Tarabimo
Tara terbangun di atas ranjang kamar dengan selimut yang menutupinya sampai ke dada. Dia terdiam sebentar kemudian terkaget karena memori semalam terbayang dengan jelas di kepalanya.
"Astaga!" katanya sambil membuka selimut dan memastikan dia memakai baju lengkap.
Bukan hanya itu, wanita tersebut juga langsung bangun dari ranjang dan memastikan reaksi tubuhnya normal. Tidak terjadi apa-apa persis dengan cerita Hani.
Tara mengelus dadanya dengan napas dia yang naik turun. Bersyukur malam tadi Bimo tidak ambil kesempatan dalam kesempitan. Dia hanya berharap semua berakhir dengan fair. Tidak ada yang kehilanga apa pun termasuk kegadisannya sendiri.
Tara duduk lagi di tepi ranjang, sisi ranjang sebelah kanannya kosong dan rapih. Dia kembali bersyukur dengan apa yang terjadi.
Beberapa saat wanita itu terdiam, dia merenungi masalahnya dan sepertinya dia dan Bimo harus ambil langkah lebih jauh lagi dan lebih tertata lagi demi membuat hubungan ini menjadi normal untuk kedua orang tua dan juga mereka di dalam.
Tara berusaha menenangkan diri sambil terus berpikir untuk ke depannya. Dia juga merasa perlu membicarakan tentang traumanya tadi malam. Entah mengapa, wajah Beni yang dulu sempat merajai hatinya, sekarang begitu menyeramkan jika tiba-tiba terbayang begitu saja.
Bukankah itu namanya sebagai trauma. Tara merasa kesal pada dirinya sendiri harusnya dia bisa merasakan kalau apa yang selama ini terjadi itu karena kebodohannya yanng terlalu percaya diri terhadap Beni.
Jelas-jelas pria itu pernah membencinya, tetapi dengan mudah dia menerima ajakannya yang tak pasti kemarin.
Tara menggelengkan kepalanya yang mendadak pening akibat menyesali kebodohannya terhadap pria itu. Karwna bagaimanapun hidup harus tetap berjalan.
Sakit hatimu tidak akan merubah apapun. Kehidupan akan tetap berjalan sesuai takdir yang ditetapkan. Itulah yang membuat Tara sekarang bisa menguasai dirinya kembali. Dia menganggap semua itu kesialan belaka, harus bersabar dalam menerima nasib buruk. Kemudian menjadikan pengalaman tak mengenakan tersebut sebagai bekalnya di masa mendatang. Hal paling penting adalah dia bisa menyembuhkan trauma itu cepat atau lambat. Karena siapa tahu, di masa depan, dia bisa mendapatkan kesempatan membina hubungan pernikahan dengan pria yang menyayanginya sepenuh hati. Namun, lagi-lagi itu bukan Bimo. Dia bahkan tak terlihat sebagai laki-laki di mata Tara.
Tara beranjak dari tepi ranjang, dia memutuskan keluar kamar. Ingin mengisi perutnya juga yang sudah keroncongan. Sejak resepsi berakhir, dia tidak makan besar lagi di rumah ini.
Tara mendesah lirih ketika dia membuka kulkas, kosong melompong. Wanita itu baru ingat dia belum makan berat sejak kemarin. Hanya cemilan yang masuk, itu juga karena disuapi oleh Nina atau Bram serta Hani. Selebihnya dia hanya memakan sisa saja setelah resepsi berakhir.
Tara langsung menutup lagi kulkas, dia berjalan menuju kitchen set, membuka satu per satu laci, lalu menemukan harta Karun yang cukup banyak. Ada mi instan, kornet dan bebrapa makanan instan lainnya.
Segera saja, dia mengambil panci yang tergantung di dekat wastafel, lalu mengisinya dengan air dan menyalakan kompor. Tidak lama, sampai air itu mendidih, dia merebus mi kuah yang kebetulan menjadi rasa paling dia sukai.
Tara memandang hidangan mie kuah tersebut dengan air liur yang hampir menetes. Dia berjalan cepat menuju meja makan, meletakann mie kuah dengan asap yang masih mengepul. Panas tapi tak sabar mau menyeruput kuahnya. Cocok sekali saat bangun pagi dia sedikit demam, dan berharap hangatnya kuah mie instan membuat keadaan tubuh jadi lebih baik lagi.
Tara menyeruput kuah dan dia tersenyum bahagia, tetapi senyumannya itu berubah jadi sebal ketika mendapati Bimo sedang berjalan ke arahnya dengan muka yang masih sangat awut-awutan. baju kusut dan dia sama sekali tak perduli dengan wajah Tara yang terlihat emosi ketika didekati
"Ngapain si, Lo?" tanya Tara, dia menarik mangkuk agar lebih dekat, takut kalau Bimo menyambarnya seperti biasa ketika dia dalam mode jahil, setiap apa yang dimakan Tara selalu saja membuatnya ingin melakukannya. Tara tentu sudah belajar melindungi apa yang dia mau makan.
Bimo hanya duduk di kursi meja makan sambil memeperhatikan Tara yang mulai melanjutkan makan. Tadinya mau jahil, tapi dia kan sudah minta maaf akibat kejadian malam tadi. Dia hanya tak mau Tara terlalu terburu-buru untuk melakukan yang dia tidak pikir lebih dulu.
"Kalau mau makan, masak sendiri. Banyak di laci." Tara akhirnya bersuara lagi, dia tidak nyaman di tempel dengan Bimo.
Bimo bangun, tapi saat mau membuka laci, dia mendengar bunyi bel. Urung dia lakukan dan memilih untuk membuka pintu.
Saat pintu terbuka, ada seorang pria dari ekspedisi yang menyerahkan satu kotak hitam dengan pita merah yang melilit hingga menutup paket itu yang anehnya tak terbungkus seperti paket normal lainnya.
"Selamat pagi, dengan Pak Bimo?"
Bimo mengangguk. "Iya, saya."
"Ini saya mengantarkan paket khusus buat Bapak Bimo dan Ibu Tara." Pria itu menyerahkan benda kotak yang langsung diterima Bimo.
"Bukannya setiap paket dari ekspedisi ini, harus dibungkus sama plastik atau bubble wrap gitu?" tanya Bimo kebingungan. Dia cukup sering mendapat paket, mengirim barang yang dia berikan ke teman dengan ekspedisi terkait, tidak ada layanan instan di mereka.
"Ini paket khusus, Pak, bukan paket biasa yang harus dibungkus."
"Kamu gak bohong, kan? Ada yang suruh antar ini ke saya?"
Pria itu terdiam, dia mencari-cari jawaban yang cocok hingga gesturnya terlihat semakin mengundang Bimo untuk curiga.
"Dari siapa? Kenapa bisa mengirim barang yang tidak dibungkus rapi, tanpa alamat pengirim atau apa pun di sini?" tanya Bimo dengan kecurigaan dia yang semakin memuncak.
"I-itu benar, Pak. Kalau begitu, saya permisi."
Pria itu dengan segera undur diri dan mengambil langkah cepat menuju kendaraan roda dua di depan rumah Bimo, lalu segera tancap gas tapa memperdulikan Bimo yang bersiap mau mengejarnya untuk tidak jadi menerima paket ini.
Bimo sebenarnya masi belum menerima apa yang dikirim, jadi dia membukanya meskipun Tara juga belum tahu. Toh, ini ditujukan kepada mereka.
Bimo masih berusaha membuka ikatan pita di saat Tara curiga karena suaminya tak kunjung kembali setelah menerima tamu, dia takut kalau itu ayahnya atau mertuanya. Kalau sampai kedapatan makan mi sendirian, diaa bisa dikomentari pedas.
Tara segera menyusul. sampai di depan pintu, dia mendapati Bimo tampak sibuk dengan kotak hitam yang hapir dia buka.
"Apaan itu? Dari siapa?" tanya wanita itu, penasaran.
Dia mendekat ke Bimo yang belum juga menjawab, enta dia mendengarnya atau terlalu fokus sampai tak sadar Tara sudah di sana.
Tidak mau ambil pusing dengan kelakuan Bimo, dia ikut memegang kotak yang aakhirnya terbuka.
Tara langsung melotot melihat isinya, dia juga merasakan perutnya mual bukan main, ketika isi dari kotak itu akhirnya terlihat jelas.
Mie instant yang dia santap sepertinya hendak keluar lagi, sehingga Tara segera berlari ke dalam menuju kamar mandi, dia menumahkan isi perutnya di closet.
Kepala wanita tersebut terasa sakit dan pening, lehernya panas, dengan rasa mual yang tak kunjung menghilang. Semakin lama, kian bertambah keinginannya untuk mengeluarkan isi perut.
Bimo tak kalah mual, dia masih berpikir positif dan bertindak dengan benar. Pria itu menaruh kotak di tempat sampah yang ada di depan rumah dekat pagar.
Dia menahan rasa mual itu, matanya sampai memerah, tetapi tak bisa. Berlari pun tak sanggup, Bimo muntah di tempat sampah. Dia sampai pening dan memilih jongkok.
"Siapa yang kirim kado isi tikus mati itu?" tanya ke diri sendiri. "Beni?"