Chereads / BUKAN CINTA LELAKI BIASA / Chapter 17 - Bercak Darah

Chapter 17 - Bercak Darah

Kabar mengenai kematian seorang gadis panggilan bernama Jhen dan kematian Jhen mulai tersebar ke penjuru negeri dari satu stasiun televisi menuju stasiun televisi yang lain.

Siaran berita investagsi malam terutama yang rajin memberitakan ini. Sayang, pelaku tidak diketahui identitasnya dan tidak menyimpan jejak untuk di lacak.

Sebelum pulang ke rumah, Karan sudah memberikan kabar kepada Hritik agar dia datang ke rumahnya sebelum pulang.

"Stasiun televisi sudah memberitakan kabar kematian itu, di media sosial juga sudah tersebar kabar tersebut. Apa yang akan kita lakukan?" tanya Hritik kemudian.

"Berita ini akan saya tutup," ujar Larios kemudian.

"Tunggu, Pa. Sekarang Jeki sudah tewas, tetap saja masih ada Eliza yang perlu kita waspadai. Apa yang akan kita lakukan dengan Eliza?"

Larios terlihat mempermiankan kumisnya sambil memikirkan rencana berikutnya. Sebab kali ini, orng yang sedang mereka hadapi sangat berbahaya.

"Bagaimana jika Hritik berpura-pura menjadi kekasihnya Eliza? Bukankah itu akan lebih mudah bagi kita masuk dalam kehidupan Eliza?"

"Ini sangat bahaya, Karan. Hritik sudah menikah, bagaimana jika anaknya mengetahui semua ini? Atau istirnya mengetahui hubungan mereka."

"Kita akan jelaskan kepadanya, Pa. Sepertinya ini jalan paling baik, tidak mungkin jika harus membunuh Eliza sekarang."

"Ya, itu benar."

Karan dan Hritik menatap Larios. Kalimata itu benar-benar membuat mereka terkejut. Lebih tepatnya mereka tidak mengerti. Maksud dari penjelasan mengenai Eliza.

Larios terlihat tenang, di saat Karan dan Hritik tegang memikirkan hal itu. Namun, dibalik ketenangan Larios tersebut menyimpan banyak rahasia dan rencana.

"Apa yang bisa kita dapatkan dengan membiarkan Eliza tetap bertahan hidup?"

"Kita tidak boleh membunuh Bram ataupun Edaward dengan tangan kita sendiri. Melainkan, kita bisa menggunakan Eliza untuk membunuh mereka satu persatu."

"Ya, Pa. Itu benar. Aku tidak berpikir sampai sejauh itu."

"Tuan, saya siap berkorban apapun demi menyelesaikan misi kita. Untuk itu, saya bersedia mendekati Eliza, lalu perlahan kita akan membuat dia membunuh orang-orang berbahaya itu."

Kemudian, Lario membuat sebuah gambar dalam kertas karton warna putih. Ia membuat sebuah strategi dan beberapa rencana.

Setelah ini, mereka tidak akan lebih sering bertemu. Sebab saat ini sangat berbahaya. Jika salah satu ketahuan, justru ini akan membuat misi berantakan.

Hritik dan Karan menyetujuinya.

"Sepertinya kita sudahi saja, saya akan hubungi kalian lagi nanti."

Larios mengakhirnya semuanya, lalu pamit meninggalkan mereka berdua. Setelah itu, disusul Hritik pulang, khawatir istrinya menunggu.

***

Nengsih bergidik menyaksain pemberitaan sadis di televisi tersebut. Manusia sering kali tidak beradab dan menjadi brutal untuk mencapai segala sesuatu.

Dunia semakin kejam, apapun akan mereka lakukan untuk saling menyelematkan. Pintu rumah terbuka, Hritik baru saja kembali dari tempatnya bekerja.

Aktivitasnya kembali seperti semula, pulang malam dan sering kali tidak memberikan kabar mengenai hal yang akan terjadi.

Di luar sana sangat berbahaya, meskipun begitu dia tetap menjalankan aktivitas dan perannya.

"Jam segini baru pulang?" Nengsih menyambutnya dan menyalami suaminya.

"Iya sayang, maafkan aku tidak memberikan kabar."

"Tidak masalah, kamu pasti sangat lelah bekerja seharian."

Nengsih mengambil tas Hritik dan mencium tangannya. Seperti biasa, dia menyambut kedatangan suaminya dari tempat kerja.

"Iya begitulah, namanya juga bekerja. Kamu sedang apa? Jam segini belum tidur?"

"Aku tidak bisa tidur sampai suamiku pulang, tadi mendengarkan berita. Ada yang dibunuh secara sadis di kamar hotel dalam keadaan telanjang dan mayatnya dibuang ke semak sekitar hotel."

"Mengerikan sekali, manusia zaman sekarang memang sangat sadis dan mengerikan."

Hritik bergidik mendengar kabar kematian itu dari Nengsih, seolah dia tidak tahu apapun. Padahal sebenarnya, pelaku kematian Jhen Wong adalah dirinya sendiri.

"Iya, aku berpikir begitu. Entah apa yang didapatkannya setelah melakukan pembunuhan."

"Uang, mungkin."

"Bisa jadi, dunia memang sangat kejam. Setiap orang menjadi tidak waras karenanya."

Hritik membuka baju, ia membersihkan diri. Badannya yang kotor serta aroma tidak sedap berbaur dengan banyak orang di luar.

Saat Nengsih membereskan bajunya, dia melihat ada bercak darah di kemeja putih suaminya.

"Darah, apa ini? Apa yang terjadi di luar sana yang tidak aku ketahui darinya."

Nengsih bertanya-tanya mengenai aktivitas suaminya di luar tanpa sepengetahuan dirinya. Tidak begitu lama, Hritik kembali setelah mendi.

Dia nampak Nengsih terdiam sambil memperhatikan baju yang dikenakannya.

"Sayang, ada apa? Kenapa kamu mematung di sana?"

Nengsih terperanjat, dia terkejut saat Hritik menyentuh bahunya.

"Kamu kenapa?" tanya Hritik mengulang kembali pertanyaannya.

"Tidak, aku hanya sedang membereskan pakaianmu. Tapi..."

Nengsih tidak melanjutkan perkataanya.

"Tapi kenapa?"

Nengsih terlihat sangat ragu, dia memperlihat bekas becak darah itu di hadapan Hritik.

"Ada bercak darah di bajumu,"

Jantung Hritik rasanya ingin keluar dari temptnya, bagaimana dia bisa ceroboh menyimpan jejak di kemejanya.

Hritik terdiam, dia sedang berpikir dan mencari alasan untuk mengalihkan perhatian istrinya agar tidak menaruh curiga.

"Bercak darah? Ah masa iya? Coba aku lihat!" Hritik mengambil kemejanya.

"Kamu tidak melakukan sesuatu yang aneh di luar 'kan?"

'"Sesuatu yang aneh seperti apa? Kamu 'kan tahu aku tidak mungkin melakukan hal buruk."

Hritik berusaha meyakinkan Nengsih, bahwa dia tidak melakukan hal aneh di luar. Apalagi tanpa sepengetahuan Nengsih.

"Aku percaya padamu, tapi aku takut kamu di luar sana meninggalkan moral demi mencari uang."

"Sayang, ini hanya bercak darahku. Tadi aku melihat perusahaan yang sedang di bangun sesuai rancanganku, tapi ada balok yang jatuh menimpaku. Tadi pelipisku sedikit terluka, dan ini darahnya."

Hritik menunjukan pelipisnya yang bergurat seperti bekas luka.

"Baiklah, aku hanya takut."

"Apa yang kamu takutkan? Kamu tahu 'kan pekerjaanku di luar sana sebagai engginer dan aku tidak punya keahlian apapun untuk itu."

"Tadi aku mendengar berita, ada seorang lelaki yang tewas dibunuh. Tidak tahu motif pembunuhan tersebut, hanya saja dia terluka cukup parah. Pembunuh itu menusuk tepat di bagian dadanya."

Sekali lagi, pernyataan Nengsih membuat wajah Hritik memucat. Dia tidak pernah berpikir, istrinya akan over protektif terhadapnya mengenai pekerjaan di luar.

Meskipun dalam hati Hritik, dia sebenarnya tidak mengharapkan kejadian ini menimpanya. Namun, dia harus tetap menjalankan ini sampai misi mereka berhasil.

"Lalu, kenapa? Itu memang sering terjadi bukan? Kisruh di negeri kita juga sangat mengerikan dan melibatkan banyak pembantaian. Lalu apa bedanya? Manusia memang akan melakukan banyak cara untuk tujuan hidupnya."

"Jangan ampai suamiku menjadi seorang pembunuh."

"Sudahlah lupakan, kamu istirahat saja. Ini sudah teralalu malam dan banyak pekerjaan yang kamu kerjaan seharian."

"Tapi, kamu janji padaku."

Hritik menghentikan aktivitasnya, dia menatap Nengsih yang menatapnya serius. Memang, Nengsih benar-benar serius.

Nengsih tidak ingin suaminya menghalalkan banyak cara untuk memberi makan anak dan istrinya.

"Apa yang harus aku janjikan?"

"Berjanjilah agar tidak melakukan kecurangan apapun yang akan merugikan masa depanmu."

"Aku berjanji," ucap Hritik sambil tersenyum pada Nengsih. Ia mendekap istri tercintanya dan mencium keningnya.

Nengsih membalas pelukan Hritik, dia membalas dengan mengecup pipi suaminya.

"Sayang, sudah lama kita tidak melakukan..."

Sebelum Nengsih melanjutkan kalimatnya, Hritik sudah mengecup bibirnya.

"Hritik!"

"Salah sendiri, kamu menggoda."

Nengsih tertawa kecil saat lumatan Hritik menggetik tubuhnya, "geli, sayang," ujarnya sambil mendorong Hritik menjauh darinya.

Tetapi Hritik tidak memberikan ampun, dia terus menarikan lidahnya di tubuh Nengsih. Pergulatan itu segera di mulai, Hritik memberikan aba-aba.

"Kamu sudah siap?" tanyanya.

Tanpa jawaban, Nengsih mengangguk.

"Aku akan mulai, bersiaplah!"

Bersambung...