"Nggak ada yang serius. Kamu pasti pernah kan merasa meriang karena terluka? Nah, Radit juga seperti itu. Bedanya, kondisi badan dia juga memang sudah drop sejak awal," tutur seorang laki-laki berjas putih lengkap dengan stetoskop yang melingkar di lehernya.
Masih dengan menampilkan air muka khawatir, Melani mengangguk lemas. Ia dan dokter tersebut berjalan keluar dari kamar dan berhenti di ruang tamu untuk sekedar berbincang ringan.
"Nggak perlu khawatir, Mel. Pertolongan kamu sama luka dia kemarin udah benar, kok. Nanti aku kasih obat antibiotik juga. Pastikan kali ini diminum, ya," lanjutnya terdengar lebih santai dari sebelumnya.
Bagaimana bisa Melani tidak khawatir ketika melihat Sang suami tergeletak tak sadarkan diri?
Dengan bantuan asisten Radit, ia membawa tubuh jangkung itu masuk ke dalam kamarnya. Melani tidak ingin menyusahkan dirinya sendiri dan asisten dengan membawa Radit ke kamar atas.
Karena tidak memiliki kontak dokter keluarga Pratama dan kakek Yudhis yang enggan mengangkat telepon, Melani terpaksa meminta tolong kepada teman masa sekolahnya, Fandi.
"Makasih banyak ya, Fan. Kira-kira kamu kena marah nggak ya kalau keluar pas jam kerja?" tanya Melani risau.
Lelaki berkulit sawo matang itu menggeleng pelan. "Enggak, kok. Santai aja," jawabnya.
"Tapi kalau boleh tau, luka di punggung suami kamu itu kenapa, Mel? Dia habis berantem apa gimana?" lanjut Fandi llham mm ketika mereka berdua berada di ambang pintu keluar.
Sejenak Melani terdiam. Memikirkan apa kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan Fandi. Rasanya sangat tidak pantas jika ia mengungkap aib keluarga di depan orang lain.
"Rahasia, dong. Kamu nggak boleh tau!" ujar Melani disertai senyuman jahil, berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
Fandi ikut tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepala. Jika seperti ini, ia tidak boleh kembali bertanya dan ikut campur. Biarlah urusan itu menjadi rahasia keluarga kecil temannya.
"Oh iya, kamu udah dengar kabar kalau Sisca mau balik ke Indonesia?" ucap Fandi mengalihkan topik pembicaraan.
"Serius? Kapan katanya?"
"Dua bulan lagi. Nanti dia juga adain pesta kedatangan. Kamu ikut, ya!" sahut lelaki itu penuh antusias.
Mungkin jika tidak ada Gavin yang selalu meminta dibacakan buku cerita sebelum tidur, Melani dengan senang hati akan mengiyakan ajakan Fandi. Persetan dengan Radit, pria tersebut pasti tidak akan menggubris apapun yang ia lakukan.
"Lihat nanti aja deh, Fin. Toh juga masih lama, kan? Aku usahain datang kok, sekalian reuni," jelas Si wanita tidak berniat menyurutkan semangat teman satu SMA-nya itu.
Fandi kembali menganggukkan kepala. Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja kerja, ia menepuk pelan bahu Melani, "Aku balik dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kamu bisa langsung call aku aja," jelasnya.
Setelah kepergian dokter muda tersebut, Melani masuk ke dalam kamar. Menata segala perlengkapan yang mungkin saja dibutuhkan oleh Radit yang kini masih terlelap dalam mimpi indahnya.
Karena terlalu khawatir, sesekali Melani melihat dada maupun perut suaminya. Berusaha memastikan bahwa Radit masih bisa bernafas normal atau dirinya akan menjadi orang pertama yang diinterogasi oleh polisi.
"Laura ...."
Wanita tersebut berbalik tepat ketika ia hendak membuka pintu. Radit tengah mengigau. Dan ia memanggil nama perempuan lain di depan istrinya sendiri.
"Laura kamu kemana, Lau? Laura!" Radit mulai meninggikan nada bicaranya.
Tidak ingin memperkeruh suasana dengan mengambil hati gumaman yang keluar dari mulut Radit, Melani menghela nafas. Tidak tega rasanya membiarkan lelaki tersebut berteriak dengan keringat yang mengucur deras dari dahinya.
Berinisiatif memanfaatkan suasana agar mendapat sedikit keuntungan, Melani memutuskan untuk mendekat. Duduk di tepi ranjang, dan membalas uluran tangan Radit hingga membuat Empunya ikut terduduk.
Masih dengan mata terpejam serta air muka cemas, Melani membawa Radit masuk ke dalam pelukannya. Dengan sabar ia mengelus puncak kepala hingga leher Sang suami agar dapat sedikit tenang.
"Laura."
"Iya, ini aku, Laura. Selatan kamu tenang, ya."
Radit semakin mengeratkan pelukannya. Sementara Melani tersenyum karena akhirnya dapat merasakan pelukan dari seseorang yang ia cintai. Ya, walaupun dianggap sebagai orang lain.
Entah telah berjalan berapa menit, ketika Melani semakin merasa nyaman dan enggan melepas pelukan terlebih dahulu, di belakang Radit telah sepenuhnya tersadar.
Ia membulatkan mata tatkala melihat pantulan tubuhnya dan Melani tengah berpelukan dari arah kaca. Dengan tenaga yang mulai terkumpul, Radit langsung melepas pelukan tersebut.
"Kamu kenapa peluk saya!!" bentaknya.
"Mas, coba dengar penjelasan aku dulu, ya. Tadi kamu ngelindur, jadi aku coba nenangin dengan cara meluk kamu," tutur Melani yang kini berganti cemas. Takut-takut Radit akan menalaknya hanya karena pelukan singkat.
Sang dominan kembali menepis kedua tangan yang lebih muda.
Dengan kedua alis menyatu walaupun rasa pening masih menjalar di sekitar kepala hingga leher, Radit menyahut, "Keluar dari kamar saya sekarang!!"
Agaknya, pria pucat tersebut masih belum sadar bahwa ia sedang berada di kamar yang salah. Ini adalah kamar Melani, dan pemilik kamar terpaksa keluar karena tak ingin terjadi pertengkaran yang lebih besar lagi.
"Oke aku keluar. Tapi Mas janji dulu bakal minum obatnya satu jam dari sekarang. Aku akan ketuk pintu sampai Mas mau bangun dan minum obatnya, gimana?" Cerocos Melani mundur beberapa langkah ke belakang.
Radit mengangguk singkat. Ia memejamkan mata sembari mengarahkan telunjuk ke arah pintu. "Pergi. Jangan buat saya semakin pusing sama kelakuan aneh kamu," perintahnya.
***
Pukul 9 malam.
Melani yang baru saja selesai berkutat dengan cucian piring bekas makan malam, berjalan membuka kenop pintu kamar berhias wallpaper karakter Iron Man.
Gavin ada di dalam sana. Telah terlelap dalam mimpi indah dengan tubuh yang dibalut selimut karakter senada seperti wallpaper pintu. Samar-samar, terdengar suara dengkuran lirih, pertanda bahwa anak itu mengalami hari yang cukup melelahkan.
Entah apa, Melani akan menanyakannya ketika Gavin sarapan esok hari. Pasalnya, sangat jarang sekali ia melihat raut wajah muram yang sempat anaknya layangkan ketika pulang sekolah siang tadi.
"Mimpi indah, Anak manis." Ujar Melani sembari mengelus kepala, tak lupa memberikan satu kecupan ringan pada dahi Gavin.
Usai memastikan anak yang ia puji manis itu benar-benar tertidur, Melani beranjak dari kamar Gavin menuju kamar miliknya sendiri. Menjenguk Radit yang sejak siang sama sekali tidak terdengar suaranya.
Mama mertua beserta Kakek Yudhis masih belum membalas pesan maupun telepon Melani. Agaknya, kedua orang itu benar-benar tidak ingin mendengar kabar dari Radit lagi.
Sementara pasien dadakan yang memiliki gengsi setinggi langit masih memejamkan mata. Tubuh Radit membelakangi nakas tempat tidur yang dipenuhi obat serta segelas air putih. Lelaki itu masih belum meminum obatnya.
Melani menghela nafas lelah. Ia kembali mendudukkan diri di tepi kasur sesaat setelah mengambil satu butir obat. Pertengkaran akan segera dimulai, batinnya.
"Mas, kamu belum minum obat, ya? Bangun sebentar, yuk. Minum obat dulu," ujarnya dengan nada lembut.
Radit hanya mengerang serta menggelengkan kepala. Lagi-lagi ia menepis tangan Melani secara asal hingga menjatuhkan sebutir obat berwarna putih tersebut.
"Mas Radit, sebentar aja, kok. Habis itu kamu bisa tidur lagi."
"Saya nggak mau!" Gumam yang lebih tua semakin meringkuk ke dalam selimut.
Kesabaran Melani yang ia tahan sejak pagi tadi sudah habis. Jika tidak dipaksa, maka Radit tidak akan sembuh. Hanya sekedar minum obat dan semua akan selesai. Kenapa lelaki ini terus saja menolak? Batinnya geram.
"Mas, ayo. Aku tuntun kamu duduk, ya." Lanjut Melani kembali menarik lengan Radit agar terduduk.
Di luar dugaan, Radit tidak mengelak. Matanya masih setia terpejam dengan bibir yang sedikit maju. Hal tersebut membuat Melani tertawa kecil. Radit yang tengah tertidur ternyata cukup mudah untuk diarahkan daripada ketika dirinya sedang melantur.
Perlahan, Melani mengambil obat dari dalam plastik klip dan mengarahkannya tepat pada mulut Radit.
Setelah menunggu beberapa saat untuk melihat lelaki tersebut yang anehnya tidak bereaksi apa-apa, Melani langsung memasukkan air ke dalam rongga mulutnya.
Ia memegang rahang Radit menggunakan sebelah tangan. Sementara yang satu lagi masih berusaha memasukkan obat ke dalam lidah. Atau setidaknya, sela bibir pun tak masalah.
Seusai memastikan semua berjalan lancar, Melani menekan rahang Radit hingga membuat empunya membuka mulut. Tak sampai sejenak, ia langsung menempelkan mulutnya ke labium tebal milik Si pria.
Persetan dengan rasa jijik atau sebagainya. Sifat keras kepala Radit tidak akan berubah dalam waktu singkat. Jalan satu-satunya adalah memaksa seperti saat ini.
Air yang berada di dalam rongga mulut Melani ia masukkan ke mulut Radit. Obat yang awalnya berada di lidah, kini berhasil masuk ke dalam tenggorokan.
Melani yang berniat memutus ciuman tak sengaja ini, justru dibuat terkejut tatkala Radit tiba-tiba memegang pinggangnya erat sembari mendekatkan tubuh.
Ciuman tidak terjadi, namun mulut mereka masih sama-sama saling menyentuh kian dalam.