Chereads / Goresan Luka Setelah Pernikahan / Chapter 13 - Tamparan

Chapter 13 - Tamparan

Keringat dingin membanjiri seluruh tubuh hingga telapak tangan Radit. Ingin sekali ia menutup mulut Gavin dan menguncinya di dalam kamar, namun itu semua sudah terlambat.

Semakin Radit bertingkah, maka kakek Yudhis akan semakin curiga. Satu hal yang perlu ia lakukan saat ini hanyalah diam dan menunggu saat penghakiman tiba.

"Kok kalian berdua masih berdiri disini? Saya sama Gavin nggak boleh masuk?"

Pertanyaan tersebut sontak membuat Melani dan Radit salah tingkah. Dengan senyuman manis, Melani mencuri satu kesempatan untuk menggandeng tangan Radit dan menyeretnya ke samping.

"Silahkan masuk, Kek. Gavin, ayo sini sama Mama." Ucapnya mempersilahkan pria yang lebih tua untuk masuk terlebih dahulu.

"Gavin biar sama saya saja," timpal Yudhis tanpa menatap ke arah keduanya.

Melani menengguk ludah. Agaknya hari ini menjadi hari paling sial semasa hidupnya. Pagi ditangkap polisi, dan siang bertemu kakek Yudhis yang penuh intimidasi.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Dalam pikiran Melani, ia harus segera membawa Gavin pergi ke kamar dan ikut bersembunyi di dalam sana. Biarlah Radit sendiri yang akan menanggung semua ini.

"Aku membawa makanan siap saji dari restoran favorit Radit. Melani, tolong siapkan piring dan sendok," lanjut kakek Yudhis sesaat setelah mereka sampai di ruang tamu.

Tatapan dingin kini berubah menjadi teduh. Pria dengan rambut yang telah sepenuhnya memutih itu tersenyum lembut ke arah semua orang. Tak terkecuali pula kepada Radit dan Melani.

Kesal karena tak mendapat jawaban memuaskan, pria tua tersebut kembali berkata, "Melani, kau tidak sedang mengalami gangguan telinga, kan?"

Ah, kini Melani tau darimana Radit belajar kata-kata sarkas yang selalu keluar setiap kali lelaki itu merasa kesal. Anak-anak selalu meniru perkataan orang tua, bukan? Semoga saja Gavin tidak meniru kedua pria ini.

Melani bergegas pergi ke dapur. Menata piring dan sendok, sekaligus mengeluarkan makanan dari dalam bungkusan. Ketiga orang dewasa itu kompak duduk di kursi berbahan dasar kayu, tanpa berniat mengeluarkan satu dua kata sekalipun.

Apa yang harus Radit dan Melani ucapkan? Jika berbasa-basi takut tidak dibalas. Jika langsung ke inti permasalahan, sungguh, Radit bahkan berdoa bahwa ini semua hanyalah mimpi belaka.

"Gavin, ayo duduk di sebelah Kakek," ucap Yudhis ketika melihat Gavin baru saja keluar kamar untuk berganti baju.

Gavin menurut, anak itu berjalan riang dan menerima uluran tangan seseorang yang ia panggil kakek. Situasi yang terlalu hangat seperti ini justru membuat Radit dan Melani semakin tidak paham.

Agenda makan siang dimulai. Yudhis masih memperlihatkan kepribadian ramahnya. Tak sekali dua kali ia juga melempar candaan atau sekedar bertanya tentang kegiatan sekolah kepada Gavin.

Ya, hanya pada Gavin. Karena cucu dan menantunya sengaja ia diamkan begitu saja.

Sibuk memperhatikan gaya bicara serta air muka Gavin yang sangat mirip Radit, membuat Yudhis baru sadar bahwa anak itu memakai sebuah kalung yang sama persis dengan gelang milik Melani.

"Gavin, kamu dapat kalung itu dari mana?" tanyanya.

"Dari ibu panti, Kek. Katanya ini pemberian dari orang yang sayang sama Gavin," jawab bocah tersebut, sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepadanya satu tahun lalu. Ingatan Gavin benar-benar baik.

Kalung dengan bandul batu sapphire itu adalah milik Radit. Benda yang menjadi bukti bahwa Radit telah bertunangan dengan Melani, namun ia berikan kepada Gavin sebagai tanda kasih sayang.

Ingin mendapat informasi lebih jelas, Yudhis lanjut bertanya, "Jadi kamu selama ini tinggal di panti asuhan?"

Satu anggukan kepala dari Gavin membuatnya menatap Radit dan Melani bergantian. Sementara yang ditatap hanya bisa terus tersenyum dengan kaki yang saling berusaha menginjak.

Hening kembali menyelimuti, bunyi alat makan yang bersentuhan menjadi satu-satunya sumber suara. Armosfer mencekam hanya bisa dirasakan oleh pemilik kesalahan serta seseorang yang terseret masuk.

Hingga sepuluh menit kemudian, makan siang akhirnya usai. Radit menghela nafas seraya menyenderkan punggung pada kursi. Piringnya memang telah kosong, tetapi perutnya sama sekali tidak bisa merasa kenyang.

"Gavin."

Pemilik nama menoleh. Sedangkan Radit memasang wajah masam. Apa lagi yang akan Yudhis tanyakan kepada anak ini, keluhnya dalam hati.

Gavin tidak pernah belajar berbohong. Itu adalah keuntungan serta kerugian bagi setiap orang yang berada di dekatnya.

"Kamu tidak tidur siang?"

Dengan gerakan cepat Melani langsung berdiri, menurunkan Gavin dari kursi dan menggenggam tangannya erat. "Ah, benar. Gavin pamit tidur siang dulu ya, semuanya."

Radit membulatkan mata tatkala Melani beranjak pergi dan masuk ke dalam kamar bersama Gavin. Lantas bagaimana dirinya? Haruskah ia menghadapi semuanya sendirian?

"Ayo bicara di ruang tamu," ajak Yudhis melangkah terlebih dahulu.

Habis sudah riwayat Radit. Mau tak mau, ia harus menuruti perintah kakeknya atau masalah ini akan bertambah rumit.

Yudhis mendudukkan diri di atas sofa. Meletakkan satu kaki di atas kaki yang lain, seraya melonggarkan dasi yang entah mengapa terasa dua kali lebih mencekik daripada biasanya.

"Radit, aku hanya memperbolehkan dirimu untuk menjawab 'benar' dan 'tidak'. Alasan apapun tak akan diterima," ujar Yudhis. Ini sebagai antisipasi agar Radit tidak membuat alibi bodoh yang akan membuatnya semakin kesal.

"Apa benar bahwa Gavin adalah anak kandungmu?"

Sebenarnya, tak perlu bertanya pun Yudhis sudah tau. Cukup aneh jika melihat dua orang berwajah mirip, namun tidak memiliki hubungan biologis apapun, bukan? Ia hanya ingin mendengar kebenarannya dari Sang cucu.

Radit menggenggam erat kedua tangannya. Irama nafas yang tak beraturan serta keringat membanjiri dahi, menjadi pertanda bahwa ia tengah dilanda rasa panik.

Dengan mata yang menutup rapat, Radit menjawab, "Benar."

Bagaimanapun juga, meski jawaban yang terlontar dari mulut cucunya sudah dapat diprediksi, namun tetap saja ada rasa sakit yang menusuk jantung Yudhis.

Pria paruh baya itu berdiri dengan tangan di belakang. Ia berjalan memutari tubuh jangkung Radit. "Kau membuang Gavin di panti asuhan sejak dia lahir, apa benar?"

Tidak ada gunanya berbohong jika kau sudah mengakui satu kebenaran. Radit menganggukkan kepala sebagai jawaban. Sama seperti Yudhis, ia sendiri juga sudah tidak mampu berkata-kata lagi.

Plak!!

Satu tamparan keras membuat Radit kehilangan keseimbangan. Merasa kurang puas, Yudhis menarik kemeja yang lebih muda dan kembali menamparnya.

"Memalukan! Aku tidak pernah mengajarimu hal hina seperti itu. Kau benar-benar orang yang tidak memiliki rasa malu dan tanggung jawab!"

Entah seberapa keras tamparan yang dilakukan, suara itu berhasil masuk ke dalam kamar milik Gavin yang masih membaca buku dongeng bersama mamanya.

"Papa sama Kakek Yudhis kenapa, Ma? Mereka bertengkar, ya?" tanya Si kecil.

Melani tersenyum hangat dan menutup buku sebelum cerita diselesaikan. Ia mengelus pelan puncak kepala Gavin. Anak ini terlalu banyak mendengar pertengkaran orang dewasa, hal itu tidak baik untuk kesehatan mentalnya.

"Hanya salah paham kecil, seperti Gavin jika ketahuan minum es lebih dari tiga kali sehari. Sekarang, kamu mau dengar lagu-lagu, nggak?" Jawab Melani mengeluarkan sebuah earphone dari dalam laci.

"Mau, Ma!" jawab Gavin penuh semangat. Selain membaca, ia juga memiliki hobi bernyanyi dan mendengarkan lagu anak-anak dari dalam maupun luar negeri.

Melani dengan segera memasang penyuara jemala tersebut ke telinga anaknya. Dengan ini, Gavin tak akan mendengar perkataan yang tidak patut didengar oleh anak kecil.

Setelah membiarkan anaknya larut dalam lagu, senyuman Melani mendadak luntur. Diam-diam, ia mengkhawatirkan keadaan Radit.

Ini memang kesalahan lelaki itu. Tapi Melani juga ikut andil dalam menyembunyikan Gavin dari semua orang. Setidaknya, entah apa hasil akhir yang didapat, Melani harus membela Radit di depan kakek serta mama mertuanya.