Chereads / Goresan Luka Setelah Pernikahan / Chapter 11 - Kantor Polisi

Chapter 11 - Kantor Polisi

Pekikan seorang wanita mengalihkan perhatian Sang pemilik nama. Membuat situasi penuh kekaguman menjadi rusak begitu saja.

Melani, duduk di depan meja polisi dengan kedua tangan diborgol, menampilkan senyuman lega yang justru membuat Radit membuang muka.

Jujur saja, Melani sendiri tidak berharap suaminya akan datang.

Tetapi ia tetap bersyukur jika Radit benar-benar datang untuk membebaskannya. Karena bagaimanapun juga, ini adalah murni kesalahan Radit.

"Pak Radit, apa benar anda adalah suami sah saudara Melani?" tanya seorang polisi.

Walaupun sebenarnya sangat enggan mengakui Melani sebagai istri, Radit dengan sangat terpaksa mengangguk mengiyakan agar masalah tidak semakin rumit.

Ia dipersilahkan untuk duduk di sebelah wanita yang masih diduga sebagai pelaku utama tersebut.

Sementara di kursi tunggu, pria berbalut jas kantor itu melihat gadis yang pernah ia temui di panti asuhan. Perlahan, Radit mulai menerka-nerka apa yang membuat Melani mendapat tuduhan seperti ini.

"Ini kesalahan kamu, Mas. Kamu nggak bilang ke orang panti kalau bawa pulang Gavin," bisik Melani.

Radit menegak. Benar. Ia lupa memberi kabar kepada Bu Yani bahwa Gavin akan menetap di rumahnya mulai sekarang.

Tetapi sungguh, apakah mereka harus membawa masalah ini sampai di kepolisian? Radit bahkan orang tua kandung anak itu. Ia berhak atas kelangsungan hidup Gavin kedepannya.

"Kamu sendiri kenapa nurut waktu dibawa kesini? Harusnya ajak bicara baik-baik di panti asuhan. Kurang pintar kamu ini." Kritik Radit menyatukan kedua alisnya kesal.

Melani membuka mulut. Kenapa suami tercintanya ini justru melempar kesalahan yang jelas-jelas ia buat sendiri?

Melani bahkan tidak tau apa-apa. Tugasnya hanya mengantar Gavin, dan malah berakhir di kantor polisi tanpa tau apa kesalahannya.

"Kayaknya kamu deh yang nggak pintar, Mas. Cuma kirim pesan singkat ke orang panti aja sampai lupa. Aku ini pihak yang dirugikan, loh!" protes wanita itu.

Radit menatap tajam Melani. "Kamu yang saya rugikan? Gimana kalau kita cerai saja biar nggak ada yang sama-sama merasa rugi?" timpalnya memanfaatkan keadaan.

Suara batuk yang sengaja dibuat-buat, sukses membuat keduanya terdiam dan menghentikan aksi perdebatan.

Dengan senyuman merekah menahan kesabaran, petugas interogasi itu berkata, "Debatnya dilanjut nanti dulu ya Bapak, Ibu. Bisa kita mulai sesi tanya jawabnya?"

Lagi-lagi Radit mengangguk, ia membenarkan posisi duduknya dengan tangan terlipat di depan dada.

Sementara Melani menghela nafas lelah. Ia sudah benar-benar muak mendengar segala pertanyaan yang menyudutkan dirinya sejak tiga puluh menit lalu.

"Menurut keterangan Ibu Melani, apa benar Pak Radit membawa Gavin pulang tanpa seizin pihak panti?"

"Benar. Tapi, apa salahnya? Gavin anak kandung saya."

Melani meringis. Mencoba menahan malu dan berpura-pura setuju dengan perkataan suaminya.

"Bukan masalah itu, Pak. Tapi membawa anak tanpa izin adalah hal yang tidak dibenarkan. Apa Bapak tau bahwa perilaku seperti ini bisa mendapat sanksi?" lanjut petugas keamanan.

"Iya, saya mengerti. Tapi kan dia anak saya, Pak. Seharusnya nggak perlu lah sampai dibawa-bawa kesini," timpal Radit masih teguh dengan pendiriannya.

Polisi itu menyandarkan punggung pada senderan kursi. Ia tak habis pikir, sepasang suami istri ini sama-sama memiliki sifat yang keras kepala dan tidak mau kalah.

Sungguh, bagaimana cara mereka membangun keluarga yang harmonis dengan watak seperti itu?

"Begini–"

"Mama! Papa!!"

Teriakan keras tersebut membuat semua orang menoleh ke sumber suara.

Gavin, dengan wajah memerah, berlari menghampiri sepasang suami istri yang tengah mengibarkan bendera perang dingin, dan berusaha mengalahkan satu sama lain.

Di belakang Gavin, terdapat dua orang yang sempat Melani temui di sekolah pagi tadi. Mereka adalah wali kelas sekaligus ibu panti yang telah berusia lebih dari empat puluh tahun.

Tanpa berpikir dua kali, anak berseragam itu langsung menghamburkan diri memeluk Sang mama dengan erat.

"Mama mau kemana? Mama jangan pergi. Gavin janji nggak akan nakal," cerocosnya.

Punggung kecil milik Gavin bergetar hebat. Isak tangis terdengar semakin keras, seolah tidak ingin kehilangan sosok Ibu yang sangat ia impi-impikan sejak dulu.

Sedangkan Melani hanya tersenyum tipis. Entah mengapa, walaupun bukan darah dagingnya sendiri, mendapat pelukan hangat dari Gavin mampu membuatnya merasa nyaman.

"Mama nggak kenapa-napa kok, Sayang. Mama juga nggak akan pergi ninggalin Gavin. Jangan nangis lagi, ya," tutur wanita itu berusaha menenangkan.

Di kursi sebelah, Radit menyaksikan drama picisan itu dengan satu alis terangkat. Mereka bahkan baru dua hari bertemu, ini tidak sama seperti yang ia harapkan.

Siapa sebenarnya orang tua kandung Gavin? Dirinya, atau justru Melani? Lalu, mengapa Gavin tidak ikut memeluknya? Gerutu Radit dalam hati.

Melihat Bu Yani selaku pemilik panti yang membuat kesalahpahaman ini semakin membesar, membuat Radit mengesampingkan pemikiran bodohnya sejenak.

"Lihat sendiri, kan? Jika saya memaksa Gavin untuk ikut, dia tidak akan sedekat ini dengan istri saya," ucap Radit memecah keheningan yang sempat tercipta.

Melani semakin membenamkan kepala di bahu Gavin. Kedua pipinya bersemu merah tatkala Radit menyebutnya sebagai istri.

Secara tidak langsung, meskipun menyebalkan, namun lelaki itu tetap menganggap Melani sebagai pasangan hidupnya di depan umum.

"Dan Bu Yani, saya sudah pernah bilang jika ada sesuatu yang terjadi kepada Gavin, tolong hubungi saya dulu. Jangan langsung ambil keputusan sendiri. Gavin itu anak saya," imbuh Radit menatap Bu Yani.

Ia memiliki banyak asisten yang pandai menjaga rahasia dan mampu mencari Gavin jika anak tersebut hilang. Melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib, tentu akan menimbulkan perhatian beberapa orang.

Bagaimana jika tiba-tiba Kakek Yudhis tau rahasia yang Radit simpan selama bertahun-tahun?

"Anak yang dititipkan di panti asuhan maksudnya? Kalau apa-apa harus menunggu keputusan Bapak, kenapa tidak dirawat saja sendiri?"

Perkataan itu sontak mengejutkan Radit. Ia beralih menatap seseorang yang berdiri di belakang dengan tatapan tajam.

Gadis kecil yang dulu menyambut kedatangan Gavin ketika masih bayi, kini telah tumbuh menjadi wanita berpendidikan dan banyak bicara.

"Apa maksud kamu?" Bisik Radit berjalan mendekat.

"Gavin pernah sakit typus. Jika menunggu keputusan Bapak yang sulit untuk dihubungi, mungkin Gavin akan meninggal sebelum dibawa ke rumah sakit," tutur wanita tersebut dengan nada yang kelewat santai.

Setelah menarik nafas, ia melanjutkan perkataannya, "Dia juga pernah menjadi korban tabrakan, pelaku mungkin akan berada di penjara saat ini. Tapi karena asisten Bapak yang urus, pelaku justru melarikan diri."

Radit mengepalkan kedua tangan menahan emosi.

Siapa dia hingga berani berbicara lancang padanya? Tidakkah ia tau bahwa Radit adalah donatur terbesar di panti asuhan tempatnya tinggal?

Sungguh, Radit bisa saja merusak nama baik panti itu jika harga dirinya dijatuhkan seperti ini. Namun sekarang, bukan saatnya untuk membuat masalah baru.

"Kamu pikir, siapa yang membiayai sekolah anak panti termasuk kuliah mahal kamu jika bukan saya? Dan tentu, saya juga bisa mencabut semua itu."

Ancaman tegas yang Radit berikan membuat gadis tersebut mematung. Perkataannya beberapa saat lalu memang benar. Namun, ia berurusan dengan orang yang salah.

"Ah, maafkan perkataan Sera yang kurang sopan, Pak Radit. Sera, ayo minta maaf!" Sembari menyenggol gadis yang diketahui bernama Sera tersebut, Bu Yani akhirnya angkat bicara.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata dan air muka menyesal, Sera menundukkan kepala sebagai permintaan maaf kepada pria yang lebih tua.

Radit mengangguk singkat. "Saya harap Bu Yani segera mencabut laporan ini. Dan untuk Gavin ...." Lelaki itu beralih menatap Sang anak.

Gavin ikut menatap ketiga orang dewasa tersebut satu persatu. Sikapnya yang semakin menempelkan diri pada tubuh Melani, sudah menjadi jawaban atas apa yang akan Radit tanyakan.

"Gavin saya bawa pulang. Dokumen perpindahan hak asuh akan diurus sembari berjalan. Jika semua ini karena uang, maka Ibu harus menyetujui keputusan saya," jelas Radit kemudian pergi meninggalkan ruangan.

Sejak usia tiga bulan, Gavin telah dititipkan ke panti asuhan tanpa akta kelahiran.

Kini, berbekal orang dalam yang dikenal Radit, Gavin akan menjadi anak kandung yang diakui oleh negara dan mendapat semua haknya dengan mudah.

Setelah menandatangani beberapa berkas serta berbincang singkat bersama Bu Yani, Melani dan Gavin berjalan beriringan keluar dari kantor polisi.

"Gavin mau naik taksi atau MRT?" tanya Melani memberi pilihan.

Mobilnya masih ada di sekolah tempat Gavin belajar. Sementara Radit, ah, apa yang akan ia harapkan dari lelaki itu? Mau membantunya terbebas dari tuduhan penculikan saja Melani sudah sangat bersyukur.

"Gavin mau sama Papa, Ma." Jawab Si kecil menunjuk ke arah parkiran mobil.

Di sana, di bawah teriknya sinar matahari. Radit berdiri menyandarkan sebagian tubuh pada kap mobil.

Kacamata hitam serta satu batang cerutu dengan asap berterbangan, sukses menambah level ketampanan pria beranak satu tersebut.

"Papa!!"

Gavin berlari menarik tangan Melani yang sempat dan selalu dibuat terpana akan penampilan suaminya.

Seusai membuang rokok yang tersisa setengah ke sembarang arah, Radit tersenyum samar. Ia mengelus pelan puncak kepala Gavin.

Belum sempat keluarga kecil itu masuk ke dalam mobil. Gisel, dengan sebuah kamera digital di genggaman tangan, berjalan mendatangi mereka.

"Melani, Radit? Kalian ada disini juga?" tanyanya.

Sepasang suami istri tersebut kompak saling menukar pandangan. Tidak akan menjadi masalah jika Gisel hanya bertemu dengan mereka berdua. Namun, ada Gavin disini.