Fahmi langsung ditangani Dokter, Rani tampak sedih sekali melihat Fahmi terkapar dengan luka lebam disekujur tubuhnya. Beruntung Fahmi cepat sadar.
Rani dan Dika baru saja mengambil hasil tes milik Sabila. Mereka senang karena Sabila terbukti masih perawan. Namun, kini mereka harus menjaga Sabila dan Fahmi bersamaan. Dika meminta Dokter agar Fahmi satu ruangam dengan Sabila. Biar mudah untuk penjagaannya.
"Kenapa kamu nggak bilang sama Papa dan Mama, Fahmi? Kalau semalam kemalingan?" tanya Rani.
"Fahmi nggak mau kalau Mama khawatir," jawab Fahmi. "Mama sudah sibuk dengan Sabila, Fahmi takut ganggu pikiran Mama," kata Fahmi.
"Sudah-sudah, kamu istirahat saja!" kata Dika. "Yang penting kamu selamat," kata Dika.
Dika dan Rani menunggui kedua anaknya. Sementara Sindi sudah pulang sebelum Fahmi sadar. Fahmi menyadari bahwa bagi Sindi, Fahmi tidak penting. Nyatanya dia meninggalkan Fahmi sebelum sadar.
**
Sabila tertidur, sementara Fahmi mengecek ponselnya. Tidak ada pesan atau bekas panggilan dari Sindi. Mulai saat ini dia malas dengan Sindi.
"Fahmi, makan dulu!" perintah Rani lalu menyuapi Fahmi. Setelah itu dia minum obat.
"Ma, bagaiman hasil tes Sabila?" tanya Fahmi.
"Bagus, dia masih perawan. Besok Papa akan ke sekolahan Sabila. Menyerahkan buktinya, semoga saja bisa menjamin Sabila untuk tidak di keluarkan," jawab Rani.
"Alhamdulillah," ucap Fahmi lalu istirahat.
Rani tiduran di sofa, dia sangat mengantuk sekali.
**
Amara cemberut, dia takut Jordi akan melakukan itu dengan Sindi juga. Dan dia berpaling dari Amara.
"Aku harus lakukan sesuatu," kata Amara.
Dia kini sudah di rumah, karena sudah sore. Keluarga Amara merasa Amara berubah.
"Ra, kamu nggak jenguk Sabila?" tanya Lusi Mama Amara.
"Nggak ma, Malas ah." Amara duduk sambil memainkan ponselnya.
"Dia kan sahabat kamu, kenapa tidak dijenguk. Lagian dia baik, Mama rasa berita yang tersebar itu tidak benar," kata Lusi.
"Baik? Nyatanya dia melakukan itu, Ma. Apa Mama mau aku dekat dengan dia lagi, lalu ikut kayak dia?" tanya Amara kesal.
"Ya sudah kalau nggak mau," ucap Lusi pasrah. "Oh ya apa kamu pacaran?" tanya Lusi.
"Nggak, Ma. Amara nggak punya pacar," jawab Amara.
"Awas aja kamu pacran!" ancam Lusi.
"Amara tuh nggak kaya Sabila, Ma. Jadi Mama tenang aja," jawab Amara sewot.
Dia lalu masuk ke dalam kamar, ditinggalnya sang Mama sendirian.
**
Hingga esok harinya, Sindi tidak menghubungi Fahmi. Entah mengapa Sindi jadi tidak setia kawan. Fahmi kecewa dengan sikap Sindi yang tidak pernah mengerti dia.
Rasa kagum yang dulu Fahmi miliki kini sudah hambar. Rasanya sudah menjadi kesal dan kecewa. Bahkan Fahmi sudah tidak mau berurusan dengan Sindi lagi.
"Kak," panggil Sabila namun dia tidak melihat ke arah Fahmi. Melainkan ke luar jendela.
"Dek, kamu panggil Kakak?" tanya Fahmi. Namun, Sabila masih tetap pada posisinya.
Entah mengapa tiba-tiba Sabila menangis. Dia berbicara sendiri," Aku tidak seperti itu, kalian salah. Aku anak baik," kata Sabila.
Rani yanh baru kembali dari kantin bingung dengan sikap Sabila. Biasanya dia tidak pernah berbicara sendiri.
"Sayang, ada apa?" Rani mendekati Sabila. Namun, Sabila tidak bergeming. Dia tetap menangis dan melihat keluar jendela.
"Kalian jahat! Aku tidak salah. Aku tidak melakukan itu, aku anak baik tidak nakal," teriak Sabila histeris.
Rani yakin, ingatannya kembali pada saat dia menerima hujatan dari temannya.
"Kalian jahat!" teriak Sabila mengamuk.
Rani segera memanggil perawat, setelah diberi suntikan Sabila diam dan tertidur. Rani khawatir jika nanti ingatannya kembali pada hujatan yang terjadi.
"Kasihan sekali Sabila," kata Fahmi.
Tiba-tiba Sindi datang, Fahmi hanya diam saja. Dia malas meladeni Sindi.
"Fahmi, cepat sembuh. Aku ingin cerita sama kamu," ucap Sindi. "Ini masalah Jordi, aku sangat mencintai dia," kata Sindi.
Fahmi masih diam, dia tidak suka jika Sindi selalu membahas playboy itu. Dia merasa kebenciannya pada Jordi tidak akan pernah berubah.
"Aku akan melakukan apa saja untuk Jordi. Jadi aku mohon dukungan kamu. Fahmi, kenapa kamu diam?" tanya Sindi menggoyang-goyangkan tubuh Fahmi.
"Lebih baik kamu pulang, aku mau istirahat," ucap Fahmi.
"Ya ampun, padahal aku belum selesai cerita sudah diusir. Kamu jahat Fahmi, nyesel aku ke sini," kata Sindi.
Rani hanya menggelengkan kepala," Sindi, memang sebaiknya kamu pulang. Ini waktu untuk istirahatnya Fahmi. Kamu ingin Fahmi cepat sembuh, kan?" tanya Rani.
"Ya sudah, Te. Saya pamit," ucap Sindi menyalami Rani.
Setelah Sindi keluar, Fahmi langsung tiduran. Dia kecewa dengan Sindi di saat dia sakit malah curhat Jordi.
"Anak itu sepertinya cinta mati sama Jordi. Mama jadi penasaran, setampan apa sih dia?" tanya Rani yang belum pernah melihat Jordi.
"Biarin aja sih, Ma. Ke sini bukan menghibur aku biar cepat sembuh, eh malah ngomongin si Jordi. Mending aku suruh dia pulang," kata Fahmi.
"Lebih baik cari wanita lain. Mama sedikit ilfeel sama Sindi. Cantik sih? Tapi kok ganjen," kata Rani.
"Iyaa, Ma. Fahmi juga mulai risih," ucap Fahmi. Dia lalu istirahat.
Rani tiduran di sofa, karena capek.
**
Dika sudah ke sekolah Sabila, dia berharap pihak sekolah mau menerima Sabila hingga sembuh.
"Ini, Pak. Bukti tesnya!" Dika menyerahkan amplop dari rumah sakit kepada Pak Hadi.
Pak Hadi membuk hasil tes Sabila. Dia tersenyum.
"Alhamdulillah hasilnya bagus. Nanti kami diskusikan dengan guru yang lain," kata Pak Hadi.
"Iya, Pak. Saya harap Sabila masih diterima di sini sampai dia sembuh. Kami sedang berusaha menyembuhkan depresinya." Dika lalu pamit, dia harus ke kantor.
Amara bertemu dengan Dika, dia sama sekali tidak menyapa Dika. Dika mendekati Amara yang justru tampak menghindar.
"Amara, kamu kenapa?" tanya Dika. "Kenapa kamu tidak datang ke rumah sakit? Apa kamu punya masalah dengan Sabila?" tanya Dika.
''Maaf, Om," ucap Amara lalu pergi begitu saja.
Dika merasa bahwa Amara berubah. Dia dulu sangat baik pada Sabila, namun sekarang dia justru menjauhi Sabila.
"Apa dia percaya berita itu?" batin Dika.
Dika memutuskan ke kantor. Dia melupakan masalah Amara, saat ini yang terpenting kesembuhan Sabila.
**
"Sial! Kenapa Sabila belum juga dikeluarkan dari sekolahan. Padahal sudah banyak wali murid yang meminta dia dikeluarkan," kata Amara.
Amara menendang botol dengan kasar. Botol itu melayang jauh dan mengenai seseorang.
"Siapa yang melempar botol ini?" tanya siswa itu dengan kesal karena mengenai kepalanya yang gundul.
Dia menatap Amara yang terlihat ketakutan. Dia mendekati Amara dengan wajah kesal.
"Kamu yang melakukannya?" tanya siswa itu.
"Iya, Kak. Maaf, ya," jawab Amara.
Dia adalah Dino, Kakak kelas Amara. Dia terkenal garang pada siapapun. Amara tampak ketakutan.
"Dasar jalang!" umpat Dino sambil memperhatikan Amara dari atas sampai bawah.
Amara ingin marah karena dikatai jalang. Namun, dia sadar Dino bukan saingannya.