Chapter 15 - Sakit

Suasana pagi ini masih sama seperti yang sebelumnya. Melani dan Gavin melakukan agenda sarapan bersama dengan menu berupa nasi goreng. Agaknya, makanan berbahan dasar nasi itu menjadi menu sarapan favorit beberapa keluarga setelah roti dan selai.

Hal yang membuat berbeda adalah ulasan senyum Melani. Selain lebih lebar, senyumannya juga terlihat jauh lebih tulus dari hari-hari biasa.

Alasan dari perubahan itu adalah kalimat singkat yang Radit ucapkan kemarin malam. Hanya sebuah kalimat terima kasih. Semua orang juga bisa melakukannya. Namun jika Radit yang berkata, tentu saja Melani akan dibuat mabuk kepalang.

Itu baru kata-kata yang notabene dapat diucapkan oleh semua orang. Bagaimana jika Radit berkata bahwa ia mencintai Melani? Wanita itu pasti tak sadarkan diri dengan cairan merah yang keluar dari hidung. Tetapi, hal tersebut sangatlah tidak mungkin bagi mereka. Melani tidak ingin banyak berkhayal.

"Papa kok belum turun, Ma?" tanya Gavin setelah menghabiskan isi piringnya. Hari ini ia ingin berangkat bersama Sang papa. Mau bertanya mengenai kantong Doraemon, katanya.

Terlalu bersemangat membuat Melani lupa bahwa seseorang yang menjadi sumber semangatnya belum turun ke bawah. Padahal, Melani sudah menyisikan satu porsi nasi goreng untuk Radit.

Seraya membersihkan sisa makanan di ujung bibir Gavin, Melani menjawab, "Papa kayaknya masih ada di atas, Nak. Mama coba tengok sebentar, ya. Gavin pakai tas sama sepatu dulu aja."

Usai berkata demikian, Melani melangkahkan kakinya menyusuri satu persatu anak tangga. Mengetuk pintu kamar Radit yang anehnya belum dikunci sejak kemarin malam, dan nekat membukanya ketika seseorang di dalam sana tak kunjung menjawab.

Ini sudah hampir pukul 7 pagi, namun pria itu masih berada di atas kasur. Meringkuk layaknya anak kecil dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh kecuali bagian kepalanya.

"Mas Radit, kamu nggak berangkat kerja? Gavin pengen di antar sama kamu." Ucap Melani berjalan mendekat.

Radit menggeleng, "Saya nggak kerja hari ini. Kamu kan bisa anterin dia. Kalau malas, biar asisten saya atau suruh Gavin naik angkutan umum," jawabnya.

Melani menaikkan sebelah alis. Gavin adalah anak berusia 8 tahun yang masih duduk di bangku kelas dua SD. Mana mungkin ia bisa naik kendaraan umum sendirian dengan jarak antara rumah dan sekolah yang cukup jauh?

"Tapi Gavin maunya sama kamu, Mas. Kamu juga nggak pernah antar dia ke sekolah, loh!" ucap Melani masih berusaha membujuk Radit.

"Tapi saya nggak mau!" Dan Radit tetap dalam pendiriannya untuk berkata tidak.

Tak mau menyerah begitu saja, Melani menyibak selimut berwarna coklat milik Radit dan memegang lengan pria itu untuk segera berdiri. Namun sepersekian detik kemudian, rasa hangat yang ia rasakan membuat Melani membulatkan mata.

"Kamu demam, Mas? Ada yang sakit nggak selain punggung kamu? Aku panggil dokter keluarga, ya?" ocehnya panik.

Kepala Radit justru semakin pening dengan telinga yang berdengung tatkala mendengar rentetan pertanyaan keluar dari mulut Melani. Wanita ini benar-benar menjengkelkan, batinnya kesal.

"Mas, jawab dong!"

"Saya cuma pusing, Mel! Dibuat tidur juga nanti bakal hilang. Kamu keluar aja sana, bisa mati saya kalau dengar ocehan kamu," semprot Radit tanpa jeda hingga membuat Melani meragukan bahwa suaminya ini tengah sakit.

Setelah berada di ambang pintu, yang lebih muda kembali menatap Radit. Berharap pria tersebut mengucapkan selamat tinggal, permintaan maaf, atau terima kasih telah dikhawatirkan seperti malam kemarin.

"Mas, nanti kalau butuh sesuatu kamu teriakin nama aku aja, ya. Aku ada di bawah, kok," ujarnya. Ia baru ingat bahwa mereka berdua tidak pernah bertukar nomor telepon. Rumah tangga macam apa ini sebenarnya? Batinnya menertawakan diri sendiri.

Melani kembali turun ke bawah. Menemukan Radit kecil berpakaian batik yang sudah menunggu di sofa ruang tamu.

Ah, ia tak akan tega jika melihat senyuman itu memudar karena papanya tidak bisa mengantar sekolah. Namun mau bagaimana lagi, bisa terjadi suatu hal yang tak diinginkan jika Melani terus memaksa Radit untuk mengantar Gavin.

"Gavin, maaf ya, hari ini Papa agak kurang enak badan. Kalau misalnya kamu diantar sama Pak Andre aja gimana? Mau, nggak?" tuturnya menyinggung nama asisten Radit.

Tak disangka, senyuman Gavin ternyata tidak pudar semudah itu. Ia sudah sangat sering dikecewakan oleh harapan sejak berada di panti asuhan. Mendengar Radit tidak bisa mengantar dirinya tentu bukanlah suatu hal besar. Toh, mereka juga masih bisa bertemu setiap hari.

"Mau kok, Ma. Mama di rumah aja jaga Papa, ya," jawab Gavin.

Sosok yang dipanggil Mama itu ikut tersenyum lega, Gavin memang tidak seperti sebagian anak kecil di luaran sana. Ia sangat mandiri dan mengerti bagaimana keadaan kedua orang tuanya.

Pukul 10 siang.

Dering telepon yang berbunyi berkali-kali membuat Radit mengeluarkan decakan kesal. Ia terbangun dari tidur. Mengambil benda pipih di atas nakas, dan menekan tombol hijau setelah membaca nama sekretarisnya yang terpampang jelas di layar ponsel.

"Ada apa, sih? Kamu ganggu waktu tidur saya!" Cerca Radit menyatukan kedua alis.

"Maaf, Pak. Kolega yang dari Singapura sudah datang, mereka menunggu kedatangan Bapak di ruang meeting," ucap wanita di seberang telepon.

Sungguh, Radit lupa bahwa dirinya telah memiliki janji dengan rekan kerja yang cukup penting untuk kemajuan perusahaan. Setelah memastikan sekretaris itu menahan kepergian koleganya, Radit dengan segera pergi ke toilet untuk sekedar membasuh muka dan berganti baju di walk in closet.

Berusaha tak mengindahkan rasa pening yang semakin menjadi serta nyeri pada punggung akibat cambukan, lelaki berbalut jas biru dongker itu turun ke bawah sembari membenarkan kancing di bagian pergelangan tangan.

"Kamu mau kemana, Mas?"

Pertanyaan tersebut bertepatan dengan Radit yang hampir saja membuka kenop pintu utama. Ia menoleh ke belakang, menatap Melani yang juga tengah menatapnya tajam dengan sebuah pisau di tangan kanan.

Radit mundur beberapa langkah ke belakang hingga menyentuh permukaan pintu. Sementara Melani terus berjalan mendekat tak mengerti apa alasan dibalik wajah ketakutan suaminya.

"Kamu kenapa bawa pisau segala, sih?"

Tersadar, Melani langsung meletakkan pisau tersebut di meja ruang tamu. Ia tengah memotong beberapa sayuran ketika mendengar suara pantofel turun ke bawah.

"Mas mau kerja? Tapi kamu belum sarapan, Mas. Belum minum obat juga, kan?" tanya Melani sekali lagi.

Radit tertawa kecil, "Mau saya makan atau tidak, itu bukan urusan kamu. Saya ada rapat penting hari ini," singkatnya.

"Mas!" Melani menarik paksa tubuh jangkung Radit agar berbalik. Punggung tangannya sengaja ia arahkan menuju dahi pria itu untuk mengecek suhu tubuhnya.

"Badan kamu makin panas, Mas! Kamu nggak boleh keluar dulu," pinta Melani lebih tegas.

Walau dalam kondisi kurang sehat sekalipun, Radit dapat menepis tangan istrinya dengan kasar. "Jangan karena kamu mengobati saya kemarin malam, sekarang kamu jadi bisa pegang-pegang seenaknya. Saya tidak pernah mengizinkan orang lain memegang kepala saya seperti tadi!" bentaknya.

Melani yang mulai kehabisan kesabaran pun langsung menyahut, "Aku istri kamu, Mas, bukan orang asing!"

"Istri enam bulan lebih tepatnya."

Setelah mengeluarkan kata-kata yang mampu membungkam mulut Melani, Radit berjalan keluar. Meninggalkan wanita berkulit putih itu sendirian di dalam rumah.

Kedua tangan Melani menggenggam kuat. "Justru karena itu, seharusnya kamu biarin aku jadi istri teladan yang melayani suaminya selama enam bulan. Bukan malah kamu anggap sebagai orang asing yang menumpang disini," monolognya.

Benar, Melani tidak boleh menyerah hanya karena kata-kata dan perlakuan kasar Radit.

Setelah kembali mengumpulkan keberanian serta semangat, wanita tersebut langsung membuka pintu untuk menyusul lelaki yang ternyata tergeletak tak sadarkan diri tepat di depan mobilnya.

"Mas Radit!!"