Teriakan Penelope tertahan, tenggorokannya yang haus rasanya semakin tandus. Apalagi keadaan keseluruhannya, tak jauh lebih baik. Ia hanya mengenakan pakaian dalamnya dan seragam kafenya tadi terlalu jauh dari jangkauannya.
Mendengar teriakan putrinya, Liv membuka matanya. "Apakah itu Poppi?" Ia masih mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi.
Nafas gadis berambut karamel itu tersengal. Otak Penelope menolak menyetujui fakta yang ditangkap oleh kedua netranya, bagaimana bisa tiba-tiba ada pemuda tidur di rumahnya.
Pria tampan yang terbaring di ruangan itu tampak tidur dengan damainya dan tak terusik. "AAAAA!" Penelope berteriak lagi sambil memejamkan matanya begitu ia menyadari lagi bahwa tubuh pria itu tidak terbungkus sehelai benang pun.
Teriakan kedua ini barulah membuat Liv terbangun dan segera keluar kamar. Ia membuka pintunya dan kedua matanya langsung menuju sosok Penelope di ruang tengah.
"Ah, ya ampun ... kau sudah pulang rupanya, Pop?" tanya Liv terkesiap.
Penelope tak kuasa bergerak ataupun menjawab pertanyaan ibunya. Baru kali ini ia merasa begitu syok melebihi kejadian menjengkelkan yang dialaminya di kafe tadi.
Gadis itu hanya bisa refleks menutupi badannya yang setengah telanjang dengan kedua telapak tangannya. Namun, matanya tetap terpejam dan tubuhnya yang sedari tadi di posisi sama setelah terjengkang, menjadi gemetaran. Punggungnya setengah bersandar pada dinding ruangan, setengahnya lagi kian merosot ke lantai kayu itu.
Liv menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia geleng-geleng saja menatap pemandangan di ruang tengahnya itu.
"M-Mama ...." Terbata-bata Penelope memanggil ibunya. Ia mencoba memindai lokasi keberadaan Liv dengan mata setengah tertutup. Sementara itu, tak diduga-duga olehnya, ibu kandungnya itu justru dengan tenang menyeberangi ruang tengah.
"Ssh ... tidak apa-apa, ayo bangun!" Liv pun menolong putrinya yang tak kuasa bangkit dari jatuhnya itu.
Penelope membuka mata perlahan, menatap Liv dengan keheranan. "Kenapa Mama begitu tenang dan tidak terkejut sepertiku mendapati ada pemuda telanjang di rumah kami? Apa Mama tidak bisa melihatnya?J-jangan bilang itu h-hantu?" pikir Penelope memperparah getar tubuhnya.
Ia hanya bisa pasrah ketika ibunya itu mengangkatnya dan membenarkan posisi duduknya. "Nah, sudah," ucap Liv.
Penelope yang masih belum bisa meredakan kagetnya, makin tercengang dengan sikap ibunya yang biasa saja. "M-mama?" Namun, hanya sepenggal kata inilah yang bisa meluncur dari mulutnya.
Entah karena trauma digoda oleh pemuda berandalan di kafe tadi atau semua skenario terburuk tergambar jadi satu di pikirannya, Penelope bahkan sekarang tidak tahu apakah bisa mempercayai ibunya. "A-apa selama aku keluar rumah untuk pergi kursus dan bekerja, Mama dengan pemuda itu ...? T-tidak ... tidak mungkin. Mama bukanlah seorang perempuan tidak waras seperti itu. Hentikan pikiran konyolmu, Poppi!" debat gadis itu di dalam kepalanya sendiri.
"Iya, Sayang? Astaga ... lihat dirimu. Tunggu sebentar di sini, ya," ujar Liv sebelum meninggalkan Penelope yang dengan nanar masih menatap punggung ibunya menjauh itu.
Liv masuk ke kamar dengan menghela nafasnya yang terasa berat. "Hufh ... memang benar kata pepatah, walaupun ditutupi bagaimanapun, yang namanya bangkai pasti akan tercium juga," gumam wanita paruh baya itu lirih.
Ia segera membuka lemari, mengambil baju Penelope di tumpukan paling atas, lalu menarik selimut dari atas tempat tidur dan menyampirkannya di atas bahu sebelah kirinya. Dalam sekejap mata, ibu Penelope itu sudah keluar masuk kamar dengan piyama di tangan dan selimut di bahu. Lalu, Liv menyodorkan satu stel piyama itu ke putri semata wayangnya tersebut.
Gadis itu meraihnya, sebelum ibunya berbalik lagi memunggunginya. Manik mata kecokelatan Penelope hanya bisa mengikuti pergerakan figur di depannya itu yang kemudian menyeberangi ruangan tengah.
Ibunya itu lalu membentangkan selimut yang disampirkan ke bahunya, rupanya untuk menyelimuti tubuh pemuda itu. Penelope nyaris melotot memandang pergerakan ibunya dari belakang.
"Bagaimana Mama bisa setenang itu berhadapan dengan pria yang telanjang di depan anak gadisnya sendiri?" tanya Penelope dalam hati. Ia sendiri dengan tergesa-gesa memblusukkan atasan piyama melewati kepalanya, agar tetap bisa melihat pemandangan di depannya. Kemudian, baru ia berdiri untuk memakai celana panjangnya.
Liv sudah berbalik badan, ketika Penelope sudah selesai berpakaian. "Nah, bagus kau sudah memakai piyamamu. Kita perlu bicara."
Deg!
"Itu adalah pembukaan yang sempurna untuk mengawali sebuah pembicaraan akan sesuatu yang buruk," pikir Penelope.
Liv sudah mengambil posisi duduk bersila di hadapannya, sementara Penelope memandangnya dengan tatapan menuduh. Liv berdecak, "Bisakah kau hentikan apapun yang ada di pikiranmu itu dulu?"
Mata Penelope membola, karena merasa ibunya sudah menembus ke batinnya dan mengetahui segala perdebatan dirinya sendiri. Ia tidak menyahut, hanya berusaha menetralkan ekspresinya.
"Nak ...." Liv meraih kedua tangan Penelope, sebelum melanjutkan pembicarannya, "Dia adalah sosok yang sama yang Mama tolong lima hari yang lalu. Dia berubah."
Penelope yang sudah susah payah menentramkan rasa syoknya, kembali syok. Kuadrat.
"APA!"
***
(Flashback)
Langit sudah menggelap. Semburat awan jingga di Buana, perlahan berganti menjadi keunguan, hingga biru tua pekat rata.
Seorang wanita paruh baya yang sedari tadi membungkuk di hadapan akar pohon kokoh, menegakkan tubuhnya. "Aauw ...," erangnya begitu ia sepenuhnya berdiri.
"Pinggangku rasanya mau copot. Ya ampun, pantas saja! Hari sudah mulai malam ternyata," seloroh Liv sambil melempar segenggam jamur terakhir hari itu ke keranjangnya yang sudah penuh.
Liv yang kala itu sedang berburu jamur untuk menyambung hidup segera menaikkan keranjang terakhirnya ke atas mobil pick-up-nya. "Lumayan, hari ini dua keranjang penuh," gumamnya puas.
"Ah, di mana ya, pisau lipatku?" Liv baru menyadari bahwa peralatannya ada yang kurang satu. Ia kembali ke area semak-semak dan menyisir tepian hutan dengan pencahayaan temaram dari sinar Bulan yang sudah muncul.
"Nah, itu dia!" seru Liv begitu melihat sesuatu yang berkilauan diterpa sinar Bulan di tengah-tengah semak.
Ia segera melangkahkan kakinya menuju ke arah benda berkilauan yang dikira pisau lipatnya tersebut. Namun, tiba-tiba .... Brukk!
Liv tersandung gundukan di antara rerumputan dan ia pun terjerembab ke depan akar pepohonan. "Ugh ...," rintih wanita paruh baya itu kesakitan.
Ia pun menoleh ke belakang untuk melihat apa yang membuatnya tersungkur itu. Di detik itu juga, bola matanya seolah ingin melompat keluar dari rongganya.
Liv menemukan seekor tubuh serigala tergeletak penuh luka di tepian hutan tersebut. Darah segera mendesir ke seluruh penjuru tubuhnya. Bulu kuduk Liv pun juga meremang.
Bertemu binatang buas sedekat ini adalah salah satu hal yang paling dihindarinya. Apalagi, serigala itu ukurannya terlampau besar dibanding serigala pada umumnya.
"ASTAGA! Ini tidak mungkin bukan? Dia...." Menyadari ukuran binatang tersebut, bukannya terlarut dalam rasa takutnya, Liv malah merayap mendekat ke arah tubuh serigala itu.
Jemarinya terulur ke arah leher serigala dan ia terkaget, karena benar sesuai dugaannya, "D-dia masih hidup ...."