Tara menatap banyak amplop yang ditaruh oleh Bimo di atas ranjang. Dia tahu kalau semua ini ada di dalam kotak tamu mereka.
"Yakin cuma segini?" tanya Tara sambil bertolak pinggang.
Dia duduk di sisi ranjang sebelah kanan. Sementara Bimo duduk di sebelah kiri.
"Apa gunanya gue bohong. Entar Lo fitnah gue yang enggak-enggak!"
Bimo memang terlanjur emosi dan juga malu akibat perbuatan dan perkataan Tara yang membuatnya salah paham. Bagaimana bisa pikirannya jadi jauh begitu. Padahal dia harusnya punya pikiran yang sama dengan istrinya.
"Yaudah ayo kita itung aja, udah malam kayak gini."
Bimo tidak menjawab dan segera mengeluarkan aneka uang berwarna dari dalam amplop. Dilihat dulu namanya dan dia baru menyebutkan berapa saja yang diberi.
Keduanya saling menghitung dengan serius, hingga mereka akhirnya berhasil menemukan jumlah uang yang tak terduga jumlahnya.
"Li–lima puluh juta?" tanya keduanya saling menatap satu sama lain.
"Bagi dualah!" Tara berkata dengan nada yang penuh antusias. Melihat barisan uang yang ditata suaminya di atas ranjang.
Bimo berdecak. "Iya, iya!" Kemudian dia membagi sama rata.
"Gak nyangka, nikah itu ada untungnya juga. Ya lumayan dapat gede."
"Nah, makanya Lo jangan macem-macem. Ini karena gue yang punya nama, banyak yang kenal sama gue. Lo, kan, gak pernah keluar." Bimo selalu memanfaatkan semua kesempatan untuk menjahili dan menghakimi Tara di semua situasi. Karena kalau dia tak melakukannya Tara bisa menganggapnya kalah, dia juga tak bisa Menikmati ekspresi kesal yang selama ini menjadi daya tarik Tara yang kurang menarik bagi setiap pria.
"Kali ini Lo gak akan dapat balasan apa pun. karena kata-kata yang menyebalkan itu tergantikan dengan gepokan uang ini. gue happy banget bisa pegang uang dengan jumlah yang fantastis." Tara seperi orang yang baru kejatuhan miliaran rupiah, padahal itu hanya setengah dari pembagian uang. Dia juga harus ya tenang bisa menikah dengan Bimo yang memiliki uang lebih karena pekerjaannya yang cukup membuat dirinya mendapat bayaran banyak setiap bulannya.
"Alah, lo kayak gak pernah ketemu duit aja. yaudah beresin itu amplop, kita tidur." Bimo setelah mengatakan itu, langsung menguap. Dia tak tahan kantuknya yang teramat sangat. Pelan-pelan dia berjalan bangkit dan menaruh tas ya di atas naka, tapi Tara tak terima, dia bertolak pinggang dengan senyuman yang sama sekali tak menyiratkan dia setuju dengan semua ajakan Bimo untuk tidur.
Padahal dia mengira akan berlanjut dengan situasi yang sangat dia hindari. tapi dia hanya mau mendegar apa yang sudah orang katakan itu benar atau tidak. Nyatanya malam pertama ini sangat sesuai dengan apa yang dia pikirkan tak akan ada kejadian aneh atau menggelika yang disuarakan Hani secara terang-terangan. Hani sangat mendambakan dia bisa memiliki teman mengandung. Nyatanya Tara tak akan mengabulkannya dalam waktu dekat atau pun waktu yang jauh sekalipun. Dia enggan mendapatkan malam tersebut apalagi dengan pria yang sama sekali tak dia sukai seperi Bimo.
Bimo bersiap, dia membenarkan bantalnya dan mengambil guling yang ternyata hanya ada satu. Tara bersiap dengan segala hal yang akan terjadi, dia berlatih kuda-kuda dan beberapa jurus untuk menjatuhkan Bimo.
"Gue gak mau tidur bareng Lo! Jangan ambil guling itu, atau Lo gue buat guling-gulingan di lantai?!" Tara mulai mengatakan apa yang mesti dia katakan mencoba menggertak demi menggagalkan apa yang hendak dilakukan pria itu. Karena dia sudah tidak paham mau berbuat apalagi demi menjauhkan diri dari Bimo yang terlihat selalu mendekatinya ke manapun.
"Kenapa gak boleh? Kita udah suami istri, kan?" Tanya Bimo, wajahnya terlihat semakin menyebalkan bagi Tara.
Tara berjalan mundur ketika Bimo tak lagi memikirkan soal guling.
"Kalo gue pikir-pikir, ngapain juga gue meluk guling. Kita, kan, bisa saling menghangatkan diri, di kamar pengantin yang dingi ini. Lo tentunya juga tahu, dong, mana mungkin suami-istri di malam pertama ini ngapain aja?" tanya Bimo, dia melipat tangan di dada, bersidekap, menantang Tara yang terlihat takut, dan tak mungkin menantangnya juga melakukan sesuatu yang tak dia inginkan sama sekali.
"G–gue gak setuju, ya, ini harus persetujuan suami-istri atau Lo akan dituduh melakukan kekerasan ke Istri. harusnya Lo sadar lo yang bikin status gak mungkin ini jadi mungkin. Lo yang bikin semua orang berpikir aneh-aneh tentang Kita berdua. Jangan berani deket, atau semua orang akan dengar teriakan membahana gue. Mereka pasti," ucapan Tara terpotong.
"Mereka pasti gak bakal datang. dan sekarang gue heran, kenapa Lo pikir apa yang gue lakuin ini adalah kekerasan? Sementara kita suami istri yang berjanji selalu ada di setiap detik, susha dan senang, serta harus setia juga."
Bimo semakin mendekat dan Tara kehabisan jalan. Punggungnya sudah menyentuh tembok, dia menggunakan tangannya untuk melindungi diri dari serangan Bimo yang sama sekali tak dia inginkan. Dia juga tak memperhitungkan apa yang akan pria itu lakukan kepadanya.
"Jangan atau gue bakal marah sama Lo, ya!" Tara semakin marah dan marah, dia enggan mengatakan apa yang ada di otaknya tentang kengerian malam pertama.
Tapi entah mengapa, Tara malah terbayang wajah Beni begitu saja, sedang menyeringai dan membantah apa yang dia katakan, tak mau mendengar kalau dia ta ingin melakukannya.
Wajah dan situasi yang pernah dia hadapi dalam kengerian dan hampir merenggut semua masa depannya, Tara merasakan itu, dia menghindar, menutup akses Bimo semakin mendekat. Sekarang justru mulutnya yang terkunci, dia tidak menyuarakan ketidak sukaannya karena dia terlalu takut akan apa yang dia lakukan
Bimo memegang kausnya dan hendak membukanya, saat perutnya yang buncit terlihat, Tara mendadak teriak seperti orang ketakutan. Bimo segera menghentikan apa yang dia perbuat. Sejak tadi dia mulai teringat kejahilan apa yang dia perbuat
Sebenarnya Bimo tak pernah berpikiran seperti apa yang Tara pikir. dia hanya mau membalas dendam ke wanita tersebut yang sudah membuatnya malu setengah mati.
Kisah yang Seharusnya dia tahu karena dia juga di buat tak perdaya dengan Beni dan menjadikan kesalahpahaman yang sama sekali tak benar.
Bimo hendak memegang tangan TAra yang sudah mendingin
"Maaf gue, gak sengaja, gue cuma bercanda, Tar."
"lepasin gue Ben, tolong jangan kayak gini!" Tara menjawab dengan nama yang Bimo sudah bisa tebak.
Dia mencoba mendekati Tara lebih lembut lagi, dan membimbingnya untuk duduk di rumah tamu saja, dibanding di ranjang. Untunglah wanita itu mau mengikutinya meskipun tubuhnya bergetar karena dia ketakutan dan kejadian itu seperti kembali lagi kepadanya dengan cara yang lebih parah lagi.
"Gue minta maaf, gue gak akan ngelakuin itu lagi. Sorry, Tar."