Chapter 18 - Khawatir

Tidak  butuh lama kejadian yang tiba-tiba itu mendapat banyak perhatian banyak orang. Pemilik rumah segera menghubungi ambulance.

Beberapa warga mendekat ke Bimo, mengecek nadi dan napasnya apakah dia masih bisa diselamatkan atau tidak. Bimo mengalami luka yang cukup banyak dengan cairan merah pekat yang melumuri sebagian wajahnya.

Terlihat sangat menyeramkan.

"Astaga! Ini si Bimo, ayo kita harus hubungi keluarganya juga, Juli. tolong hubungi Pak Adi, Tara sama mertuanya juga, ya, kita harus bawa dia segera ke rumah sakit nih!" Pria dengan kaus obling dan celana jeans selutut itu sangat mengenal Bimo, dia sering kumpul jika Bimo sedang nongkrong di pos satpam.

"Saya sudah hubungi ambulance, sebentar lagi datang. Sebaiknya jangan diapa-apain dulu, Mas Wahyu, takutnya aada cidera yang kita gak tahu, biar kita tunggu paramedis sama kelurga dan istrinya aja, dulu, ya," kata pria itu sembari mengibaskan tangannya untuk menghentikan Wahyu yang hampir saja mau memindahkan tubuh Bimo.

Wahyu sebenarnya memang mau menolong Bimo agar di bisa sadar dulu sebelum benar-benar dibawa ke rumah sakit. Karena Bimo terlihat sangat mengenaskan, napasnya saja terdengar lemah sekali.

Mau tak mau Wahyu menurut demi kebaikan dan menghindarkan kejadian tidak terduga jika dia nekad melakukannya juga.

Sementara itu, di kediaman Adi, sedang adem ayem dengan kegiatan yang biasa mereka lakukan saat pagi. Adi minum kopi, dan Wita menyiapkan roti lapis yang dia siapkan untuk Bimo serta Tara. Dia membayangkan kalau kedua anaknya itu pasti laapar setelah semalaman lembur di malam pengantin.

Dia sudah dilarang Adi agar membiarkan mereka terlebih dahulu menjalani hari-hari pengantin baru, tetapi Wita bersikeras untuk tetap melakukannya. Dia yakin kalau apa yang dia mau berikan sama sekali tidak akan merugikan.

"Mending roti lapisnya buat aku saja, Mah," kata Adi, dia meletakkan cangkir kopinya yang sudah setengah ke atas meja makan, kemudian menghampiri istrinya yang sedang menata smoke beef ke atas roti yang sudah diberi saus tomat serta sayuran.

Wita menarik piring saji yang sudah ada roti lapis lainnya, lalu mengarahkannya ke Adi. "Ini buat Mas udah aku buatkan, kok, jangan laranglarang aku ke ruma Bimo. Aku cuma mau kasih makanan, abis itu balik lagi ke rumah, kok." Wita menjelaskan dengan nada yang penuh rajukan, dia kesal dilarang terus-menerus. tahu begitu Wita menyesal kenapa dia mesti memberi tahu apa yang mau dia lakukan sekarang, padahal tinggal melipir saja juga sampai.

Adi menghela napas, dia tahu karakter istrinya yang akan main selonong saja masuk ke rumah. Dia tahu kalau Bimo dan Tara bisa saja lupa mengunci pintu karena mereka kelelahan atau mereka belum terbiasa. Bagaimanapun baru kali ini mereka tinggal bersama dalam satu rumah dan harus mengurus semuanya sendiri, sedangkan biasanya semuanya serba dilayani terutama Bimo yang jarang sekali mengunci pintu walaupun di rumahnya sendiri.

Akan tetapi, kalau sudah sejauh ini persiapannya, dia tak bisa menghalangi sang Istri dan berniat untuk menemaninya saja dibanding kecerobohan Wita membuat Bimo dan Tara jadi malu nantinya.

"Oke, kalau kamu masih mau, tapi aku ikut kamu, ya?" Adi memberi penawaran. "Kalau gak boleh, berarti gak boleh." Adi menambahkan sebelum kata-katanya di tolak keras sang Istri atau mendapat amukan tidak jelas yang akan terus terngiang di telinganya sepanjang hari dan waktu.

Wita sudah membungkus roti lapisnya dan dia hanyaa mengangguk kecil ketika mendengar persyaratan dari seuaminya, daripada dia harus mendengar kata-kata Adi lagi di tengah mood-nya yang sudah terjun bebas, lebih baik memberi ijin untuk ikut.

Keduanya meninggalkan meja makan sambil Adi tetaap memegang makanannya. Dia tak rela meninggalkan roti lapis super enak buatan Wita senddirian di atas meja.

Suami dan Istri itu membuka pintu utama, hhendak melangkahkan kaki untuk keluar, tetapi ada orang yang tiba-tiba berlari ke depan tubuh mereka dengan napas terengah-engah berhenti terlalu dekat.

Refleks Adi dan Wita mundur selangkah ke belakang, mereka memperhatian orang yang terlihat ketakutan tersebut.

"Ada apa, ini Mas Juli, ya, kenapa kayak orang dikejar-kejar begitu?" tanya Wita terlihat sekali wanita itu khawatir sekaligus bingung apa yang mau dia dengar dan mengerti dari orang yang sama sekali tidak bisa bicara.

Juli perlahan bisa menetralkan kepanikannya dan dia menunjuk ke arah rumah di mana Bimo mengalami kecelakaan.

Wita dan Adi saling pandang dengan apa yang ditunjuk pria di hadapan mereka.

"Coba pelan-pelan aja ngomongnya Mas, kita sabar nunggu, kok," ucap Adi dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

Juli menelan ludahnya susah payah, dia baru melihat wajah penuh darah itu dengan mata kepalanya sendiri.

'Bimo, Pak!" ucap Juli. Dia merasa lega bisa mengucapkan kata-kata pesanan Wahyu.

Kedua alis Adi saling bertaut, dia mulai menebak-nebak.

"Ada apa?" tanya Adi, dia sampai memegang pundak Juli dengan erat, agar pria itu tidak dikuasai rasa paniknya sendiiri.

"Bimo kecelakaan, dia di dekat penjual tanaman di dekat warung sembako, Pak."

Kantung berisi roti lapis yang dipegang Wita jatuh begitu saja ke lantai. Dia menutup mulutnya dan menggeleng tak percaya.

'Gak mungkin, Bimo kenapa dia, Mas!" Wannita itu mulai dikuasai rasa kpanik dan ketakutan yang luar biasa.

Adi juga sama, tetapi dia menahannya demi menenangkan sang isri agar tetap tetang.

"Ayo kita ke sana, makasih Juli."

Juli segera berlari lagi menuju rumah Tara, dia tadi melewatinya sengaja takut wanita itu panik dan tidak ada yang bisa menenangkannya.

Ambulance datang bersamaan dengan Adi dan juga Wita yang melihat keadaan anaknya.

Wita menjerit histeris, dia mau menghilangkan darah di wajah Bimo dengan bajunya, tetapi petugas yang ada di ambulance tersebut melarangnya dan mereka segera membawa Bimo, Adi dan Wita menyusul dengan mobil milik tetangga mereka yang kebetulan melintas.

Tara yang diberi tahu tak kalah kaget, dia yang masih lemas tersebut berjalan dengan tertattih dan bertemu Bram serta Nina.

Nina memeluk anaknya.

"Tadi, Bimo gak kenapa-kenapa, Bun." Tara terlihat panik, dia menyesal sejak tadi tidak meliat pria itu dan malah mendengar kabar yang membuat degup jantungnya berdegup sanngat cepat.

"Iya, iya, kita akan ke rumah sakit, kamu tenang, ya, Nak." Nina berusaha menenangkan Tara sembari membimbingnya untuk masuk ke dalam mobil mereka agar bisa menyusul ke sana.

Semua berkumpul di IGD rumah sakit terdekat, Wita sangat histeris dengan bajunya yang terkena darah, Adi juga lemas duduk di bangku tunggu. Bram menghampirinya, memberi kekuatan.

Tara masih berdiri di depan pintu, dia tak tahu harus berbuat apa. Yang pasti, hatinya terasa kosong sekarang. Dalam benaknya juga tak berhenti mengancam Bimo agar tidak pergi meninggalkannya sendrian.