Sepanjang langkah menuju room restoran, Karan terngiang dengan nama Eliza Zaafira. Siapakah gadis itu? Dia benar-benar sangat misterius dalam pandangan Karan.
"Eliza Zaafira, siapakah dia? Mengapa aku merasa dia adalah wanita yang berbeda. Tatapannya menyiratkan sebuah ilusi yang tajam. Aku bahkan mencium aroma darah dari auranya. Sekali kusesap, bagaikan lintah darat yang dapat menghisap seketika. Siapa dia?" batin Karan.
"Siapa yang dapat menjawab pertanyaanku? Ah, ya. Papa. Kurasa Papa bisa menjawab segalanya, tetepi bagaimana caranya aku bisa menanyakan itu?" Karan bertanya pada dirinya sendiri.
Sial. Memang tidak ada habisnya orang mempermalukan dirinya. Seketika masuk restoran, semua orang menyambutnya dengan meriah. Peluit dan balon bertuliskan selamat datang yang ditunjukan untuk Karan.
"Halo Karan! Senang sekali kamu bisa ikut bergabung bersama kami di restoran ini. Mari silahkan!" ucap Eliza menyambutnya.
Manis sekali ucapannya, tetapi Karan mencium aroma busuk dari wajah manisnya. Senyuman itu terkesan palsu dan menjijikan. Dia seperti... Iblis berbentuk bunga mawar cantik nan elok.
Cantik memang, tetapi durinya sangat menyakitnya bila mengenai tangan seseorang.
"Wah, ada pesta apa ini? Tumben sekali kalian berkumpul di sini?" tanya Ken yang tiba-tiba muncul bersama gadis bermata coklat.
"Gadis itu, bukankah dia..."
"Calon istrinya Pak Ken, sudah jelas. Calon pemilik hotel ini menikahi gadis konglomerat yang cantik jelita," timpal Jeki.
Lagi. Jeki selalu saja ikut campur urusannya. Tetapi Karan tidak peduli dengan hal itu, dia lebih fokus pada sang gadis. Hanya calon, belun menjadi istri sungguhan.
Buktinya, dia dengan Mozza sudah berada di gerbang pernikahan. Sayang sekali, Tuhan tidak menghendakinya. Ya, itu lebih baik. Sebelum bidadari berhati iblis itu benar-benar masuk dalam hidupnya.
Bukan hanya kehancuran yang dialami Karan, melainkan kematian diujung tanduk akan dia hadapi pula. Bahkan kali ini, Karan tetap dalam ancaman Mozza. Gadis itu kini hilang dan akan muncul seketika.
"Tidak ada yang ingin menjawab pertanyaan saya?" tanya Ken sekali lagi.
"Kami sedang menyambut Karan sebagai karyawan baru di hotel ini, Pak."
"Owh begitu, baguslah kalau kalian bisa bersikap baik padanya. Kalau begitu, mari kita makan bersama."
Tidak perlu dijelaskan lagi, mereka memburu makan di restoran hotel. Sengaja makan makanan mahal yang tersedia. Kapan lagi, jika bukan hari ini.
Karan hanya bingung, dia ingin memesan makanan. Sayang sekali, dia tidak memiliki uang untuk membayar harga kepiting pedas kesukaannya.
"Ayolah Karan, kita makan. Jangan berdiri saja seperti patung pancoran."
Lagi, Eliza membuat Karan dibuat mata berdiri olehnya. Jika dia menolak dan mengatakan tidak memiliki banyak uang, tentu saja akan membuat dia semakin dipermalukan.
Namun, jika tetap makan akan lebih dipermalukan lagi. Akan tetapi, Eliza sengaja menarik Karan ke deretan antrian agar dia ikut makan juga.
"Ya, baiklah. Urusan membayar nanti saja, semoga ada keajaiban."
Karan sengaja mengantri di deretan paling belakang. Dia hanya sedang berpikir untuk bisa keluar dari tempat terkutuk itu.
"Oh ayolah Karan, jangan menjadi pengecut. Kamu harus sanggup menghadapi mereka."
Karan tidak peduli, dia memasukan kepiting pedas kesukaanya ke atas piring. Lagi pula, perutnya sudah benar-benar lapar. Sehingga, dia harus mengisinya agar bisa berpikir.
Setelah Karan kembali dan duduk di bangku yang tersedia dia restoran. Eliza kembali berdiri membuat pengumuman yang mampu membuat wajahnya memerah.
Tidak jauh berbeda dengan kepiting yang sedang dia santap.
"Dengar! Saya ingin membuat pengumuman, tadi Karan berbisik kepada saya. Semua yang kalian makan di sini akan dia bayar, tepuk tangan dong OB baru kita ini memang sangat dermawan.
Gelak tawa bersama riuh tepukan tangan, sedang Karan hanya terperangah dengan gigitan kepiting yang terasa pedas ditelan.
"Sial! Dugaanku benar, wanita ular ini menipuku," gumam Karan.
"Dari mana OB baru ini punya banyak uang untuk membaya, sementara untuk membali detergen dan pewangi pakain saja tidak mampu. Haha!"
HAHAHA!!!
Gelak tawa mereka sangat menyakitkan, tetapi Karan tetap tenang. Sementara Jeki, dia bahkan tidak berkomentar apapun atas apa yang terjadi.
Teman macam apa dia? Bahkan Jeki sendiri sedang berusaha menjebak dirinya.
Tak ingin banyak berkomentar, Karan menyudahi makannya. Lalu dia izin ke belakang.
"Wah bahaya, jangan-jangan dia ingin kabar lagi. Mana mampu dia membayar semua makanan ini."
Tidak ingin banyak berkomentar, Karan tetap memaksakan diri ke belakang menemui kasir restoran. Dia menanyakan harganya, lalu kembali ke ruangan.
"Semua makanan kalian sudah kubayar, kalian boleh kembali bekerja. Sebagai penutupnya, saya suguhi minuman es jeruk untuk kalian. Silahkan di ambil."
Karan berlalu meninggalkan restoran setelah memberikan penjelasan itu. Lalu, mereka semua mengambil minuman yang dipesan Karan.
Wajah Eliza memerah, niatnya ingin mempermalukan Karan tidak berhasil. Justru dirinya yang merasa malu, telah memberikan perhormatan palsu kepada Eliza.
Dia bergegas ke tempat Kasir.
"Bagaimana OB baru itu bisa membayar semua makanan ini? Dia bahkan belum mendapatkan uang gajinya."
"Maaf Nona, kami tidak begitu heran. Sebab memang itu adanya. Jangakan hanya membayar makanan, bahkan hotel ini saja mampu dibelinya."
"Hah!! Itu mustahil."
Kasir restoran tadi seolah tidak peduli dengan yang dilakukan oleh Eliza. Tidak ada urusan memang, sebab Karan sudah menyelesaikan urusannya.
Tidak ingin kalah telak oleh seorang OB, Eliza mengejar Karan untuk meminta penjelasannya.
"Heh!! OB baru, songong banget. Uang dari mana kamu membayar makanan? Kamu pasti sengaja menyogok kasir agar mendapatkan keringanan."
"Nona yang cantik jelita, itu bukan urusan Anda. Hanya saja, kenyataannya begitu. Saya mampu membayar, entah dengan cara apapun itu. Nona sudah puas mempermalukan saya."
"Awas kamu! Urusan kita belum selesai."
"Ya, baiklah. Sebentar, saya punya hadiah untuk Anda. Sepertinya saputangan ini bisa membantu Anda melap sisa makanan di ujung bibir Anda."
Karan memberika selembar saputangan kecil yang telah ia campuri obat gatal dan juga air keras. Bodohnya, Eliza tetap mengambil sapu tangan tersebut sambil berlalu menuju toilet.
Benar saja, ada sisa makan yang lupa dia lap saking kesalnya kepada Karan. Eliza menggunakan sapu tangan itu untuk membersihkan wajahnya serta sisa makanan di ujung bibir.
"Cih! Aroma apa ini? Kenapa seperti aroma alkohol di saputangan ini?"
Eliza bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Seketika dia melihat wajahnya memerah, begitu pula dengan tangannya. Semua terasa gatal, dia menggaruknya.
"Apa ini? Mengapa wajahku berubah seperti kepiting rebus? Semua terasa gatal."
Sekali lagi, Eliza mengusap wajah cantiknya dan menggaruknya. Gatal, pedih semua bercampur menjadi satu. Dia mencoba membersihkan menggunakan air.
Namun tidak berhasil, wajahnya semakin memerah dan terasa panas seperti terbakar api.
"Tidak! Apa yang terjadi? Wajahku! Tidaaaaaaaaakkkk!"
"Karaaaaaaaaaannn!!!!"
Bersambung...