Liv pun tak tega membiarkan serigala besar itu terkapar sendirian. "Ah ... memang dia binatang buas, tapi kalau dalam kondisi kesakitan begini, dia juga tidak punya kekuatan untuk menyerang siapapun, kan?" monolog perempuan paruh baya itu, berusaha untuk meyakinkan keselamatan dirinya sendiri.
Firasatnya tadi mengatakan binatang itu masih hidup, karena biasanya serigala paling besar adalah pemimpin sebuah kelompok serigala dan yang paling kuat. Bisa jadi, jika pemimpinnya saja sudah terkapar, anggota kelompoknya juga tidak selamat dalam penyerangan atau apapun itu. Sehingga, serigala itu juga tidak punya tempat untuk kembali.
Liv menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang terasa tandus. Ia memejamkan mata, berharap bahwa segala keputusannya ini tidak menjadikan bumerang bagi dirinya. Dia tidak mau mati konyol, apalagi hingga mencelakakan anaknya.
Ada ikatan masa lalu yang kuat, yang menjadikan Liv dekat dan penuh kasih sayang pada hewan mamalia, biarpun ia perlu menguatkan hati untuk berdekatan dengan para karnivora. Namun, ia sendiri membayangkan betapa susahnya hidup terbuang dan tidak punya tempat untuk kembali. Apalagi di tengah musim dingin begini, persaingan mendapatkan makanan untuk bertahan hidup pasti sedang ganas-ganasnya.
Ia pun mendekat dan pertama-tama menyentuhkan ujung jemarinya pada gundukan berbulu tersebut.
Deg!
Benar, terasa masih hangat. Ternyata, Liv tidak sedang bermimpi, si buas yang malang itu memang masih hidup. Hingga seseorang yang berjiwa besar mau menolongnya, nyawa serigala itu pasti masih bisa diselamatkan. Sayangnya, Liv sudah tahu bahwa di sekitar tepian hutan tersebut, sudah tidak ada yang berkeliaran tanpa kendaraan lagi jika hari sudah gelap.
"Satu ... dua ... tiga ...." Liv menghitung dalam hati sebelum mendorong kenekatannya menyentuh lengan hewan itu. Ia membuka sebelah matanya dan mendapati hewan itu tidak bergeming.
Di masa musim dingin seperti ini, suhu bisa jadi menurun ekstrim pada saat malam hari. Binatang itu bisa-bisa terkena hipotermia hingga meregang nyawa, jika tidak segera ditolong.
Perempuan itu kemudian meletakkan lengan serigala dengan perlahan, lalu berjingkat menuju mobil pick-upnya. Liv menyalakan mesinnya begitu sudah berada di belakang kemudinya. Ia bermaksud untuk lebih mendekatkan mobilnya ke lokasi serigala itu terbaring. Sebab bagaimana pun, Liv sadar akan kekuatan rentanya yang sudah tak seberapa itu.
Kira-kira selangkah jaraknya dari tubuh serigala itu, Liv memberhentikan mobilnya. "Fiuh ...." Ia menghela nafasnya. Tindakan barusan memang sangat riskan, karena jika ia terlalu memundurkan mobilnya, bisa-bisa ia melindas makhluk malang itu.
Ia beresiko membunuhnya alih-alih menolongnya. Maka dari itu, Liv terus menerus menengokkan lehernya ke belakang keluar lewat jendela, saat memundurkan mobilnya.
"Oke, ini saatnya!" gumamnya seraya mengambil posisi di atas kepala serigala itu untuk mengangkat bahunya. Liv mencoba menyeretnya dan ternyata berhasil hingga ke belakang pick-upnya.
Ia pun segera menaikkan binatang tak berdaya itu ke mobil untuk membawanya pulang. "Satu ... dua ... tiga ... hup!" Liv menghitung lagi, seraya mengerahkan tenaganya untuk membawa tubuh berbulu yang sangat berat itu ke atas pick-up-nya.
"Fiuh!" Liv merasa lega dan menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya. Ia kemudian berlarian kecil menuju ke dalam mobil dan keluar dengan selimut rangkaian kain perca di tangannya. Liv membungkus tubuh serigala pingsan itu agar tidak kedinginan. Lalu, ia mengemudikan mobil menuju rumahnya.
Hanya butuh waktu lima menit untuk tiba di rumah mungilnya. Ia merasa bersyukur tinggal di lantai satu rumah susun tersebut, sehingga di saat seperti ini, Liv bisa dengan mudah untuk menyeret hasil buruannya dan memasukkannya ke dalam rumah.
Liv kemudian segera turun dari mobil yang diparkir tepat di depan pintu rumahnya, lalu ia meninggalkan mesinnya masih menyala. Kemudian, perempuan itu memutar kunci untuk membuka pintu rumah dan membiarkan rumahnya dalam keadaan terbuka untuk memberikannya akses masuk.
Ia kemudian menghitung lagi dalam hati dan bersiap untuk menyeret binatang malang itu menuju ke dalam rumahnya. Ketika sampai di ruang tengahnya, bulu dari binatang itu memang sudah agak lembab dan setengah basah. Liv buru-buru segera mengelap tubuh berbulu tersebut dengan selimut yang menutupinya.
Kemudian, ia segera menaikkan temperatur pemanas ruangan di rumahnya dan menaruh selimut setengah basah itu di tempat cucian. Liv segera menangani luka-luka di tubuh serigala tersebut dan membebatnya dengan kain perca apapun yang ia punya.
"Aku pulang!" seru Penelope yang langsung masuk dari ambang pintu yang terbuka. Begitu terkejutnya Penelope, saat menemukan sosok mumi serigala berbaring di ruang tengah rumahnya. "AAAAAA ... APA ITU?"
Penelope adalah putri semata wayang Liv, wanita yang menolong serigala dan membebat luka di sekujur tubuhnya itu. Liv pun akhirnya menjelaskan kronologis penemuan serigala itu. Ibu Penelope tersebut membujuk anaknya atas dasar kasih sayang pada sesama untuk merawat bersama makhluk buas yang sekarat itu dan gadis tersebut pun menurut padanya.
Lima hari terbujur dalam keadaan tak sadarkan diri, baik Liv, maupun Penelope bergantian merawat dan memberi makan serigala itu. Hingga, mereka rasa sudah saatnya melepas perban dari tubuh serigala tersebut.
***
Ternyata, tanpa sepengetahuan mereka berdua, serigala yang kondisinya semakin membaik itu pun bertransformasi kembali menjadi sosok manusia. Liv pun terhenyak menyimpulkan fakta itu sebenarnya, tapi ia hanya berusaha tenang di depan putrinya yang shock setengah mati tersebut.
"T-tidak mungkin. Mama jangan bercanda, ya!" Penelope berseru dengan ketus.
"Nak, Mama juga baru paham sekarang. Memang ada yang seperti itu, Nak. Mama ini yang tidak bisa membedakan mana serigala asli dan yang bisa berubah," jelas Liv jujur. "Selesai sudah, kebenaran sudah kukatakan pada Poppi," batinnya.
"Kalau begitu, kita bangunkan dia dan suruh dia segera pergi dari rumah kita, Ma!" jerit Penelope.
"Ya ampun, Nak, sabar dulu, sabar ...." Liv berusaha menenangkan histeria puterinya tersebut.
Terjadi perdebatan antara Liv dan Penelope untuk mempertahankan keberadaan manusia serigala itu di rumah mereka. "Biarkan dulu? Mama mau berharap apa? Giliran dia balas budi dengan memakan kita?"
"Nak, Mama yakin tidak seperti itu. Kumohon, tenanglah dulu!" Nada Liv meninggi.
"Tidak seperti itu bagaimana? Memangnya Mama tahu?" Penelope benar-benar terpancing lagi emosinya.
"Tahu!" Liv kemudian berusaha menjelaskan ke Penelope bahwa ini bukan pertama kalinya mengalami hal demikian, jadi ia masih ingin menolong sosok magis tersebut.
"Bayangkan, Nak, ini musim dingin. Sangat susah baginya untuk bertahan hidup di luar sana kalau belum pulih benar. Kita sama saja dengan membunuhnya!" tegas Liv meminta pengertian putrinya.
"Oh, lalu Mama lebih memilih dia yang membunuh kita duluan, begitu?" sarkas Penelope.
"Poppi! Dia pasti bukan seorang pembunuh! Mama tidak pernah mendengar korban jiwa karena serangan serigala selama kita tinggal di sekitar sini!" Liv kembali mengulang kalimatnya.
Sementara Penelope membatin bahwa ibunya itu tidak jujur padanya dari awal dan malah membuat nyawa mereka terancam akan kehadiran manusia serigala di rumah mereka. "M-mama ... Mama ... s-sudah berbohong, kan? Kenapa Mama bisa setenang itu? Hiks ...." Tiba-tiba air mata gadis itu leleh di kedua pipinya. Ia merasa terkhianati.
Liv pun memaparkan sekali lagi, "Ya ampun, Poppi Mama yang Manis, Mama bersumpah demi apapun, Mama berkata sejujurnya bahwa Mama pun tidak menyangka, jika serigala yang Mama selamatkan itu adalah manusia serigala. Tapi, karena sejujurnya Mama sudah pernah mengalami hal yang sedikit serupa dengan ini, Mama jadi tidak seterkejut dirimu, Nak."
"Hiks ... Mama ...." Bibir Penelope gemetar menahan amarah. "Kenapa Mama baru cerita soal itu sekarang? Huhuhu ... Mama tahu sudah berbulan-bulan aku dirundung phobia serigala dan baru saja pulih belakangan ini, tapi Mama malah baru bilang semuanya. Kenapa, Ma? Kenapa? Huhuhu ...."