Sabila masih sedih, hingga dia putuskan untuk mogok sekolah. Orang tuanya faham, dia malu dengan vidio yang tersebar.
Mereka yakin Sabila bukan anak yang bandel. Mereka yakin, ada orang yang sengaja memgfitnahnya. Gambar itu pasti editan.
Selain mogok sekolah, Sabila juga jarang makan. Terkadang hanya makan sehari sekali.
"Sayang, ayo makan!" ajak Rani yang sudah membawakan Sabila makan siang.
"Aku tidak mau makan, aku malu, Ma," kata Sabila terus bersedih.
Sabila saja berpacaran baru dengan Jordi dan merena tidak melakukan apapun. Dia meminta cium saja Sabila menolak. Apalagi sampai melakukan hubungan terlarang itu.
Media sosialnya dibanjiri hujatan, Sabila sudah tidak ingin hidup lagi. Sabila mengurung diri di dalam rumah. Kedua orang tuanya tengah berbicara dengan Fahmi. Sepertinya membicarakan masalah Sabila.
"Bukan...itu bukan aku!" teriak Sabila histeris saat bayangan vidio itu melintas di benaknya.
Sabila sering berhalusinasi dan mendengar hujatan teman-temannya. Seakan-akan semua itu terjadi di depannya setiap hari.
"Pergi kalian!" teriaknya melempar bantal dan guling ke arah mereka. Tentu ke arah bayangan orang-orang yang menghujatnya.
"Pelacur,"
"Wanita murahan,"
"Bookingan Om-om,"
"Jalang,"
Sebutan itu terus menghantui Sabila. "Sugar baby,"
"Hai wanita jalang, pergi kamu! Enyah datri hadapanku." Sabila mulai menangis dan menutup pendengarannya.
"Ah ternyata kamu murahan, mau digoyang siapa saja." Kata-kata semacam itu mengganggunya.
Semalaman Sabila tidak bisa tidur, dia terus berteriak histeris. Bahkan Rani yang menungguinya saja Sabila umpat habis-habisan karena Sabila kira dia orang yang menghujatnya.
Rani memeluk Sabila dengan erat, "Bila, istighfar sayang!" pinta Rani.
Sabila beristigfar, sejenak merasa tenang. Namun baru terlalap sebentar Sabila sudah histeris lagi. Rani tidak bisa tidur, dia bergantian dengan Fahmi menjaga Sabila.
**
Hari ke dua mogok sekolah, orang tuanya tidak memaksanya sekolah karena keadaan Sabila juga tidak memungkinkan. Fahmi dan Rani bergantian menjaga Sabila di rumah.
Rasa bosan menghampiri Sabila, Sabila duduk di teras pagi ini.
"Sabila, kamu kenapa tidak sekolah? Malu ya? Makanya jangan macam-macam," ucap Bu Sindi tetangganya. Dia juga punya anak seumuran dengan Sabila. Anaknya laki-laki beda kelas dengan Sabila.
"Ah mana dia punya malu, Kalau malu mah udah nggak keluar rumah," sahut yang lain.
Sabila langsung berteriak dan mengejar mereka. "Itu bukan aku, kalian jahat. Ini fitnah," katanya mengejar mereka. Sesekali Sabila melempari mereka dengan kerikil yang Sabila ambil di jalan.
Rani langsung menariknya masuk ke rumah. Namun, hinaan mereka masih membekas diingatannya.
"Aku tidak salah!" teriaknya setelah berada di dalam rumah.
''Iya, Mama percaya," kata Rani meyakinkan Sabila kalau dia di pihaknya. Rani tidak berani meninggalkan Sabila sendirian di rumah. Setelah Fahmi pulang kuliah, Rani baru bisa bepergian.
Rani punya butik, sementara ini dikelola karyawannya karena keadaan Sabila ini. Saat ini hanya Papa yang masih ke kantor.
Fahmi pulang, Sabila langsung memeluk Fahmi meminta perlindungan. Saat ini yang Sabila percaya hanya Fahmi.
"Dek, kamu makan ya!" pinta Fahmi.
Fahmi berhasil membujuknya makan sore itu. Setelah itu Sabila mandi, Sabila histeris kembali saat melihat tubuhnya. Sabila seperti jijik dengan tubuhnya sendiri.
"Dek, ada apa?" tanya Fahmi membuka pintu kamar mandi.
Fahmi menutupi tubuh Sabila dengan handuk. Dia dengan telaten membilas tubuh Sabila yang masih berbusa.
Fahmi juga membantu Sabila memakai baju. Seperti yang dia lakukan waktu Sabila berumur lima tahun.
"Aku janji, akan membalas semua penderitaan kamu. Jika nanti aku temukan siapa pelakunya," kata Fahmi.
Dia memeluk Sabila penuh kasih sayang. Dia sangat menyayangi Sabila sejak Sabila kecil hingga saat ini. Bahkan dia lebih suka mengalah dengan Sabila.
**
Dila pulang, tidak berapa lama Rani juga pulang. Setelah salat magrib mereka mengobrol Sabila ikut serta.
"Pa, aku akan selidiki vidio itu. Kata temanku itu vidio telah diedit, wajah sebenarnya bukan milik Sabila," ucap Fahmi.
"Iya, kamu cari tahu ya! Papa khawatir melihat keadaan Adikmu," kata Dika tampak sedih melihat Sabila yang hanya diam.
Sabila mendengar pembicaraan mereka. Tetapi pikirannya masih teringat akan hujatan itu.
"Apa kita bawa Bila ke psikiater, Pa?" tanya Rani.
"Boleh, nanti Papa atur jadwalnya," jawab Dika.
"Para tetangga juga menghujat Sabila, Pa. Tadi siang saja dia melempari Ibu-ibu dengan kerikil." Cerita Rani. "Aku takut jika ini berlanjut membahayakan kesehatan dia," lanjut Rani semakin sedih.
"Saat ini Bila hanya punya kita yang percaya pada dia. Jadi kita harus buat dia semngat lagi dan melupakan masalah ini," kata Dika.
"Iya, Pa. Sabila sangat butuh dukungan dan Support kita sebagai keluarga," tambah Fahmi.
Tiba-tiba Sabila teringat hujatan itu, Sabila mengamuk. Dika dan Fahmi mencegahnya. Namun Sabila masih mengamuk dan marah.
"Aku tidak gila, aku bukan pelacur!" teriaknya.
Rani mendekapnya, para tetangga terdengar ramai di depan rumah. Dika dan Fahmi ke depan.
"Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu?" tanya PmDika.
"Pak, anak Bapak mengganggu kita. Tiap malam selalu berisik. Kalau gila kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja," kata Pak Naim.
"Maaf, Pak. Sabila sedang sakit, dia tidak gila," bantah Dika.
"Iya,Pak. Dia hanya trauma karena mendapat perlakuan tidak baik dari lingkungan sekitarnya," sahut Fahmi.
"Sama saja, apa lagi kabarnya anak Pak Dika ini sudah menjual diri pada lelaki hidung belang. Itu mencemarkan nama baik keluarga, Pak," ucap Pak Indra.
"Iya benar, itu membuat kita resah. Apalagi yang punya anak seusia Sabila. Pasti kami takut terpengaruh," sahut Bu Sindi.
"Sekali saya tekankan, Itu hanya fitnah. Ada orang lain yang sudah mengedit vidio itu dengan wajah anak saya," tutur Dika.
"Alah, mana dia mau ngaku. Nyatanya dia sampai gila, pasti dia memang melakukannya dan sudah malu jadi pura-pura gila," bantah Pak Indra.
"Ada apa ini?" tanya Pak RT yang baru saja datang karena melihat ramai-ramai di depan rumah Sabila.
"Ini, Pak RT. Anak Pak Dika sudah menjual diri," ucap Pak Indra.
"Astagfirullah, kalian jangan semudah itu menuduh. Kalau salah jadinya nanti fitnah." Pak RT menengahi .
"Usir saja mereka," teriak Pak Naim.
Sabila yang mendengar langsung keluar. Sabila mengamuk pada orang yang ingin mengusir mereka.
"Pergi kalian! Aku tidak gila!" teriaknya dan terus mengamuk.
Warga menjauh, Dika dan Fahmi menenangkan Sabila. Setelah tenang Sabila menangis.
"Kita mau mereka diusir!" teriak Bu Sindi. Tangis Sabila semakin keras. Sabila menatap mereka dengan tatapan marah.
"Bubar...Bubar!" Pak RT membubarkan mereka.
Sabila merasa sakit kepala yang sangat hebat. Sabila tidak sadarkan diri.
"Sabila bangun!" Rani menepuk pipinya. Namun, Sabila masih memejamkan matanya.
Mereka terdengar panik, setelah itu Sabila tidak mendengar apapun.