BRAK!!!
"Sial!! Karan memukulkan tangannya pada sebuah tihang gedung, hingga gedung tersebut bergetar."
Awalnya hanya melampiaskan kekesalan, tetapi amarah itu membuat ilmu tenaga dalamnya keluar.
Karan kesal dengan apa yang terjadi malam ini. Dia bukan hanya tidak bisa mencegah kematian Jhen Wong.
Namun, yang terpenting dia tidak bisa menyelamatkan berlian paling berharaga tersebut.
Karan tidak percaya, Jeki memiliki kehebatan yang bisa mengalahkannya. Bukan dengan otot, tetapi akal liciknya.
"Awas Jek!! Aku tidak akan memberikan ampun padamu. Aku akan membuatmu berlutut tidak berdaya," ujar Karan geram.
Setelah kejadian ini, Karan tidak memiliki alasan untuk kembali. Dia masih bingung akan ke mana lagi.
Misi pertamanya sudah gagal, dia tidak bisa mnyelesaikan dengan baik.
"Cepatlah masuk!!"
Sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya. Karan bingung antar masuk atau tidak.
Namun sepertinya, pemilik mobil di geram.
"Cepatlah masuk!! Tidak ada waktu lagi untuk basa-basi di sini."
Karan akhirnya masuk juga meninggalkan Detektif Ze di parkiran gedung tersebut.
"Lho!! Kok, Papa yang jemput?"
"Kamu akan tinggal di mana jika tidak di jemput?"
"Jadi, aku tidak perlu hidup susah lagi 'kan Pa?"
Karan sangat percaya diri sang ayah tidak akan memasukannya lagi ke gubuk seperti sebelumnya.
Namun, seperti yang sudah banyak orang tahu. Misi Karan belum berhasil. Dia masih harus merebut berlian itu dari tangan Edward.
"Berlian itu ada di tangan mafia pembunuh bayaran, Jeki bekerja padanya dan melakukan penyerangan tersebut."
"Tunggu!! Jeki tidak sendiri, tapi siapa pelaku pembunuhan Jhen Wong?"
"Anggota baru komplotan Edward, Hritik. Dia seorang engginer besar, tetapi dipecat dalam perusahaan tersebut. Seseorang telah menuduhnya, saat ini dia membutuhkan banyak uang. Sehingga bergabung dengan Edward."
Kejamnya sebuah kehidupan, bisa merubah seseorang yang baik menjadi jahat. Hanya keimanan yang mampu menguatkannya.
Namun, tidak sedikit yang melupakan pertolangan Tuhan. Sebab measa ditinggalkan saat menghadapi banyak ujian.
Ya, tidak salah memang. Menjadi lelaki bertanggung jawab di hadapan keluarga. Tetapi, bagiamana jika uang itu dihasilkan dari nyawa seseorang?
"Berhenti di sana!"
Larios meminta sopir berhenti di sebuah komplek perumahan. Tempat yang sama dengan tempat tinggal Hritik.
Larois sudah membuat rencana baru sepengatahuan Karan.
"Kamu akan tinggal di sini, besok tugasmu menjadi sopir taksi online. Besok pagi, Hritik akan melakukan tugas baru, misi pembunuhan kedua. Mereka akan membunuh Bram, ayahnya Mozza."
"A-apa? Mengapa?"
"Sebab, mereka ingin berlian itu menjadi miliki Edward. Sengaja tidak diberikan kepada Bram."
Larios memberikan kunci mobil dan kunci rumah beserta ponsel baru untuk mengakses kegiatannya sebagai sopir taksi.
"Jangan lupa, Block B5 Nomor 10. Pagi-pagi kamu harus ke sana untuk menawarkan taksi padanya."
"Untuk apa, Pa?"
"Tentu saja, kamu harus mengantarkan Hritik ke tempat tujuanmu. Jangan sampai dia lepas. Satu-satunya aset paling berharga saat ini adalah dia. Keluarlah!!"
Seperti biasa, Larios tidak memberikan penjelasan lebih lanjut kepada Karan. Ia memberi ruang agar Karan berpikir.
Semakin dia jalani, misi ini terasa berat dan membingungkan. Dia tidak menyangkan akan banyak pertumpahan dari di sini.
"Persetan! Sudahlah, lupakan sejak hal tersebut."
***
Pagi-pagi sekali, Hritik terbangun. Ia berisiap untuk membawa Hady ke sekolah barunya.
Ia tidak memasukan Hady ke sekolah lama. Sebab sudah terlanjur sakit hati oleh pihak sekolah, mereka tidak bisa memberikan keringanan untuk anaknya.
Hritik bersiap, sementara Nengsih menyiapkan sarapan.
"Hady, bangun Nak!"
Suara lembut Nengsih membangun anak sulungnya.
"Hum, Ma! Masih pagi, Hady 'kan sudah tidak sekolah lagi, ntar aja bangunnya."
"Bangun sayang, Papa mau mengantarkanmu ke sekolah. Kamu akan sekolah lagi,"
Hady yang masih mengantuk segera terbangun, dia bangkit dan bersemangat mendengar ucapan mamanya.
"Hah! Benarkah, Ma?" tanyanya, memastikan.
"Iya, tentu saja sayang. Papa tidak akan membiarkanmu ikut berjualan terus, kamu harus sekolah dan menjadi seorang anak yang hebat," kata Hritik tiba-tiba muncul dibalik pintu kamarnya.
"Yeeyyy!!"
Hady bersorak bahagia, tentu saja. Dia sangat bersemangat untuk melanjutkan sekolah.
Dia ingin mewujudkan semua impian dan cita-cita besarnya dan menunjukkan prestasi terbaik untuk kedua orag tuanya.
Hady bersiap, ia segera mandi dan memakai baju sekolah lama. Hritik lupa membelikan baju baru, tapi dia berjanji akan menggantinya.
Setelah siap, mereka sarapan pagi beserta anaknya yang lain. Semangat Hady menular, membuat Nengsih juga besemangat pagi ini.
Nengsih tidak menaruh rasa curig apapun terhadap Hritik, mengenai pekerjaan barunya dan uang yang ia dapatkan.
"Hal terpenting untuk Papa adalah kebahagian kalian, apapun akan Papa lakukan."
Hritik selalu mengatakan hal ini tanpa alasan lain.
Perhatian, penyayang dan sosok lelaki yang bertanggung jawab adalah gambaran seorang Hritik di hadapan keluarganya.
Namun di luar sana, tidak ada yang tahu sosok lelaki ini. Setelah rutinitas sarapan pagi, Hritik dan Hady pamit untuk berangkat.
"Ma, Papa berangkat dulu. Papa akan antarkan Hady ke sekolah, tapi langsung ke kantor. Pagi ini ada meeting dengan klan. Biasa, proyek baru."
Hritik berpamitan.
"Iya, Pa. Tidak masalah, hati-hati saja bekerjanya, kabari kalau ada apa-apa."
"Iya, sayang." Hritik mengecup kening istrinya.
Hady dan Hritik pamit, mereka meninggalkan rumah.
Di depan rumah, Hritik tengah berusaha memesan taksi online. Masih sibuk dan jaraknya terlalu jauh.
Sebuah mobil melintas di sana. Tentu saja itu Karan. Sesuai petunjuk sang ayah, Karan menawarkan taksinya kepada Hritik.
"Bapak mencari taksi?" tanya Karan.
Hritik menganguk, "iya benar."
"Kebetulan saya baru akan narik, kalau mau naik boleh. Saya antarkan ke tujuan. Nanti boleh bayar seiklasnya saja."
Hritik melihat jam di tangannya sudah siang. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir lama. Dia mengambil tawaran Karan.
Hritik masuk bersama Hady, anaknya. Karan melanjukan mobilnya menuju sekolah baru Hady. Hady terlihat sangat senang bertemu teman baru, meskipun harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan teman baru. Ia menyukainya, terutama saat ia kembai sekolah.
Setelah sampai di sekolah, Rasyid memberikan berkas-berkas sekolah anaknya.
Hady kembali di terima di kelas dua, melanjutkan kelasnya yang tertunda. Bagi Hritik, tidak ada yang terlambat untuk memulai kembali.
Pendidikan Hady sangat penting, kelak dia akan bersaing dengan orang-orang hebat dan penting di luar sana.
"Baik, Pak. Anak bapak kami terima, semoga betah dengan suasana barunya."
"Baik, terima kasih."
"Mari, Pak! Saya antarkan ke kelas."
Kepala sekolah cantik ini begitu ramah dan bersahaja, dia mengantarkan Hady ke kelas barunya.
"Selamat pagi anak-anak, kita kedatangan teman baru. Perkenalkan, ini Hady pindah dari sekolah lain. Mulai hari ini, Hady akan bergabung bersama kalian dan menjadi teman kalian." Kepala sekolah memperkenalkannya.
Hady disambut oleh teman-temannya, dia duduk di bangku kosong sebelah seoang gadis cantik berama Shafira.
"Nak, Papa harus bekerja. Kamu nanti bisa pulang sendiri bersama teman-temanmu,"
"Baik, Pa."
"Oh iya, ini pegangalah uang untuk jajan dan ongkos pulang nanti."
Hady mengangguk, dia mengambil uang lembaran lima puluh ribu yang diberikan sang ayah. Lalu, Hritik meninggalkan ruang kelas anaknya.
Sebelumnya, dia sudah mengabari Jeki agar dijemput dekat sekolah baru anaknya. Kali ini Hritik tidak berganti baju, karena dia harus berperan sebagai dirinya, seorang engginer terkenal itu.
"Wih, rapih banget Mr Hritik."
Jeki menggodanya, ia memang terlihat sangat rapi dan berbeda.
"Eliza di mana?"
"Dia langsung ke kantor Alex, kita akan berangkat sekarang sebelum terlambat."
"Baiklah, jalan!" ujar Hritik kemudian sambil mengambil alih kendali mobilnya.
Mobil dibawa Hritik, lajunya cepat. Jalanan Jakarta belum begitu ramai, sehingga tidak terjadi kemacetan. Tanpa sadar, Karan mengikuti mobil mereka dari belakang.
Setelah terjadi konflik dan kerusahan yang menelan banyak korban jiwa, banyak perusahaan yang tutup sementara dan tutup selamanya.
Selain itu, banyak juga toko-toko yang tidak lagi beroperasi. Puing-puing kerusuhan masih tampak, pengangguran semakin merajalela.
Terlihat beberapa orang membawa map coklat dengan pakain rapi mencoba mencari lowongan kerja.
"Yang menyebabkan manusia menjadi iblis, bukan karena hatinya seperti iblis. Akan tetapi, keadaan dan ekonomi yang mengancam untuk bertahan di kota metropolitan membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup."
Hritik membatin, pikirannya jauh ke sebuah rumah indah yang penuh ceria dan canda tawa.
Seorang wanita yang anggun dan sabar, dia selalu mengguratkan senyuman manis saat menyambutnya pulang.
Anak-anak yang selalu ingin menghabiskan waktu libur untuk sekadar menikmati deburan ombak di pantai Ancol.
"Kehidupan ini membuatku merasa sangat bodoh. Namun, aku tidak memiliki banyak pilihan untuk bertahan hidup selain melakukan ini."
Bersambung...