Karan membatin, dia begitu kesal saat Jeki merendahkan dirinya. Banjingan ini memang sudah membuat dia kesal sejak pagi tadi.
"Karan, jangan mimpi kamu akan mengalahkan Ken. Karena tidak lama lagi. Ken akan menjadi pemilik hotel ini. Sedangkan kamu, kamu tidak sadar mengapa ayahmu membuangmu ke sini?"
"Membuang? Maksudnya?"
"Bukankan Larios sudah kehabisan uang? Banyak hutang yang harus dibayar oleh ayahmu, sehingg dia membuangmu ke tempat terkutuk ini."
Karan berpikir keras, ayahnya tidak pernah mengatakan apapun mengenai perusahaan Larios yang bangkrut. Tetapi, sebaliknya perusahaan itu sedang maju.
"Ini pasti akal-akalan Papa saja untuk menyembunyikan indentitasku dari Jeki. Aku yakin, Papa tidak mengalami kebangkrutan hanya karena gagalnya pernikahanku dengan Mozza," batin Karan.
"Hei, jangan melamun terus. Sudah, selesaikan pekerjaan ini agar bisa menyelesaikan pekerjaan yang lainnya."
"Iya, ini juga kukerjaan."
Karan malas-malasan melakukan pekerjaan ini, dia tidak terima harus direndahkan di hadapan orang lain. Larios memang keterlaluan, dia sudah membuat Karan harus mengalami penindasan.
Sebenarnya, Karan tidak terima dengan penindasan ini, tetapi dia berusaha menguatkan dirinya untuk tetap bertahan di tempat ini.
"Aku harus bisa lebih sabar menghadapi semua ini, agar semua urusanku segera selesai."
"Urusan apaan? Orang sepertimu hanya bisa mengahalu saja. Di sini kamu bekerja, Karan. Bukan bermimpi di siang bolong. Sudahlah, ayo!"
Setelah menyelesaikan urusan di kamar itu, Jeki mengajak Karan ke tempat lain. Dia tidak membiarkan Karan pergi seorang diri, sebab dia tahu Karan tidak tahu apapun. Sehingga Karan tidak membuat ulah lagi dan membuat pekerjaan Jeki bertambah.
"Sementara kita bekerja bersama, kamu hanya membuat kerusuhan saja. Jika tidak, nanti kamu terkena masalah lagi."
"Ya, baiklah."
Terpaksa, Karan harus mengikuti tawaran Jeki. Dia juga sebenarnya sudah muak dengan cacian atasannya yang terlewat batas. Karan merasa, dia tidak pernah bertingkah begitu buruk kepada bawahan saat di tempat kerja.
"Ya, baiklah. Aku berada di tempat yang berbeda. Aku harus terbiasa dengan perilaku buruk mereka, tentu saja."
"Itu benar, sebagai bawahan kamu tidak berhak mendebat atasan. Mau benar ataupun salah, kita harus tunduk."
"Untuk apa kita tunduk pada orang salah? Itu sih bodoh namanya."
"Dengar Karan! Kita orang susah, sebaikanya tidak perlu bersikap yang membuat atasan marah. Cari aman, agar tidak mendapatkan masalah."
"Kita, orang? Maaf nih, kamu saja yang susah. Aku enggak."
Karan tidak terima dianggap orang susah, sementara kekayaannya tidak akan habis dalam tujuh turunan. Keluarga Larios sangat hebat, tidak akan mudah bagi perusahaan lain menyingkirkan nama Larios sebagai deretan orang terkaya sedunia.
"Terserah!"
Karan dan Jeki melanjutkan pekerjaan mereka di tempat lain. Seperti sebelumnya, pekerjaan Karan belum begitu baik. Dia masih harus banyak belajar agar tidak membuat Jeki melakukan pekeraan lagi.
Sepertinya, kehadiran Karan membuat Jeki merasa sial. Pagi-pagi, dia harus mengalami banyak masalah akibat ulah Karan. Meskipun begitu, dia tetap melakukan pekerjaannya.
"Halo anak baru!" sapa wanita cantik yang bertugas di bagian informasi tersebut.
"Cih! Gadis ini lagi, tadi pagi saja dia memperlakukan aku dengan tidak baik," batin Karan.
"Soal yang tadi pagi, saya minta maaf deh. Sebagai gantinya, saya ingin mengajakmu dan Jeki untuk makan siang bersama-sama. Kita jarang kumpul lho sesama karyawan hotel, makanya kita mau ngajak seluruh karyawan untuk makan di restoran hotel."
Karan mengernyitkan dahi, dia merasa ada sesuatu yang aneh. Tawaran itu terlalu manis, tetapi sayang di lewatkan. Kapan lagi bisa berkumpul dengan karyawan hotel.
Namun di balik itu, Karan menaruh curiga besar. Tidak mungkin wanita ini berubah begitu saja setelah apa yang terjadi tadi pagi.
"Tenang saja, saya maafkan. Tidak perlu minta maaf, saya memang orang susah Mbak. Wajar jika saya dihina orang."
Cih! Najis. Amit-amit harus merendahkan diri di hadapan orang lain. Akan tetapi, demi berusaha bersikap baik, Karan harus bersandiwara di hadapannya gadis sok cantik itu.
"Terima kasih lho sudah memaafkan saya, jangan lupa ya, saya tunggu lho di lobby."
Karan hanya mengangguk dengan senyum yang terpaksa di lebarkan. Jeki merasa senang mendaptkan undangan dari wanita tadi, sebab baru pertama kalinya dia mendapatkan undagan dari karyawan di sana.
"Gak sia-sia kita berteman, saya jadi ikut terbawa hoki mendapatkan undangan special dari wanita tercantik di hotel ini."
"Wanita tercantik? Benarkah?"
"Masa kamu tidak sadar, kecantikan karyawan di sini dikalahan oleh Bu Eliza Zaafira. Kami biasa memanggilnya Bu El. Dia memang terlihat galak, tapi pesonanya membuat para lelaki takluk. Ya, kecuali Pak Ken."
Karan hanya mengangguk saja, dia tidak membenarkan perkataan Jeki. Akan tetapi, dia juga tidak serta merta menyatakan ketidaksetujuannya. Bagi Karan, kecantikan Eliza tidak sebanding dengan kecantikan Mozza.
Sayang sekali, gadis yang begitu ia puja ternyata seorang pengkhianat. Penjahat kelas kakap yang berani melakukan segala cara demi mendapatkan keinginannya.
"Hanya gadis biasa, Mozza lebih hebat. Sejauh yang kuketahui, dia penjahat cantik yang berani bertaruhkan nyawa untuk misinya. Sayang sekali, dia salah berurusan denganku," batin Karan.
Eliza memang cantik, seksi dan mengoda iman. Jika berjalan, seluruh tubuhnya ikut bergoyang. Sekali menatap, ujung matanya begitu tajam persis tokoh antagonis dalam serial film.
Belum lagi, eyeliner yang sengaja digunakan begitu hitam pekata dibagian matanya. Tatapan yang seolah ingin menerkam semua orang di hadapannya.
"Tapi, ada yang aneh. Wanita itu begitu misterius di hadapanku."
"Heh! Kamu bicara apa? Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak, atau kamu bisa dibunuh olehnya."
"Dibunuh? Kenapa begitu? Apakah dia mafia pembunuhan?"
Kali ini, Jeki memukulkan ujung gagang kamoceng ke kepala Karan. Keterlaluan, sangat tidak sopan si bajingan Jeki ini. Jika saja dia bisa mengeluarkan kekuasaannya, ingin sekali dia lembar si Jeki ini dari lantai 30 ke lantai dasar.
"Makanya, jangan menoton film action. Mana ada orang susah mendadak kaya, itu sih mimpu saja. Ayahmu sudah terang-terangan mengatakan kalian sudah jatuh miskin. Buktinya, dia memintamu menjadi OB. Haha!"
Brengsek! Jeki memang sudah melewati batas. Tidak hentinya dia memperlakukan Karan bak sampah masyarakat. Tetapi, Karan masih tetap diam saja tanpa perlawanan.
"Sabar Karan, ini baru awal. Kau sudah boleh mengeluarkan jurus tenaga dalam, kamu bisa dorang bocah ingusan ini sampai ke langit yang ke tujuh," gumam Karan.
"Ayo! Sepertinya semua orang sudah berkumpul di lobby. Kita harus menghormati undangan Bu El agar menarik perhatiannya. Bu El sangat dekat dengan HRD, dia bahkan bisa merekomendasikan kita agar naik jabatan."
"Dasar! Penjilat."
Jeki tidak peduli Karan mengatakan dirinya seorang penjilat. Dia dunia pekerjaan, hanya itu cara paling manis agar tidak berada di tempat paling rendah. Menjilat atasan, agar dia mendapatkan jabatan.
"Dunia ini kejam, sob. Tidak berani menjilat, hidup kita akan susah selamanya."
"Hah! Benarkah?"
Bersambung...