"Masak sih? Kamu salah lihat kali, Marmi. Seli itu kan nggak punya suami, mana mungkin ada laki-laki di kamarnya?"
Marmi menghela napas.
"Pak, jelas-jelas kamu kan tahu sendiri kalau Seli itu janda genit yang suka Open BO. Ya bisa aja kan yang ada di kamar Seli itu tamunya malam ini."
Parjo melihat kamar Seli yang masih menyala lampunya. Dia tidak melihat bayangan apa pun di sana seperti yang istrinya katakan.
"Tapi di depan rumah nggak ada kendaraan yang terparkir, kok. Mungkin kamu salah lihat."
"Ya ampun, Parjoku, Sayang. Mataku ini belum rabun. Aku benar-benar melihat bayangan wanita dan perempuan yang sedang berpelukan di jendela kamar Seli. Aku yakin kalau dia sedang bersenang-senang dengan tamunya."
Parjo selama ini belum melihat dengan mata kepalanya sendiri mengenai tuduhan-tuduhan istrinya pada janda sebelah. Tapi dia mengenal betul siapa istrinya. Marmi merupakan wanita yang jujur meski sangat cerewet.
Mereka sudah sangat lama menikah namun tidak memiliki anak. Tapi rumah tangga mereka masih sangat harmonis hingga saat ini. Usia mereka hampir sama dengan usia Seli.
"Sudah lah, Marmi. Ngapain sih ngurusin Seli."
"Lho, kok kamu bisa ngomong begitu? Nih, Pak. Sikap Seli itu bisa mencemarkan nama baik di komplek ini. Lagi pula Seli itu kan baru saja pindah ke sini. Dan kita sebagai penghuni lama harus mencegah hal-hal buruk di komplek ini dong."
Parjo hanya mengangguk. Niat hati dia ingin bersenang-senang dengan istrinya. Tapi Marmi malah membuat moodnya hilang seketika.
Dia pun sengaja hanya mengenakan kaos dan celana pendek saja. Agar bisa lebih gampang melepasnya nanti.
Tapi istrinya itu malah sibuk mencari informasi soal janda sebelah untuk bahan gosip besok pagi dengan tetangga-tetangga yang lain. Parjo sudah sangat hafal dengan istrinya itu.
"Tapi, Pak. Memang aneh sih. Kenapa nggak ada kendaraan di sekitar rumah Seli. Masak iya laki-laki itu datang pake taksi atau mungkin jalan kaki?"
Marmi masih memecahkan teka-teki yang mengusik pikirannya. Dia harus bisa menebak rasa penasarannya sendiri.
"Kan aku sudah bilang tadi, Sayang," Parjo melipat kedua tangannya. Dia tidak peduli dengan omongan Marmi yang menurutnya tidak penting.
"Pak, jangan-jangan?"
"Jangan-jangan apa?"
Marmi menatap tajam suaminya. Sikapnya membuat Parjo merasa malas sekali. Karena malam ini harusnya dia melayani suaminya bukan mencari info penting soal Seli.
"Jangan-jangan laki-laki yang ada di sana itu Bara, suaminya Mbak Arum."
"Astaghfirulloh, Marmi. Kamu jangan asal menuduh gitu. Nanti bisa jadi masalah besar kalau kedengaran orang lain."
"Ya ampun, Pak. Aku itu nggak asal nuduh. Tapi coba pikir saja kenapa nggak ada mobil atau motor di sekitar rumah Seli. Lagi pula tadi sore aku lihat Arum pergi sama rekan kerjanya. Dan pas aku tanya Arum itu mau keluar kota."
Parjo jadi sedikit kepikiran dengan ucapan istrinya. Karena dia berpikir kalau suami pasti akan merasa kesepian saat istrinya tidak ada di rumah. Itu yang dia rasakan kalau Marmi sedang berpergian jauh dengan teman-temannya.
"Sayang, sudah jangan suhudzon begitu. Nanti kalau Arum tahu kan jadi nggak enak sama dia kita mencurigai suaminya."
Marmi kesal pada suaminya yang tidak percaya dengan dugaan perselingkuhan antara Bara dengan Seli. Padahal dia yakin kalau Bara termasuk laki-laki yang memiliki hubungan serius dengan janda sebelah itu.
"Kamu ini bikin aku emosi saja. Ya sudah terserah kalau kamu nggak percaya."
Marmi pergi ke ranjang menarik selimut dan bersiap-siap untuk tidur.
"Lho, Marmiku, Sayang. Kok kamu malah narik selimut sih? Sekarang kan malam jum'at."
Marmi tidak peduli. Dia sudah terlanjur kesal dengan suaminya. Wanita itu pun merapatkan selimutnya lalu memejamkan mata.
"Tidak ada jatah untuk kamu malam ini, Pak. Salahnya sendiri kamu bikin aku marah."
"Lho, jangan begitu dong, Marmi. Aku sudah mandi lama dan pakai wangi-wangian khusus buat malam jum'at kita."
Parjo mendekati Marmi dan mencoba membujuknya. Tapi istrinya itu malah berbalik badan membelakanginya.
"Sayang ayo lah, kamu mau membiarkan aku tidak bisa tidur malam ini?"
"Biarin! Biar jadi pelajaran buat kamu kalau percaya sama istri itu wajib."
Parjo menunduk. Kini dia harua berbesar hati tidak melakukan ritual wajib malam jum'at bersama istrinya.
Di kamar. Bara masih menahan diri saat mendengar percikan air dari dalam kamar mandi Seli. Sudah hampir tiga puluh menit kekasihnya mandi tapi belum kunjung keluar dari sana.
Bara pun melangkahkan kakinya mendekati kamar mandi dan membuka pintunya. Dan dia tertegun melihat Seli yang sedang mandi tanpa mengenakan sehelai kain di tubuhnya.
"Eh, Bara. Kamu mau mandi juga, Sayang?" tanya Seli tanpa malu.
Bara merasa mulutnya terkunci. Tubuh janda itu memang sangatlah menggoda. Apalagi ditambah rambutnya yang kini basah.
"Sini kalau mau mandi. Biar aku siapkan airnya."
Seli mengisi air di Bathtub untuk mandi Bara.
"Sudah, Sayang," ujar Seli.
"I-iya."
Bara melepas pakaiannya. Lalu malu-malu dia mendekati bak kamar mandi. Tiba-tiba tangannya menarik Seli dan mereka berdua tercebur ke dalam Bathtub bersama.
"Ah, Bara. Aku sudah hampir selesai."
"Seli, temani aku mandi, okay."
"Tapi aku sudah hampir selesai, Bara."
Laki-laki itu tidak peduli. Dia malah mengeratkan pelukan pada kekasihnya itu. Lalu sedikit bermain nakal dengan menyentuh bagian-bagiab sensitif milik Seli hingga wanita itu menggeliat.
"Oh, shit, Bara!" teriak Seli.
Mendengar desahan Seli, Bara semakin menunjukan kelincahannya soal bercinta. Dan malam itu mereka melakukannya di kamar mandi. Janda itu pun tidak menolak. Dia malah ikut menunjukan kelihaiannya dalam memuaskan pasangan.
Bara menarik Seli ke bawah shower dan menyalakannya. Mereka pun saling beradu kemampuan untuk saling memuaskan. Bara yang memang sudah lama tidak berhubungan dengan Arum karena sibuk bekerja. Seli yang memang sudah lama menjada dan tidak pernah berhubungan juga.
Di perjalanan. Arum menatap keluar jendela melihat gemerlapnya malam di kota Bandung. Dia masih kepikiran dengan suaminya yang harus ditinggalnya lagi keluar kota.
"Arum, are you okay?" tanya Rayhan.
"Yes, i am okay."
Rayhan menggangguk dan kembali fokus menyetir. Dia selalu tahu Arum yang sedih saat harus ditugaskan keluar kota. Dan dia berusaha mencari ide untuk memecahkan suasana hati temannya itu.
"Kamu kepikiran sama Bara ya?"
Arum mengangguk.
"Hm, aku paham sekali gimana perasaanmu. Pasti kamu sedih harus keluar kota lagi, iya kan?"
"Mas Bara sering aku tinggal pergi dan dia sendirian di rumah. Aku nggak tega rasanya. Tapi mau gimana lagi, ini pekerjaanku."
"Aku yakin kalau suamimu bisa mengerti dengan keadaanmu sekarang. Jadi, kamu jangan sedih begitu."
Entah apa yang dirasakan Arum malam itu. Dia tetap saja kepikiran dengan suaminya di rumah.
"Kamu sih enak tinggal pergi aja nggak punya beban."
Rayhan tertawa dengan tutur kata Arum.
"Kata siapa aku nggak punya beban? Delisa, pacarku. Dia juga suka marah kalau aku pergi keluar kota. Bahkan marahnya itu sangat menakutkan."
"Ah, masak sih Delisa begitu."
"Serius, Arum."
Rayhan menggelengkan kepala dan meringis membayangkan saat Delisa sedang ngambek dengannya. Seperti anak TK yang ditinggal orang tuanya pergi.