Amara segera menyuruh Lusi keluar kamar dengan alasan akan segera mandi. Dia akan bertemu dengan Sofyan sebelum masuk kelas.
Surya mengantar Amara ke sekolah. Dia turun dari mobil Papanya dan langsung mencari Sofyan. Namun, Sofyan ternyata izin karena tidak enak badan.
"Sofyan sakit, kalian tahu rumahnya tidak?" tanya Amara pada Dewi dan Sofi.
"Kenapa tanya Sofyan? Kamu mau jenguk dia? Aku tahu rumahnya," jawab Dewi.
"Kamu mau antarkan aku ke rumahnya sepulang sekolah nanti?" tanya Amara.
"Maaf aku tidak bisa, nanti aku kirim saja alamat rumah Sofyan ke ponsel kamu," jawab Dewi.
"Oke terimakasih," ucap Amara.
Amara menghubungi Jordi ingin meminta kejelasan foto iklan yang tadi pagi dia baca. Namun ternyata nomornya tidak aktif. Selepas dari rumah Sofyan dia akan menuju apartemen Jordi.
**
Jam pulang sekolah sudah berdering, semua siswa keluar dari kelas.
"Dewi, mana alamat Sofyan?" tanya Amara.
"Oh ya, aku lupa," kata Dewi mengambil ponsel di tasnya san mengirim alamat Sofyan pada Amara.
Setelah mendapat alamat Sofyan, dia segera pergi. Dia tidak mau sampai Sofyan membocorkan semuanya pada orang-orang.
Sampai di alamat Sofyan, Amara segera tanya pada Satpam yang berjaga. Ternyata Sofyan adalah anak orang kaya. Rumahnya lebih besar dari rumah Amara.
"Pak, Sofyannya ada?" tanya Amara pada Satpam. "Saya Amara cari dia, tolong sampaikan!" pinta Amara.
Satpam tersebut menelfon rumah Sofyan, setelah terhubung dengan Sofyan. Amara di persilahkan masuk.
Rumah Sofyan benar-benar mewah, dia seperti konglomerat.
"Ada apa Amara?" tanya Sofyan yang muncul dengan wajah pucat.
"Sofyan kamu sakit apa?" tanya balik Amara.
"Kamu ke sini pasti karena link yang aku kirim, kan?" tanya Sofyan.
"Ya, aku mau kamu jangan bilang ke siapapun. Apalagi orang tuaku dan teman-teman," jawab Amara. "Kamu pasti tahu, kalau itu terjadi bisa saja aku seperti Sabila. Apa kamu mau melihat aku, wanita yang kamu cintai gila?" tanya Amara.
"Tanpa kamu mintapun aku tidak akan memberitahu siapapun. Lagi pula aku bukan tipe orang yang ember," jawab Sofyan. "Tapi kamu harus tahu serapat apapun kamu menyimpan semuanya. Pasti mereka akan tahu, apalagi kamu sudah menyebar di semua web situs dewasa," kata Sofyan.
"Oh ya, untuk apa kamu membuka situs itu? Apa kamu mau membeli alat itu?" tanya Amara.
Sofyan hanya tersenyum, dia mantap sinis pada Amara.
"Pulanglah! Urus semua masalahnya, sebelum semua orang tahu dengan sendirinya." Sofyan berbalik hendak ke kamar.
"Kamu mengusirku?" tanya Amara.
"Pulanglah!'' perintah Sofyan menoleh sebentar lalu naik ke lantai dua.
Amara pergi dengan rasa kesal. Dia lalu menuju ke apartemen milik Jordi.
**
Sabila masih menjauhi laki-laki, dia bahkan jarang berbicara dengan Yoga atau laki-laki lain.
Sabila berjalan di kampung, dia di dampingi Anis. Rani mengantar Mbah Sanah ke pasar.
"Tante, aku nggak mau nikah nanti," kata Sabila seperti anak kecil tingkahnya.
"Kenapa? Bukannya wanita dan laki-laki diciptakan jadi pasangan?" tanya Anis.
"Wanita itu lemah, pasti laki-laki suka menindasnya," jawab Sabila.
"Sabila mereka itu punya cinta jadi tidak akan menindas atau menyakiti. Lagi pula, dengan adanya cinta dan kasih sayang mereka di satukan," ucap Anis.
"Aku nggak percaya dengan adanya cinta, apalagi sahabat. Makanya aku nggak mau berteman terlalu dekat dengan siapapun," kata Sabila.
Anis diam, dia tahu ada rasa kecewa pada hati Sabila. Dia trauma tentang cinta dan sahabat.
**
Jalanan menuju apartemen Jordi macet membuat Amara semakin kesal. Beberapa kali Lusi menelfonnya. Dia tidak angkat, tetapi dia kirim pesan kalau masih di rumah temannya tang sakit.
15 menit kemudian sampai di apartemen Jordi. Dia langsung menuju apartemen milik Jordi. Di pencet beberapa kali, namun Jordi tidak segera membuka pintu.
Amara ke lobi, dia menemui resepsionis.
"Mbak, kamar nomor 145 ada di apartemen nggak ya?" tanya Amara.
"Atas nama siapa, Dek?" tanya Resepsionis.
"Jordi," jawab Amara.
"Oh, baru aja tadi pagi dia berkemas. Sepertinya apartemennya mau dijual," ucap Resepsionis.
"Mbak punya alamatnya?" tanya Amara.
"Maaf kami tidak tahu" jawab Resepsionis.
Amara langsung pergi, dia akan menemui teman Jordi di rumah itu. Rumah dimana mereka mengambil foto.
Butuh waktu lama ke tempat itu, sedangkan waktu sudah mau magrib. Bahkan Lusi dan Surya sudah menelfonnya beberapa kali.
Sampai di rumah itu, Amara segera masuk. Namun ada yang berubah. Rumah itu tampak ramai sekali. Bahkan banyak orang di sana.
"Pak, saya mau bertemu Kian," ucap Amara pada satpam. Kian adalah fotografer itu.
"Maaf, Dek. Saya tidak kenal, setahu saya di sini tidak ada yang namanya Kian," kata Satpam.
"Pak Kian sang fotografer, orangnya cakep, putih," jelas Amara.
"Kalau nggak percaya, cari saja ke dalam," kata Satpam.
Amara masuk ke dalam, dia menoleh ke kanan ke kiri dia tidak melihat Kian.
"Mau jadi model?" tanya Seorang wanita.
"Oh tidak," jawab Amara.
"Kamu sepertinya tidak familiar, apa kamu pernah jadi model?" tanya wanita itu. "Kenalkan aku Lifna." Wanita itu memperkenalkan diri.
"Amara, saya ke sini mau cari Kian. Apa Bu Lifna kenal sama Kian?" tanya Amara.
"Kian? Pernah dengar. Oh sepertinya dia penyewa sebelumnya." Lifna tampak mengingatnya.
"Kalau mau tahu alamatnya tanya siapa ya, Bu?" tanya Amara.
"Pemilik bangunan ini mungkin," jawab Lifna.
Amara merasa capek, dia segera pulang. Surya sudah menelfonnya terus sedari tadi.
Amara lupa, ternyata dia belum makan sedari siang. Dia lupa makan karena mencari keberadaan Jordi.
"Aku harus temui Sindi," kata Amara. "Kalau mau ketemu Sindi, aku harus tanya Kak Fahmi. Ah malas kalau bertemu keluarga Sabila," kata Amara.
Sampai di depan rumah, Amara segera turun. Dia melihat kedua orang tuanya menunggu di teras.
"Dari mana saja kamu?" tanya Lusi.
"Mama biarkan Amara masuk duku," bela Surya. Dia lalu mengajak Amara masuk.
Amara disuruh Surya untuk mandi dan ganti baju dulu. Setelah itu baru mereka berbicara.
"Papa selalu memanjakan dia," kata Lusi kesal.
"Kalau bukan Papa siapa lagi? Mama selalu memarahinya," ucap Surya.
"Mana Amara? Sudah masuk kamar sejak tadi tidak keluar," kata Lusi.
Dia segera ke kamar Amara.
"Ra, buka pintunya!" ucap Lusi. Ternyata pintu kamar Amara tidak terkunci, Lusi segera masuk.
"Papa, Amara!" teriak Lusi.
Surya berlari ke kamar Amara, dia melihat Amara jatuh di lantai dalam kondisi tidak sadarkan diri.
"Amara, bangun!" seru Lusi panik.
Surya dan Lusi mengangkat Amara ke atas ranjang. Dibukanya sepatu, dan bajunya di longgarkan.
"Amara, bangun!'' ucap Surya. Namun, Amara masih memejamkan matanya. Wajahnya pucat dan dingin.
"Biar Papa telfon Dokter," kata Surya beranjak dari tempat tidur.
"Pa," panggil Amara yang tiba-tiba bangun. "Jangan panggil Dokter! Amara hanya butuh makan," kata Amara.
"Apa? Kamu seharian belum makan?" tanya Surya. Amara mengangguk, Surya menepuk jidat.