Perdebatan terjadi di dalam rumah yang begitu mewah. Tidak ada yang saling mengalah itulah keluarga mereka, sedangkan sang putra yang keras kepala terhadap pendiriannya kali ini.
"Kenapa kamu berubah pikiran Ando?" ucap Ayah yang terlihat kesal dengan Ando yang tiba-tiba saja tidak menyetujui perjodohan ini padahal beberapa hari lalu Ando menyetujui perjodohan yang telah dilakukan ini walau terlihat wajah terpaksanya.
"Sabar Mas, aku yang akan bicara dengan Ando nanti," jawab sang istri dengan menenangkan suaminya yang terlihat marah besar dengan keputusan anaknya yang berubah.
"Tidak peduli Ayah atau Bunda yang akan berbicara, aku akan tetap mengubah keputusan aku untuk membatalkan perjodohan ini," ucap Ando dengan marah terhadap kedua orang tuanya yang memaksa dirinya.
Awalnya dia berpikir kalau perempuan bernama Anya itu adalah perempuan baik-baik terlihat dari banyak penghargaan yang dimilikinya. Namun ketika bertemu pertama kali di sebuah bar dan terlihat perempuan itu yang bertengkar dengan beberapa pria bertubuh besar, apalagi saat itu Anya terlihat menjadi perempuan yang lemah. Dan setelah mengikuti serta mengetahui bagaimana dengan sikapnya Ando dibuat menggelengkan kepala.
"Perjodohan ini tetap berlangsung!" cetus ayah Ando dengan tegas.
"Tidak, aku tidak bisa menikahi perempuan gila seperti itu apalagi dengan mulutnya yang pedas seperti cabai. Ayah tidak lihat tadi dia mengatakan kalau aku memiliki kelainan padahal aku juga terpaksa menjadi calon suaminya." Ando berucap panjang lebar untuk meluapkan rasa kesal dan amarahnya.
Sedangkan bundanya terkekeh melihat putranya yang marah karena ucapan Anya tadi. "Ando dengar ya sayang, Bunda yakin kalau Anya akan berubah jika menikah dengan kamu nanti dan ucapan Anya benar kali sayang kalau kamu memiliki kelainan," jawab sang Bunda sambil terkekeh.
Ando membulatkan matanya, dia menatap mata bundanya yang sepertinya saat ini Bundanya tengah berada di pihak Ayahnya.
"Lihatlah wajah anakmu yang kesal itu sayang!" perintah bundanya kepada sang Suami untuk melihat ke arah Ando. "Dia marah dengan ucapan Anya tadi, ucapan Anya itu tidak salah dia memang benar kalau kamu memiliki kelainan pada hati."
Ando yang terlihat kesal langsung pergi begitu saja tanpa pamit atau permisi dengan bundanya.
Sedangkan rumah keluarga Anya juga sama-sama sedang terjadi pertengkaran bahkan karena hal yang sama.
"Aku sudah mengatakan jangan menikahkan aku dengan patung batu itu!" Anya yang sedang duduk di sofa berucap kepada kedua orang tuanya yang selalu saja memaksa dirinya untuk menerima Ando. Dia yang sedang sibuk dengan ponselnya bahkan tanpa menatap ayahnya yang saat ini tengah mengomel.
"Jika kamu bersama dengan Ando maka hidup kamu akan menjadi lebih baik, dia tampan dan mapan bahkan sebentar lagi dia memiliki rumah sakit. Ando juga anak yang baik, sopan tidak seperti kamu," ucap Ayahnya yang mencoba meyakinkan Anya untuk menyetujui perjodohan ini, bahkan di terakhir kalimatnya justru menyindir Anya. Mungkin dirinya seburuk itu?
"Benar apa yang diucapkan oleh Ayah kamu Anya, terima saja Ando lagi pula apa kurangnya dia. Kalau Ibu jadi kamu tentu saja Ibu akan memilih Ando dari pada Ayah kamu." ibunya berucap sambil membawa kopi milik sang Ayah.
Anya yang tidak peduli dengan ucapan mereka bahkan tak meresponnya karena baginya lebih baik dia memainkan ponsel yang menurutnya lebih penting dari pada membicarakan pria patung itu.
"Anya kamu dengar kamu tidak si?" bentak sang Ayah dengan wajah yang sudah memerah.
Anya pun tersentak kaget, ayahnya memang selalu marah terhadap dirinya. Namun hanya kali ini dia melihat sang Ayah marah besar lebih dari biasanya.
"Anya dengar kok, jika Ibu lebih memilih Ando lebih baik Ibu saja yang menikah dengan pria itu, Anya si tidak mau menikah dengan om-om seperti Ando," jawab Anya dan langsung saja melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya.
Mereka berdua tersentak kaget dengan ucapan putrinya lagi, bahkan para pembantunya yang sedang berada di dapur mendengar semua pertengkaran yang terjadi dengan begitu jelas sebab jarak antara ruangan keluarga dan dapur tidak begitu jauh.
"Anya hentikan langkah kamu!"
Ayahnya yang berteriak dan meminta agar Anya menghentikan langkahnya namun justru Anya tidak mengikuti ucapan ayahnya.
"Anya berhenti, jika kamu melangkah maka ayah tidak akan menganggap kamu sebagai anak ayah lagi!"
Ucapan Ayah Anya membuat langkah Anya terhenti.
Anya yang menghentikan langkahnya sambil menahan rasa sakit pada hatinya bahkan saat ini terasa begitu sesak. Dia terlihat mengepalkan tangannya, dan membalikkan tubuhnya.
"Terserah apa mau Ayah karena Anya tidak peduli," jawab Anya dan kembali melangkah menuju ke kamarnya.
Dia bukanlah perempuan yang sering membangkang orang tuanya namun mengingat kejadian sepuluh tahun lalu karena dirinya sang Kakak yang sangat berarti dalam hidupnya meninggal. Anya benar-benar merasa bersalah.
Kini dirinya berada di dalam kamar dan menutup pintu kamarnya dengan rapat serta tak lupa dia kunci. Dia tidak ingin ada orang yang masuk dan melihat wajah sedihnya.
Ya, saat ini Anya sedang menangis. Rasa bersalah dan sedih itu kembali hadir.
"Percuma aku mencoba menjadi dirimu tapi sepertinya Ayah dan Ibu tidak bisa menerima aku berbeda dengan kamu dulu. Aku ingin bebas sama seperti kamu," ucap Anya dengan sedih. "Hikss ... hikss ... maafkan aku ya kak karena tidak bisa menggantikan posisi kamu," Anya berucap kembali.
Dia dengan cepat menghapus air matanya dan berjalan menuju lemari. Dirinya mengambil koper besar, lalu memasukkan beberapa pakaian.
Dia tidak peduli bagaimana kondisinya sekarang yang terlebih begitu buruk. Dirinya masih saja kesal karena harus dijodohkan secara paksa seperti itu.
Anya tidak bisa menikah dengan pria seperti Ando, bahkan walau Ando pria sempurna sekali pun dia akan tetap menolak perjodohan ini sebab dirinya hanya akan menikah dengan orang yang dia cinta.
Mungkin beberapa orang mengatakan kalau cinta bisa datang setelah menikah, tapi Anya tidak mengenali sama sekali dengan Ando dan pertama kali bertemu dia mengenal Ando sebagai calon suaminya.
Membawa koper besar pada tangannya Anya menuruni anak tangga. Dia yang berpapasan dengan kedua orang tua sehingga membuat namannya terpanggil.
"Mau pergi kemana kamu?" tanya Ayahnya dengan menatap koper yang berada di samping tubuh Anya.
"Tentu saja pergi, bukankah Ayah tadi mengatakan kalau aku bukanlah anak Ayah." Anya menjawab dan melangkah namun tiba-tiba saja sebuah tangan menggenggam tangan miliknya.
"Jangan pergi sayang!" Orang yang menghalangi kepergian Anya adalah Ibunya.
Dalam hati Anya ingin berteriak dan menangis melihat tatapan ibunya yang memohon agar dirinya tak pergi, namun ucapan ayahnya sudah terlanjur membuatnya sakit hati.
Dia melepaskan tangan ibunya dari pergelangan tangannya dan melangkah pergi.
"Anya kembali kamu! Jangan menjadi anak durhaka seperti itu!"
Anya yang terus saja melangkah dan dua sudah berjanji tidak akan membalikkan tubuhnya.
Melihat kepergian putrinya membuat emosinya meningkat sehingga. "Arghh ... jantungku sakit," ucapnya sambil menyentuh dadanya.
"Mas kamu kenapa? Mas.... "
Bruk!