Chereads / Misteri Dendam Kembar Nama / Chapter 9 - Perjalanan Bertumbuh Dewasa

Chapter 9 - Perjalanan Bertumbuh Dewasa

Rumah mewah menjulang tinggi bak istana, dengan furnitur-furnitur yang menghiasi tiap-tiap konsep kolasenya. Aestetik, glamour, hanya itu kata-kata yang pantas untuk mengumpamakannya. Rumah luas, tetapi sangat sunyi senyap. Suasana hampa, terasa mati rasa. Hanya keheningan yang merajai. Itulah yang dirasakan Hana setiap harinya, setiap menit dan detiknya.

Hana mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit rumah yang tampak kokoh. Sebutan rumah tidak lagi cocok untuk diberi julukannya, lebih cocok disebut dengan castil. Sedangkan Hana bagaikan seorang putri yang dikurung di sebuah castil, tanpa seorang teman hidup. Ia hanya berteman sepi dengan para pelayan yang sedia melayani.

Hana, ayah, dan ibunya tinggal di atap yang sama. Akan tetapi, Hana bagaikan tinggal tanpa keluarga. Kedua orangtunya adalah pengusaha yang memiliki bisnis pesat di mana-mana. Sebutan pengusaha sepertinya kurang cocok untuk seorang pria bernama David Livy, yang tak lain adalah ayah Hana. Sebutan milyarder lebih cocok untuknya, karena dalam 10 menit, ia bisa menghasilkan uang senilai 20 juta dollar.

Sedangkan untuk ibu Hana yang bernama Sarah Yunita, dia adalah seorang designer terkemuka yang memproduksi merek-merek dagang ternama. Seorang designer pakaian yang sukses besar, hingga diundang untuk mendesain gaun untuk para model di New York.

Hana kala itu masih belum terlalu mengerti dengan pekerjaan kedua orangtuanya, serta pencapaian yang patut dibanggakan, yang dimiliki keduanya. Hana hanya tahu satu hal yang pasti. Kedua orangtuanya memiliki tanggung jawab yang besar. Uang, gelar, kesuksesan, tentu saja tidak akan mereka lepaskan begitu saja, hanya untuk seorang Hana yang bukan apa-apa.

Hana membalikkan tubuhnya. Sedari tadi, ia hanya berdiri di depan pintu rumahnya dengan tatapan kosong. Kali ini, ia berbalik dan meninggalkan rumahnya begitu saja. Hana berencana pergi ke rumah Rey yang letaknya bertetanggaan dengan rumahnya.

Rumah Rey pun tak kalah mewah dengan rumah milik Hana. Namun, Hana datang ke rumah Rey bukan untuk mengagumi rumahnya.

"Rey! Rey!" panggil Hana dari luar.

Selang beberapa menit kemudian, seorang pria muda keluar dari rumah. Umur pria muda itu berkisar 22 tahun. Dia adalah kakak laki-laki tiri Rey yang bernama Izfan Renandika.

Izfan menghampiri Hana dan berkata, "Hana? Ada apa?" tanyanya.

"Apa Rey nya ada?" Hana mencari Rey.

Izfan mengerutkan dahinya. "Hana masuk dulu. Rey ada di kamar. Panggil saja dia, suruh dia keluar," katanya.

Hana tidak mengerti dengan maksud perkataan yang diucapkan oleh Izfan. Namun, pemikiran Hana masih sederhana. Ia tidak ingin mempermasalahkannya.

Hana mulai melangkahkan kakinya, memasuki rumah keluarga Rey yang tak kalah megah dengan rumahnya. Ia menaiki tangga, kemudian berjalan menuju kamar Rey.

"Rey, aku Hana," panggilnya dari luar pintu kamar Rey. Namun, tidak ada respon jawaban yang memperdulikan. "Rey," panggil Hana sekali lagi.

Tak ada respon sama sekali dari balik pintu yang menunjukkan kepekaan pendengaran Rey, ketika Hana memanggil-manggil namanya. Hana penasaran, lalu mengklik gagang pintu kamar Rey. Sayangnya, pintunya terkunci.

"Rey, apa kamu di dalam?" tanyanya, tetapi tetap tak juga direspon oleh Rey. "Rey, apa kamu baik-baik saja? Rey, aku Hana. Rey ... ."

"Pergi!!!"

Tiba-tiba suara teriakan menyentak, ketika melewati gelombang pendengaran Hana. Ya, itu suara teriakan Rey. Hana tersontak seketika. Ia reflek memundurkan satu langkah kakinya ke belakang. Namun, Hana tidak menyerah. Dengan respon yang ditunjukkan oleh Rey, ia mulai bisa merasa lega dari lubuk hatinya. Itu artinya, Rey baik-baik saja di dalam sana.

Hana memajukan langkahnya kembali sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Rey tanpa henti.

"Rey, tolong buka pintunya. Kenapa kamu mengurung diri di dalam? Rey, ada masalah apa? Apa salahku?" Hana tak henti-henti memaksa Rey membukakan pintu.

Hana menolehkan kepalanya ke arah samping. Ketika melihat sosok Izfan, kakak Reyhan, ia pun berhenti mengetuk pintu kamar Rey. Izfan berjalan santai menghampiri Hana. Kemudian, ia terhenti ketika telah berjarak dekat dengan posisi Hana berpijak.

"K-Kak, Izfan," gagap Hana.

"Apa Rey tidak keluar juga?" tanyanya.

"Rey, dia ... Sebenarnya, apa yang terjadi padanya? Kenapa dia sampai mengurung diri di kamar?" Hana bertanya karena sangat penasaran.

Izfan kembali mengerutkan dahinya sembari menghela nafasnya, sebelum ia menjawab pertanyaan dari Hana.

"Sepertinya, Hana belum tahu masalahnya. Ah benar, aku sampai lupa. Aku dengar Hana koma selama seminggu, dan sekarang baru pulang," ujarnya.

"Memangnya... ada apa, Kak?" Hana semakin penasaran.

"Hana pasti sudah tahu kalau Hana baru saja mengalami kecelakaan. Sepertinya... Hana tidak ingat banyak hal. Sudahlah, lupakan hal itu. Alasan Rey seperti ini, karena kecelakaan itu," ungkapnya.

Hana mengernyitkan kedua alisnya. "Rey seperti ini karena kecelakaan itu? Memangnya apa yang telah terjadi? Jika karena aku yang mengalami kecelakaan, aku sudah kembali. Tapi kenapa Rey ... ."

"Tentu saja tidak sesederhana itu. Dia seperti ini bukan karena Hana, tapi karena ibunya," ungkapnya.

"Karena ibunya? Maksudnya, Tante Rini? Memangnya, apa yang terjadi kepada Tante Rini?" Hana menanyakan tiga kali pertanyaan secara berturut-turut.

Izfan terhening selama beberapa menit. "Hana sepertinya tidak ingat banyak hal. Ketika Hana kecelakaan, Hana bersama ibu Rey. Hana selamat, tapi ibu Rey... meninggal," jelasnya.

Hana terhenyak seketika, kala mendengar pernyataan dari Izfan. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Izfan, dan apa yang baru saja terlintas di telinganya. Tidak, Hana tidak ingin mempercayai setiap bait-bait kenyataan.

"T-Tante Rini? Tidak mungkin. Tidak mungkin Tante Rini meninggal. Kak, jangan berbohong padaku. Aku memang anak kecil, tapi aku tidak bisa dibohongi. Jangan bercanda, Kak." Hana berusaha mengelak kenyataan.

Izfan tidak menjawab pertanyaan Hana. Ia hanya menghela nafasnya. Kemudian, ia mengelus rambut poni Hana sembari melewati tubuhnya.

"Tidak mungkin. Ini semua bohong!" gumam Hana dalam hatinya. Ia tatap menolak untuk percaya dengan kenyataan.

Hana terpaku di tempatnya. Kemudian, melirik ke arah pintu kamar Rey. Hana tidak sadar bahwa ia telah meneteskan airmata dari kedua pelupuk matanya.

Hana menyandarkan tubuhnya di daun pintu kamar Rey. "Rey, apa kau tidak akan keluar dari sana? Aku Hana. Baiklah, aku tidak akan memaksamu keluar. Aku hanya ingin kau mendengar perkataanku. Rey, kita sudah mulai bertumbuh besar. Dalam pertumbuhan ini, kita pasti akan kehilangan banyak hal. Rey, aku hanya ingin kau tahu. Aku di sini, aku tidak akan ke manapun. Rey, apa kau mendengarku? Kau harus mengikhalaskan segalanya. Mereka yang meninggalkan, akan sedih jika kita berada dalam keterpurukan. Rey, kau hanya harus ingat satu hal, Tante Rini sangat menyayangimu. Aku bahkan selalu iri," ucap Hana.

Tiba-tiba, pintu kamar Rey terbuka. Hana pun sepontan mendongakkan kepalanya, menatap sosok Rey yang terlihat sangat lusuh.