Tara dan Bimo tak bisa berkata-kata lagi. Semua kalimat yang terlintas di kepala mereka mendadak menguap bersama angin di depan rumah yang diberikan kepada keduanya.
Adi memegang tangan Tara dan meletakkan kunci rumah di telapak tangan wanita itu.
"Kalian sekarang gak akan terpisahkan lagi. Selamat menempuh hidup baru, ya, Tara dan Bimo." Adi tersenyum dan dia melepas genggaman tangannya kemudian beralih ke anaknya kemudian memeluk Bimo dengan sangat erat. Wajahnya penuh rasa haru.
Setelah itu Bram juga mendekati putrinya, dia menatap Tara dengan tatapan mata yang sulit.
Tara jadi tambah serba salah, dia ingin sekali menyerah dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya, kenapa beliau mengijinkannya menikahi musuh yang sama sekali tak dia sukai sejak dulu,bahkan hingga detik ini.
Bram memeluk putrinya terlebih dahulu, dia merasakan sedih, bukan karenaa kejadian kemarin, tetapi momen pernikahan ini yang akan memberi jarak bagianya ke Tara.
"Sering-sering main ke rumah, ya, Nak, jangan lupain kami." Bram mengatakan itu seolah-olah mereka sedang dalam fase perpisahan yang sangat jauh, padahal jika Tara tergelincir di jalan pun, mereka pasti bisa melihatnya, bahkan menolongnya.
Tara jadi bingung bagaimana dia harus berekspresi kali ini.
"Yaudah, kalau begitu, kami berdua pamit dulu. Kasian para Mamah kalian pasti sedang sedih harus pisah dengan anak dan menantu satu-satunya."
Adi dan Bram balik arah, sesekali mereka kembali meliat ke belakang. Tara dan Bimo melambaikan tangan tanpa sadar secara bersamaan.
Tara sadar, dan dia segera menyudahi apa yang dia lakukan kemudian segera bergegas membuka kunci pagar yang sedikit sulit dia buka.
Bimo gemas, dia memegang tangan Tara, mau mengambil alih apa yang telahh dikerjakan oleh wanita itu.
Tara otomatis melepas tangannya ketika kulit tangan Bimo terasa menyengat unggung tangannya. Dia memilih membiarkan pria itu melakukannya sesuai apa yang dia inginkan. Tara hanya mengawasi, rumah ini yang selalu terlihat rapi dan bagus ternyata punya problem yang sering dialami dengan rumah lama. Gemboknya macet.
"Astaga Tara!" ucap Bimo dengan nada yang cukup tinggi, dia langsung emosi dengan wanita yang baru saja sah menjadi istrinya tersebut.
"Ada apaan, sih? Gak usah lebay, deh!" Tara tampak tak terima dengan apa yang dibicarakan oleh Bimo, seolah-olah apa yang dia lakukan selalu salah di depan pria itu.
Sementara Bimo, merasa aman-aman saja perkataannya, dia tak perduli apakah Tara akan marah dengannya atau tidak, dia hanya kesal dengaan apa yang dia lihat.
"Pantas aja gembok gak bsa dibuka, lo gak pasang kunci yang benar, ya iyalah gak masuk-masuk!" Bimo memberi tahu kunci mana yang harusnya Tara gunakan sebelum mengeluh susah atau tak bisa membuat pintu gerbang segera terbuka agar mereka bisa masuk melewatinya.
Pria itu jadi sebal, meskipun ini adalah keinginannya agar melindungi Tara, tapi perlahan kesadaran dan akal sehatnya kembali setelah kemarin pergi dan tidak membantunya mengambil keputusan yang pada akhirnya membuat kenyaman hidup menguap entah ke mana.
Kini wajah mereka hanya beberapa centi, dan Bimo membayangkan kalau dirinya akan satu ranjang yang sama, mereka berbagi tempat tidur yang ditaburi bunga kusus pengantin baru.
Bimo jadi takut duluan dan dia sudah memikirkan kalau dia akan melarikan diri di malam pengantinyya dengan tidur di luar kamar, membaringkan tubuh di depan TV tanpa sambil memikirkan hal yang bisa dia lakukan selama satu rumah dengan musuh berkedok istri yang menyebalkan seperti Tara.
Bahkan saat tara menolak pun waktu itu, dia tetap pada keputusannya yang sekarang membuatnya trauma sebelum berperang dengan wanita itu di kehidupan mereka yang memasuki fase teralu jauh. Dari musuh, dengan cepatnya dia menjadi suaminya dan sekarang harus serumah dengannya. Ini tak masuk akal. Kalau Bimo pikir ulang, dia cukup menyesal. Karena sudah ditolong dengan pengorbanan yang total seperti ini, pun, Tara tetap bersikap menyebalkan bahkan berpura-pura menjadi orang yang palig menderita.
Bimo segera masuk ke dalam rumah sebelum Tara menduduki tempat kekeuasaan yang akan merugikan dirinya. Tara tak mau kalah, dia juga berlari dan berusaha menyalip posisi penuh keuntungan.
Keduanya seperti sedang memperebutkan doorprize sampai lupa kalau para tetangga yang ada di samping rumah mereka, melirik lewat balkon sambil menahan tawa mereka.
Ada yang mengeluarkan kata-kata pamungkas. "Musuh Tapi Menikah."
***
Saat masuk Tara ssegera mencari kamar utama yang akan dia jadikan sebagai tempat paling aman bagi dirinya. Dalam benak wanita itu dia berpikir kalau tidak akan ada yang bisa menggeser tempatnya selama dia ada di atas ranjang. Bimo juga tidak akan berani.
Bimo yang awalnya mau melakukan hal yang sama, mala terhalang dengan reaksi perutnya yang melilit. Dia makan terlalu banyak mi ayam dan bakso yang tersisia saat resepsi. Sambal yang dia makan tak dikontrol. Berakhirlah dia di toilet dengan wajah yang sangat tersiksa.
Tara juga mengonsumsi makanan yang sama, tetapi reaksi tubuhnya sama sekali tak sama, mungkin karena dia pecinta pedas yang sangat menggilai panasnya cabai. Tara malah mennenggelamkan dirinya di kasur, dia merentangkan kedua tangan di atas kasur berukuran king size, tangannya sama sekali tak menutup akses kemungkianan Bimo bisa menggesernya dengan enteng.
Akan tetapi Tara seperti melupakan sesuatu yang sangat dia harapkan malam ini. Dia lupa kalau amplop orang yang telah menyumbang di acara resepsi belum dia buka. Rasanya tadi satu kabupaten datang menghampirinya, dia merasa kalau isi amplop sangat terpengaruh, karena semua tamu merasa bahagia, dan banyak juga yang menuntaskan janji atau taruhan mereka untuk memebri isi amplop yang cukup banyak.
Tara mencari kotak amplop yang harusnya sudaah dia letakkan tetapi lupa kalau dia sedari tadi tak membawa apapun, dia hanya bilang ke Bimo agar jangan melupakan bagian mereka unboxing.
Bimo baru keluar dari kamar mandi, dan ssia segera berjalan menuju ke sofa, kemudian mengambil tas selempangnya yang cukup menggembung, karena isi yang ada di dalamnya adalah amplop uang sumbangan resepsi.
Dia melihat lampu kamar yang tadianya dia incar lampunya menyala, pria itu segera menghapus niatnya dan dia tahu kalau di depan TV ada sofa bed di mana dia bisa menyulapnya menjadi kamar tidur yang nyaman, dibanding tidur dalam satu kamar dengan Tara.
Bimo mau ke ruang Tv, tapi sebuah bayangan terlihat menghalangi langkahnya, pandangannya beralih ke arah bayangan itu, dia melihat Tara sedang menatapnya.
"Masuk kamar!" perintah wanita itu.
"Ngapain?" tanya Bimo dengan wajah heran.
"Ya, unboxing, lah. Uah dinikain gini gue gak mau rugi, ya!" Tara melipat tangannya di depan dada.
Bimo menelan ludahnya susah payah, dia berkata, "Kayaknya jangan malam ini, deh, Tar, emang lo gak capek? Gue juga belum siap! Kita masih butuh penyesuaian." Bimo menolak.
Tara berubah serius, dan dia mengerenyit menatap suaminya. Kedua alis wanita itu menyatu denga kerutan dahi yang tebal.
"Unboxing AMPLOP!" Suara Tara menggelegar.