Karan mengumpat dengan kasar sambil melemparkan kubik terbuat. Namun Detektif Ze mencegahnya agar tidak tersulut emosi.
Sementara itu, Jeki dengan Hritik berhasil kabur dan meninggalkan Karan dengan membawa berlian curiannya.
"Waww!!!! Mantap sekali Hritik, misi pertamamu berhasil. Ini bayaran untukmu, sesuai janji saya memberikan sisanya." Edward memujinya.
Hritik termasuk yang berbakat sebagai mafia pembunuh bayaran, dia berhasil dalam satu malam untuk membunuh sang gadis.
Selain itu, dia dan juga Jeki berhasil mengambil berlian tersebut.
"Terima kasih, Bos."
"Jangan senang dulu, kamu akan menyelesaikan misi kedua. Kali ini aku tidak mau kamu langsung membunuhnya, tapi mencoba menjadi rekan kerjanya terlebih dulu."
"Kenapa?"
"Dia sangat berbahaya, kamu tidak akan mudah untuk membunuh orang ini."
Edward menjatuhkan sebuah foto di atas meja, "Alexander Abraham, seorang pengusaha batu bara cukup terkenal. Dalam dunia bisnis dia dikenal sebagai Bram. Ia sangat kaya raya, hanya saja lelaki ini terlalu tamak dalam berbisnis. Misi kali ini, kamu akan di temani oleh gadis cantik," ujarnya sambil memanggil sang gadis.
"Eliza Zaafira," panggil Edward.
Seorang wanita cantik keluar di belakang pengawal Edwar, dengan gaya centil tapi ganas. Gadis itu berdiri di antara dua lelaki yang tampan ini, Hritik dan Jeki.
Eliza, seorang detiktif sekaligus pembunuh bayaran yang sering menyamar.
"Gadis ini sangat cantik, tapi juga berbahaya. Dia akan menjadi racun bagi siapapun yang mendekatinya, Eliza menyamar sebagai sekretaris baru Alexander. Kalian berdua akan menyamar sebagai klan baru Eliza." Edwar menjelaskan planning kerja mereka.
"Perlu kalian ketahui, Eliza ini sebelumnya menyamar di sebuah hotel berbintang tempat Jeki bekerja. Namun, seseorang telah merusak wajahnya. Sehingga dia harus di operasi dan mengubah wajah cantik sebelumnya."
"Lalu kapan rencana pembunuhan itu?" tanya Hritik.
"Tunggu waktunya mereka lengah, tapi jangan tergesa-gesa. Mereka sangat berbahaya, hidup kalian terancam jika bersikap gegabah. Besok kalian sudah mulai bekerja, semua perlengkapan sudah siap dan jadwal meeting pertama sudah dirancang."
"Baiklah, Bos. Kita akan mulai bekerja besok,"
Setelah semua rencana itu dijelaskan oleh Edward, mereka pamit pulang. Seperti biasa, Hritik dan Jeki pulang bersama, kali ini Eliza juga ikut serta.
Entah datang dari mana gadis ini, tapi dia adalah ular berbisa yang perlu diwaspadai.
Jeki dan Hritik mengantar Eliza pulang ke apartemennya, dia seperti gadis biasa sepintas. Tapi di balik wajah polosnya, gadis itu begitu misterius dan sulit untuk ditebak.
"Bye Jek, Hritik!!"
Eliza melambaikan tangan setelah keduanya mengantar sampai ke apartemen.
"Kenapa aku merasa bahwa gadis ini sangat berbahaya Jek?" Hritik memulai percakapan.
"Eliza maksudnya?"
"Ya, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan gadis ini."
"Sangat berbahaya memang, ular berbisa. Kasus pembunuhan yang dilakukan sangat tragis dan mengerikan, dia pembunuh berdarah dingin. Beberapa orang bukan hanya dibunuh, tap dimutilasi." Jeki menjelaskan.
Hritik bergidik, mengerikan sekali bermasalah dengan gadis ini. Sangat berbahaya berurusan dengannya.
Tapi, bukan itu yang dipikirkan Hritik. Dia merasa bahwa dibalik misi pembunuhan kedua yang akan dilakukannya, ada misi lain yang bertentangan dengan bos mafia.
"Turun di depan atau mau di antar sampai rumah?" tanya Jeki saat keduanya hampir sampai rumah Hritik.
"Di depan saja, aku tidak ingin anak dan istriku curiga. Ini sudah cukup malam, aku rasa tidak banyak yang akan melihat aku pulang di jam segini.
Jeki mengangguk, "baiaklah, aku mengerti," ujar Jeki sambil menghentikan laju mobilnya.
Hritik turun dari mobil dengan pakaian yang cukup rapi, dia sempat mengganti baju saat di dalam mobil tadi.
Hritik berjalan sedikit ke arah kompleknya, terlihat pintu gerbang sudah di tutup. Satpam komplek membukakan pintu setelah mengetahui dirinya yang meminta izin masuk.
"Baru pulang, Pak?" tanya satpam.
"Iya, ada pekerjaan sedikit."
"Silahkan, Pak!"
Satpam komplek mempersilahkan dirinya masuk kawasan komplek. Ia berjalan ke arah rumahnya yang tidak begitu jauh gerbang utama komplek.
'Tok... tok.. tok!'
Pintu rumah diketuk, Nengsih membukan pintu. Hritik tersenyum padanya, lelaki ini begitu lembut dan besahaja, Nengsih menyambutnya dengan wajah bahagia.
"Akhirnya kamu sudah pulang, aku mengkhawatirkan kondisimu di luar sana. Kamu tidak pulang dan tidak mengabariku pula,"
"Maaf sayang, tadi aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."
"Kamu mau mandi?"
"Boleh,"
"Aku siapkan air hangat," ucap Nengsih sambil memanaskan air shower untuk suaminya mandi. Tidak lama, ia memberikan handuk untuk Hritik membersihkan diri.
Tidak lama setelahnya, ia selesai mandi. Nengsih terlihat belum tidur. Wanita itu seperti gelisah memikirkan sesuatu.
Hritik menghampirinya. Mendekap sang istri.
"Kamu belum tidur?"
"Belum, aku tidak bisa tidur."
"Kamu seharian sudah banyak melakukan pekerjaan, lebih baik istirahat."
"Aku mengkhawatirkan kondisi Hady, Pa. Kasihan, dia ingin sekali melanjutkan sekolah."
Hritik terdiam sejenak, dia seperti menggumam. Hritik memikirkan ini pula sebelumnya, tapi dia bingung harus memulai.
Malam ini, setelah dia mendapatkan banyak uang. Hritik ingin mewujudkan keinginan anaknya.
Meskipun dia tahu, uang itu dihasilkan dengan jalan yang salah. Hritik tidak memiliki pilihan. Demi anak dan istrinya.
"Besok aku akan mengantarkan dia ke sekolah barunya, kamu tenang saja. Aku sudah ada pinjaman uang, cukup untuk biaya Hady sekolah."
"Kamu dapat uang dari mana dalam waktu dekat? Kamu tidak mencopet 'kan?"
"Aku tidak akan begitu keji mencari pekerjaan, tapi kamu harus tahu bahwa apapun pekerjaanku tentu saja semua itu untuk kebaikan kalian semua. Aku tidak ingin hidup kalian menderita dan menanggung penderitaan akibat kesalahanku."
Kesalahan Hritik tentu saja sebuah takdir. Dia harus kehilangan pekerjaan, padahal sebenarnya dia seorang engginer dengan gaji fantastis.
"Aku tahu, kamu suami dan ayah yang bertanggung jawab, kamu pasti melakuakn banyak hal untuk membantu mengembalikan kondisi kita," ujar Nengsih sambil mendekap suaminya.
"Kamu benar, seorang lelaki yang bertanggung jawab. Biarkan di luar sana aku menjadi tawanan dan membahayakan semua orang, karena yang aku pikirkan adalah kalian."
Hritik membatin, hati kecilnya menangis mengingat apa yang dilakukannya untuk mendapatkan uang.
Namun, nafsunya tidak membenarkan itu. Bagi Hritik yang terpenting uang. Dari mana pun hasilnya.
"Pa, kenapa diam saja?"
"Tidak ada, hanya sedih saja menghadapi banyak hal yang terjadi dalam hidup kita. Aku sudah menghancurkan semua harapan-harapan kecil keluarga kita,"
"Tidak apa-apa, janga terlalu dipikirkan. Kita akan perbaiki semua ini bersama, aku dan anak-anak akan selalu bersabar terhadap perubahan dalam hidup kita.
Demi untuk mengembalikan kehidupan keluarganya, Hritik menghalalkan segala cara agar hidupnya kembali normal.
Dia ingin anak dan istrinya bahagia, demi menyelesaikan semua pekerjaan dan menuntaskan setiap amanah yang dibebankan padanya.
Untuk itu, pekerjaan yang dianggap kotor dan menyebabkan ia harus menjadi orang lain, ia lakoni.
"Istirahatlah, aku akan menyusul nanti."
Nengsih menurut, ia istirahat lebih dulu. Hritik memeriksa kamar anaknya, ketiganya terlihat sedang tertidur dengan pulas.
Hritik mendekati mereka, mengecup kening merek satu persatu.
"Suatu hari nanti, kalian akan tumbuh menjadi lelaki hebat anak-anakku. Papa berharap kalian tidak melakukan hal yang akan merugikan kalian. Maafkan Papa karena harus menjalakan peran ini, karena kalian lebih berharga dari masa depan Papa sendiri," lirih Hritik sambil menyeka air matanya, ia menahan lukanya.
"Jika suatu saat terjadi sesuatu, percayalah bahwa semua yang terjadi dan yang Papa lakukan adalah untuk kebahagian kalian. Demi mengembalikan senyuman kalian, lagi."
Sekali lagi Hritik menyeka air matanya, ia duduk di ranjang anak tertuanya, Hady.
"Nak, kamu lelaki hebat. Apa pun yang akan kamu ketahui suatu hari ini, percayalah bahwa semua itu untuk kalian. Kalian adalah anak lelaki yang hebat, Papa akan berusaha menjaga kalian dengan baik, Papa janji."
Sekali lagi, Hritik mengecup kening anak-anaknya. Lalu, ia meninggalkan mereka di kamarnya.
"Selamat malam, Nak."
"Pa, mau ke mana?"
Suara Hady mencegah Hritik mematikan lampu kamar anak-anaknya.
"Papa mau istirahat."
"Apa yang aku tidak tahu mengenai Papa?"
"Emh... Tidak ada, itu hanya..."
Bersambung...