Setelah dengan sangat sengaja mengkritik Melani, Radit mendekati Gavin.
"Papa berangkat kerja dulu, ya. Kamu belajar yang bener," ucapnya lalu mencium singkat puncak kepala yang lebih muda sebelum melangkah pergi.
Dua orang berhasil dibuat terpana dengan kejadian singkat tersebut.
Gavin yang tidak pernah mendapat ciuman dari seorang papa, dan Melani yang akhirnya mengetahui sisi lembut Radit.
Meskipun masih ketus dan enggan menatap matanya, tetap saja Melani tidak bisa membantah bahwa ia semakin mencintai sosok Raditya Pratama.
Seusai menyiapkan segala kebutuhan sekolah. Dimulai dari bekal makan siang, buah-buahan, hingga satu kotak susu. Melani dan Gavin berjalan beriringan masuk ke dalam mobil.
"Gavin mau dengerin radio, nggak?" tawar Melani ketika mobil telah keluar dari area perumahan dan berada di jalan besar.
"Boleh, Ma," jawab Si kecil.
Perjalanan menuju sekolah diiringi dengan banyak cerita menarik.
Gavin berkata ingin memiliki kantung Doraemon. Lalu, Melani memberitahu bahwa Radit memiliki benda tersebut dan meminta anak itu untuk memintanya nanti.
Ibu dan anak yang baru dua hari bertemu itu saling melempar candaan. Menyanyikan berbagai lagu anak-anak bersama, hingga tak terasa telah sampai di depan gerbang sebuah sekolah dasar.
"Gavin nanti pulangnya kalau nggak Papa, ya Mama yang jemput. Pokoknya tunggu di dekat pos satpam, ya. Jangan kemana-mana dulu," tutur Melani ketika membukakan pintu penumpang untuk Gavin.
Belum sempat ia menjawab, sebuah teriakan nyaring dari seberang jalan berhasil mengalihkan perhatian mereka berdua.
"Gavin!!"
Panggilan itu berasal dari setidaknya lima anak berusia sepantaran, dua wanita dewasa dan seorang guru laki-laki.
Belum sadar akan apa yang terjadi sebenarnya. Gavin justru melambaikan tangan dan memperkenalkan mereka semua kepada Melani.
"Itu Ibu panti sama teman-teman Gavin di panti asuhan, Ma," ujarnya penuh semangat. Ia tidak sabar untuk memamerkan mama barunya kepada mereka.
Rombongan tersebut berjalan mendekat. Diikuti dua orang polisi dengan borgol pada genggaman tangan masing-masing.
Tunggu, setelah beberapa saat, Melani baru sadar bahwa wajah mereka tidak menunjukkan rasa senang dan ramah sama sekali. Ada apa ini?
"Kamu darimana saja sih, Gavin. Pak polisi, tolong tangkap wanita ini!" pekik perempuan berambut sebahu yang berusia paling tua.
Melani mundur beberapa langkah ke belakang. Satu orang polisi berhasil menghadang dan langsung memasang borgol di kedua tangannya.
"Maaf, salah saya apa ya, Pak, Bu? Saya tidak menculik Gavin dari siapapun," ucap Melani yang mulai panik.
"Tidak menculik kata kamu? Sudah jelas-jelas Gavin keluar dari mobil ini. Kamu juga kan yang kemarin bawa Gavin pergi!?" tuduhnya.
Gavin sendiri hanya diam. Ia telah berusaha untuk memberitahu Ibu panti. Namun seperti biasa, orang dewasa tidak akan mendengar penjelasan anak kecil.
Takut akan menyebabkan kekacauan di tempat umum, apalagi di hadapan para anak kecil. Kedua aparat keamanan tersebut membawa Melani masuk ke dalam mobil polisi.
"Anda bisa menjelaskan semua ini kantor polisi nanti."
Melani membulatkan mata. Salah apa dirinya hingga harus dibawa ke kantor polisi? Ia tidak menculik Gavin. Radit lah yang membawa anak itu pulang.
***
"Saya tanya sekali lagi. Apakah saudara Melani menculik Gavin Arkana Pratama kemarin siang sepulang sekolah?" tanya petugas interogasi.
Kini Melani berada di kantor Polisi terdekat. Hanya sendirian. Ditemani oleh seorang penggugat yang menuduhnya sebagai penculik anak.
Gelengan kepala lelah membuat polisi tersebut menghela nafas kesal. "Tolong jawab dengan kata-kata. Kalau Anda bicara jujur, semuanya akan lebih cepat selesai."
Enggan menjawab, Melani justru melirik wanita dengan pakaian khas suster tersebut.
Wanita itu masih menatapnya tajam. Seolah Melani adalah penjahat kelas kakap yang harus dihukum seberat-beratnya.
"Mbak–"
"Saya kan sudah bilang enggak. Suami saya yang bawa pulang Gavin ke rumah. Mesin ini benar, dia tau kalau saya nggak bohong!"
Melani berteriak kesal. Ia menunjuk-nunjuk ke arah mesin kejujuran yang berada di pergelangan tangan.
Sungguh, apakah semua orang dipaksa berkata 'Iya' untuk kejahatan yang tidak mereka perbuat?
"Baiklah kalau begitu. Jadi, ada nomor suami atau kerabat Anda yang bisa dihubungi sekarang?" tanya polisi itu sedikit lebih lembut.
Sejenak Melani terdiam. Jika menghubungi Radit, lelaki tersebut pasti tidak akan datang.
Ia takut identitas Gavin diketahui semua orang apabila menghubungi Mama Nita atau Kakek Yudhis. Melani juga tidak ingin Radit berada di kubangan masalah lebih besar lagi nantinya.
Gisel? Ah, tidak mungkin. Gadis itu adalah reporter di salah satu stasiun TV. Gisel juga secara terang-terangan berkata bahwa ia tidak menyukai perilaku Radit.
Bagaimana jika berita seorang pewaris perusahaan ternama yang baru saja menikah, ternyata telah memiliki anak tiba-tiba menjadi topik perbincangan?
Sementara Radit sendiri masih mengadakan rapat bersama para pimpinan tim di dalam perusahaannya.
Rapat ini berlangsung sejak satu jam yang lalu. Bertujuan untuk mengevaluasi seluruh karyawan. Kritikan pedas disertai umpatan sudah tidak terhitung berapa kali terucap.
"Memangnya mau kamu majukan kemana lagi perusahaan kita? Di depan ada jalan raya," cibirnya ketika mendengar visi misi karyawan yang tidak jauh beda dengan anak sekolah.
Ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Tidak ada yang bisa menganggu rapat kecuali sebuah berita penting. Dan Radit akan memecat orang itu jika ia membawa berita sampah.
Pintu terbuka. Asisten Radit yang kemarin siang mengantar baju ke rumahnya, masuk ke dalam dan menundukkan kepala beberapa kali.
"Ada apa?" tanya Sang atasan.
"Maaf, Pak. Ada panggilan masuk dari kepolisian."
Radit mengerutkan kening. Ia sedang tidak ada kerja sama penangkapan lembaga penipuan apapun dengan pihak polisi.
"Apa katanya?"
Ada sedikit rasa ragu untuk menyampaikan alasan polisi menelpon Radit.
Namun melihat wajah atasannya yang tak sabar, membuat asisten itu tidak memiliki pilihan selain berkata di tengah banyaknya anggota rapat.
"Bu Melani. Beliau dituduh sebagai tersangka utama penculikan anak, Pak."
***
Bunyi decitan rem terdengar. Mobil hitam milik Radit berhenti di tempat parkir sebuah kantor polisi. Hampir saja ia menabrak sebuah tiang jika tidak memiliki reflek mengerem yang baik.
Setelah mendapat kabar yang cukup mencengangkan, Radit langsung membubarkan rapat. Dalam hati, para karyawan bersorak gembira karena terbebas dari neraka dunia.
Pria itu mengendari mobil seperti orang kesetanan. Ia yakin, setelah sampai rumah, beberapa surat tilang online mungkin akan dirinya dapatkan karena menyela lampu merah.
"Wanita itu, kenapa membuat masalah di saat-saat seperti ini!" Gerutu Radit seraya membuka kacamata hitam, dan berjalan masuk ke dalam kantor polisi.
Sungguh, ia tidak akan peduli jika Melani dipenjara akibat pencurian atau lakalantas. Tapi yang menjadi masalah adalah, wanita itu menyeret nama Gavin disini.
"Pak Radit, mari saya antar ke tempat Bu Melani," ujar seorang asisten yang telah datang terlebih dahulu.
Bak sebuah drama Korea yang mengusung tema kepolisian, Radit berjalan angkuh. Wajah datar, bentuk tubuh proporsional, serta aura intimidasi yang kuat membuatnya semakin terlihat berkharisma.
Seluruh pasang mata pengunjung dan petugas dengan laporan mereka masing-masing, menatap lelaki itu dengan tatapan memuja. Menjadi perhatian umum sudah sangat biasa baginya.
"Mas Radit!"