Tara mau berkata kalau dia tak mengenal pria yang mengakui dirinya adalah istrinya. Sejahil-jahilnya Bimo, dia hanya mengakui kalau Tara adalah istrinya saat mereka masih kelas satu SD.
Tentu waktu pulang ke rumah semua itu selesai dan kaalau Tara menangis pun, guru akan segera menghukum Bimo agar tak memanggil sembarang orang dengan sebutan yang menggelikan bagi Tara.
Wita dan juga Nina menyerahkan satu kotak cincin yang mereka beli bersama. Kedua wanita itu yakin kalau model cincin pilihan mereka adalah yang terbaik dan mengundang banyak kebahagiaan bagi Tara serta Bimo.
"Nah, sekarang pakaikan cincin di jari masing-masing, yaa, kamu pakaikan ke sitri dan istri juga melakukan yang sebaliknya." Panitia boleh memberi perintah dan dia tak sanggup menolak lagi.
Tara mau tak mau melakukannya, begitupun uga dengan Bimoketika dia memegang tangan wanita di sampingnya yang sedingin es batu, dia juga diserang gugup kemudian.
Persaan enggan itu menular begitu cepat, mereka tak bisa menolak tetapi ati terasa menolak dengandengan keras.
Pernikaan ini adalah bencana yang sama sekali tak bisa mereka hindari, lagipula Bimo sudah kepalang janji mau menjaga wanita yang terlihat kesal dengan kelakuanya itu.
Dia menganggap pernikahan ini hanya sebagai ajang mendekatkan diri terhadap orang yang telah menjadi korban dari penganiayaan Beni si kurang ajar yang merepotkannya terus menerus.
Sepasang mempelai tersebut berusaha memaksakan senyum mereka ketika sedang acara foto untuk dokumentasi pernikahan mereka.
Kali ini Tara sama sekali tak bisa melawan, apalagi melarikan diri seperti rencananya hari ini, dia hanya mau cepat-cepat menyelesaikan semuanya dengan baik dan juga sesuai pengarah gaya yaitu kedua orang tua wanita mereka.
Sekarang Witaa juga mendadak cemberut jika Tara salah memanggilnya dengan Tante, dia mau disebut Mamah dan Tara bisa menjadi putrinya yang akan menemani putranya.
Setelah sesi berfoto keduanya langsung lanjut menyaalami tamu undangan yang datang tanpa henti-henti seakan ini adalah pernikahan yang ditunggu-tunggu.
Akan tetapi, respons yang mereka berikan sangatlah berbanding terbalik dari apa yang kedua orang itu pikirkan.
Tara memikirkan kalau semua orang akan geli dan jijik jika dia menjadi pengantin dari musuh yang dia kutuk setiap hari. Rasanya semua yang akan terjadi pasti sangat memalukan setiap hari. Dia tak siap, sampai kapanpun tidak akan pernah bisa.
Para tamu mulai menyalami keduanya, tentu saja orang-orang ini tak ingin ditemui oleh keduanya. Mereka adalah tetangga, teman sekola, bahkan warga-warga yang tidak pernah mereka temui, kini sudah tahu sejarah mereka bisa bersama hingga berdiri menggunkan pakaian pengantin, menyalami para tamu.
"Cieee, si paling sah, udah bersatu padu menjadi pasangan yang utuh. Bagaimana perasaan kalian berdua sekarang? Udah enak kan, tinggal unboxing aja entar malam, pasti seru, deh. Gue aja sampe ketagi..." ucapan Hani terpotong saat suaminya yang ada tepat di belakangnya dengan sigap menutup mulut ibu hamil tersebut.
"Sayang, masa mau diumbar, sih, nanti rahasia pabrik kita ketahuan, dong," ucap pria itu dengan nada suara yang gemas.
Hani mengacungkan jempolnya dan dia tertawa ketika melihat ekspresi dua orang di depannya sangat menggemaskan. Tara mengangkat sebelah sudut bibirnya, mengekspresikan rasa jijik dan kesalnya terhadap Hani, dia akan menjambak rambut wanita itu jika sedang dalam keadaan normal, tapi tentu akan mendapat amarah besar dari ibu dan mertuanya.
"Pokoknya selamat dan gue doain lo berdua kehidupan pernikahannya lancar, bahagia, cepat dikaruniain si kecil yang bakal jadi adeknya anak gue, oke?" Hanika mengacungkan jempolnya, Tara hanya merepons dengan anggukan dan mengangkat jempolnya juga.
"Udah pergi sana, udah banyak yang antre, nanti gagal kasih amplop ke gue!" Tara mengusir Hani yang maasih tak rela turun dari pelaminan, sehingga dia harus digiring suaminya sendiri agar bisa turun.
Tara harus menyalami dan mendengarkan kata-kata yang hampir sama denga apa yang sudah dia pikirkan sejak tadi.
"Gak nyangka musuh bebuyutan, gak pernah akur, sering marah berdua, sekarang berdiri di pelaminan."
"Gak percaya lo berdua yang mirip kucing sama anjing jadi penganten."
"Jangan ribut di kamar pengantin, ya, nanti kasurnya ambruk. Please gunain ranjang dengan baik dan benar." Kata-kata terakhir ini sukses membuat Tara mau muntah karena mual, dia tak menyangka bisa mendapatkan pesan yang sangat menggelikan dan tak akan dia perbuat bersama pria yang hanya tertawa tanpa beban tersebut.
Bimo menyambut tamu yang mengatakan itu semua dengan tawanya yang sangat natural. Tara sampai bingung apa yang dia tertawakan, ini adalah kehancuran mereka yang harusnya ditangisi.
Hingga tak terasa beberapa jam setelah semua itu membuatya sangat lelah, kehilangan semangat yang memang tidak ada sebenarnya. Sekarang Tara hanya sedang bertahan hidup dan berdiri di sini menunggu para undangan dari segala penjuru.
Rasanya semua orang dari ujung ke ujung kota diundang demi melihat pameran pengantin yang sama sekali tak saling mencintai.
Tak sengaja Tara melihat ke arah Bimo yang sejak tadi tak terdengar suaranya, dia kaget karena pria itu sedang menatapnya juga.
"Ngapain lo ngeliatin gue?" tanya Tara, dia sekarang duduk di kursi pengantin dan melihat tamu undangan yang sudah asik dengan makanan di bawah, tidak ada orang lagi yang mau menyalami mereka, saat melihat jam yang ada di ponsel pun, waktu resepsi harusnya setengah jam lagi habis.
Dia yakin semua orang sudah menyalami mereka dan mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap dia.
"Udah abis tamunya, gak usah diliatin terus!" kata Bimo menegur Tara.
Tara berdecak, merasakan sakit di kakinya akibat sepatu hak tinggi yang jarang sekali dia pakai di kehidupan sehari-hari.
"Lo kenapa liatin gue?" tanay Tara.
"Abis lo beda aja haari ini, kenapa lo gak mau lari dari pernikahan ini, katanya lo gak suka?"
Bimo sangat bosan, dia sudah tak menjahili Tara sejak pagi atau sejak kejadian Beni terjadi, hingga sekarang terasa rindunya juga.
Bimo mau membuat Tara terbakar rasa emosi yang menggelegar agar kemarahan yang terpendam akibat ditahan sejak pernikahan ini dimulai keluar juga.
"Apa yang lo omongin itu udah gue coba berkali-kali, tapi lo sadar kan, selalu aja lo gagalin!"
Bimo tertawa dan dia melihat api kemarahan itu telah terliat di atas kepalanya.
Sesaat sebelum Tara hampir mengeluarkan tanduk, mertuanya datang dan memberikan mereka kunci rumah.
'Kami sudah memberikan kalian rumah pengantin, kalian bisa tempati saat acara ini selesai. Rumahnya sudah full furniture, kok, jadi tinggal masuk dan bobo, deh." Kalimat 'bobo' terasa sangat berbeda karena diiringi senyuman nakal dari ibunya Bimo.
"Makasih, Tan, eh Mah, kita akan ke sana." Tara bersikap manis, dia tak mungkin menyalahkan orang tua Bimo, mereka gak salah sama sekali.
Acara resepsi telah usai, semua tamu meninggalkan rumah Tara dan mereka kembali ke rumah masing-masing. Tara segera lepas dan ganti baju, begitupun dengan Bimo, mereka diantar oleh Adi dan Bram untuk ke rumah baru.
Saat mau masuk ke mobil, ternyata Bram dan Adi melarang mereka. Sedikit bingung Tara hanya bisa berusaha berpikir positif, mungkin mobil yang mereka naiki ada di depan.
"Kalian gak usah naik mobil apalagi motor, rumahnya ada di samping rumah kita kok, cuma beda satu rumah aja."
Tara dan Bimo saling pandang, mereka hampir pingsan saat tinggal lagi di komplek di mana nama keduanya sudah tercemar.
"Lho, ini, kan, rumahnya Pak Adi?" tanya Bimo.
Adi dan Bram tersenyum dan mereka menjawab secara bersamaan. "Rumah ini udah dijual ke kami, makanya jadi rumah pernikahan kalian. Gimana, dekat sama kita-kita, bukan?