dari para burung gagak yang terbang berarak di langit kemerahan, mengagetkan seorang gadis seketika, "Aaah!" Dari tadi pandangannya mengarah pada semak belukar di bagian hutan terdalam, kini ia beradu pandang dengan seorang perempuan paruh baya.
Perempuan yang sedari tadi berjalan di depan Si Gadis itu, refleks membalikkan badan, tatkala mendengarkan teriakan di belakangnya, "Ada apa, Poppi?"
"Ah ... bukan apa-apa, Ma! Aku cuma kaget aja," jawab Si Gadis.
Perempuan yang dipanggil Mama itu pun kembali membalikkan badan untuk melanjutkan perjalanan, "Cuma suara burung, kan? Hati-hati jalannya! Fokus lihat depan saja!"
"Mm ... iya, Ma." Ragu-ragu Poppi menyahut ibunya. Gadis berambut mahogani itu yakin, sedari tadi ia merasa dipantau oleh sesuatu di balik semak belukar bagian hutan terdalam itu.
Paling tidak, waktu mereka tinggal dua jam lagi hingga langit benar-benar gelap. Hari itu ia lah yang menantang sendiri untuk menemani Sang Ibu mencari jamur di hutan, karena pesanan di pasar semakin banyak. Namun, karena sedari tadi ia merasa diintai sesuatu, ia tidak fokus dan terus menerus mengekor ibunya.
Sejatinya, gadis itu bukanlah penakut. Namun, bulu kuduknya sepanjang siang ini berdiri, menjawab intuisinya yang seolah sedang diikuti itu. Sesekali terdengar suara gemerisik ranting dan dahan yang membuatnya harus memasang panca indera lebih waspada.
"Krasaak!" Penelope sontak memutar tubuhnya ke arah suara ranting terinjak tersebut. Ia yakin, bahwa ada makhluk, entah manusia sama dengannya, atau yang lain, sedang tertarik dengan keberadaannya.
Gadis itu melihat sekelebatan bayangan di balik perdu tak jauh dari jalan utama tepi hutan. Sebelum melangkah lebih jauh, ia menoleh melihat punggung ibunya yang rupanya terus menjauh dengan kecepatan stabil.
Merasa masih dapat menyusul ibunya nanti, Penelope pun memberanikan diri untuk mendekat ke arah dedaunan yang tadi dilihatnya bergoyang tersebut. Tercium oleh hidungnya, ada aroma yang lain. Seperti familiar, namun tak ingat di mana ia pernah menciumnya.
Yang jelas, bau ini bukanlah dari aroma hutan itu sendiri. Memastikan bahwa area tersebut nyatanya kosong, Poppi bergegas balik arah mencari jejak ibunya. Ia masih mendengarkan suara langkah kaki di depan sana, jadi dengan setengah berlari, Penelope berusaha mengejar ibunya.
Sembari berlari, gadis itu merasakan bulu kuduknya meremang. Poppi masih yakin ada sepasang mata atau lebih yang mengintainya. Seharusnya, wilayah ini adalah daerah aman, karena setiap hari ibunya berburu jamur ke sini. Lalu, apakah yang sedari tadi seolah mengawasinya?
Penelope mau membujuk dirinya telah berhalusinasi. Namun, dahan pohon yang berderak di kanan dan kiri jalan yang dilaluinya, seolah seirama dengan laju kakinya.
Ketika ia melambat, tidak terdengar ada pergerakan di mana-mana. Namun, ketika ia bergerak selangkah saja, "Krasaak!" Terdengar lagi suara semak yang seolah disibak. Padahal, di setapak jalan ini, tidak ada ranting atau semak yang membunyikan suara ketika diinjak.
Pun semilir angin terasa aneh. Kadang tidak seperti hembusan udara biasa, melainkan agak sedikit panas dan lembab. Sangat tidak wajar, mengingat ini merupakan bulan ke sepuluh dalam kalender masehi. Musim panen jamur adalah musim gugur dan udara seharusnya mendingin.
Tak mau ambil pusing akan panca inderanya yang bisa jadi terlewat sensitif senja itu, Poppi mengayuhkan kakinya lebih gesit. Ia berhenti sejenak untuk mengambil nafas, ketika menyadari bahwa ini jelas suatu kesalahan.
Darah Penelope berdesir. Ibunya tidak mungkin berjalan secepat ini. Kesimpulannya, ia tersasar. Terengah-engah berusaha untuk tidak panik, gadis itu memutar tubuhnya untuk mencari arah teraman yang sekiranya dekat dengan jalan keluar hutan.
Dilihatnya di sebelah kiri depan sana, ada area rerumputan terbuka. Ke sanalah ia menuju. Sejurus kemudian, segenap perasaan menyesal untuk pergi berpencar segera lenyap. Poppi menemukan hamparan penuh Jamur Morels.
"Wah ... luar biasa! Ibu dan Ayah pasti akan bangga sekali," seru Penelope sambil mempercepat langkahnya menuju hamparan jamur mahal itu.
Kurang satu meter dari area yang dituju, Poppi terjengkal hingga berguling-guling. Rupanya ada sesosok makhluk besar yang berlari dengan kecepatan mengalahkan kedipan mata di depannya tadi.
Gadis yang rambutnya terjuntai menutupi mukanya itu belum mempelajari apa yang terjadi padanya, hingga ia mendengar suara derap langkah bertubi-tubi mendekat dari arah belakang. Penelope pun menyibakkan rambutnya dan menoleh ke belakang, namun belum dilihatnya sumber suara yang semakin mendekat itu.
Sementara ekor matanya menangkap sesuatu yang memandangnya di arah depan. Poppi yang masih dalam keadaan duduk itu rasanya ingin pingsan begitu mendapati seekor serigala besar tengah mengawasinya tidak jauh dari tempatnya.
Tubuh Poppi bergetar hebat. Ia merasa tak sanggup bergerak. Gadis itu bingung apakah tubuhnya yang sebegitu terguncangnya atau memang tanah ini sedang digoyang gempa.
Serigala tersebut juga tak bergeming dari tempatnya. Kepalanya dimiringkan ke samping, seolah memandangi Penelope dengan heran. Sebenarnya, ekspresi binatang buas itu lucu juga. Mengingatkannya pada Oskar, anjing jenis Elkhound, miliknya dulu ketika sedang menunggu perintah dari Tuannya.
Poppi menggelengkan kepala berusaha menyadarkannya bahwa makhluk yang mengawasinya itu bukanlah seekor anjing peliharaan. Di samping itu, suara langkah yang seolah bergemuruh di belakang kepala gadis itu juga mengirimkan hembusan angin kencang ke arahnya.
Belum sempat Penelope mengecek arah belakang lagi, ia merasa hampir diterbangkan angin. Derap langkah itu melewatinya bagaikan dua bencana alam sekaligus, gempa dan tornado.
Gadis itu harus menekuk lutut dan menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk melindungi dirinya. Detak jantungnya juga tidak kalah cepatnya memburu.
Begitu didengarnya suara langkah itu perlahan berhenti, Penelope berharap lahan tanah tempatnya duduk itu menganga dan menyedotnya ke inti Bumi. Ia ingin menghilang saja dari pada harus percaya bahwa yang berjajar di depan mata kepalanya ini bukanlah mimpi.
Gadis itu ingin mencubit dirinya untuk membangunkannya dari mimpi terburuk dalam dua puluh tahun hidupnya itu. Penelope bersumpah bahwa suara nafasnya tidak kalah keras dari para binatang buas yang kini mengerumuninya. Benar! Ia dikepung para serigala!
Tidak hanya satu atau dua, setidaknya sekawanan itu terdiri dari beberapa belas pasang mata. Alih-alih tampak kelaparan, kesemuanya terlihat penasaran. Sama seperti serigala berbulu cokelat dan perak yang pertama kali dilihatnya tadi.
Penelope benar-benar ingin berteriak memanggil Mama, tapi ia juga tak mau mencari gara-gara. Bisa-bisa, kawanan predator ini menjadi marah dan memutilasinya sebelum melahapnya hidup-hidup.
Gadis itu menelan ludah membayangkan skenario terburuk yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian, jajaran serigala di hadapannya itu tersibak. Ternyata, mereka memberi jalan serigala cokelat-perak itu untuk mendekat.
"Tuhan, selamatkan aku!" ucap Penelope begitu mendapati serigala yang memandangnya dari jauh tadi ternyata berukuran paling besar dari kawanannya. Parahnya, Si Bongsor itu kini terengah-engah mendekatinya.
Setidaknya, lingkaran kepungan itu berdiameter satu setengah meter dari tempat Poppi duduk terpaku. Namun, serigala yang seolah merupakan ketua gangnya itu kini mendekat hingga setengah meter saja jaraknya.
Berhenti. Serigala itu bahkan memundurkan kepalanya dan langkah kakinya terhenti di udara. Badan Penelope yang sedari tadi menggigil ketakutan, berangsur menghangat.
Ketakutan gadis itu menyusut perlahan, karena jika diperhatikan, gerombolan karnivora ini tampak lucu dengan mimiknya yang kebingungan. Baru saja bermaksud menegakkan posisi duduknya, Sang Pimpinan Pack tiba-tiba balik kanan dan kepungan itu pun bubar jalan.
Badai dan gempa mengiringi kepergian mereka ke arah dataran hutan yang lebih tinggi. Poppi terus menatap mengikuti mereka yang melesat hingga lenyap dari pandangan.
Gadis itu bahkan tak sadar akan kedatangan Liv, yang kini mengguncang-guncang badannya, "Nak ... Nak ... bicara pada Mama! Kau diapakan, Nak?"
Penelope yang seolah kehilangan setengah nyawanya itu menoleh dan menatap wajah ibunya lemas, "Mama ... Mama ..." Begitulah kata-kata terakhirnya sebelum kesadarannya tumbang.
"Poppi ...!"