Lima belas menit berlalu, Gavin telah tertidur pulas. Dengan perlahan, tangan Melani bergerak melepas penyuara jemala yang ia dan anaknya pakai.
Hening kembali menyelimuti, suara keributan sudah benar-benar hilang. Melani mengerutkan kening sembari berjalan ke arah pintu, apakah pertengkaran ini telah berakhir? Batinnya.
Terlalu penasaran membuatnya memberanikan diri untuk membuka pintu. Sepasang netra miliknya mengedar ke segala penjuru. Eksistensi Radit dan Kakek Yudhis tidak bisa ditemukan di manapun.
"Kemana mereka," gumam Melani bermonolog.
"Pergi ke rumah utama, Bu."
Sungguh, Melani sama sekali tidak berharap ada suara asing yang menjawab pertanyaannya. Ia berjingkat tatkala melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar dari kamar mandi.
Pria tersebut menundukkan kepala, "Saya Andre, asisten Pak Yudhis yang diutus untuk menemani Bu Melani dan Gavin di rumah," lanjutnya seolah mengerti apa yang dipikirkan wanita itu.
Melani membalas dengan ikut mengangguk. Kakek Yudhis benar-benar orang yang bertanggung jawab. Beliau tidak ingin ada seorang wanita dan anak kecil sendirian di dalam rumah.
Namun sayangnya, Melani juga sedang tidak ingin berada di rumah hari ini. Ada satu masalah yang harus dirinya selesaikan agar tidak terlalu berlarut-larut.
"Tolong kamu jaga Gavin sebentar, ya. Kalau anaknya bangun, kamu pasti bisa kasih alasan sederhana, kan? Ada makanan ringan juga di lemari pendingin."
Belum sempat asisten itu menjawab, Melani sudah mengambil kunci yang tergeletak di atas meja ruang tamu dan pergi begitu saja. Ia akan menyusul Sang suami untuk memberikannya pembelaan.
Jarak antara rumah utama dengan rumah baru milik Melani dan Radit tidak membutuhkan waktu terlalu lama.
Menggunakan mobil pemberian Kakek Yudhis yang hampir saja ditahan oleh pihak kepolisian, Melani membelah jalanan dengan kecepatan cukup tinggi.
Di tempat lain, Radit bersama Yudhis dan Sang mama terlihat berkumpul di ruang tamu. Nita mulai terisak ketika ayahnya menjelaskan perilaku tercela Radit, sementara yang lebih muda tetap mempertahankan kebisuannya.
"Lihatlah! Radit yang selama ini kau bangga-banggakan, justru memiliki anak dari hasil hubungan di luar nikah." Bentak Yudhis mengarahkan telunjuknya ke arah Radit.
Melihat tingkah laku lelaki itu yang terkesan tidak begitu mempedulikan hubungan percintaan, dan bahkan sebagian orang mengira bahwa Radit tidak menyukai wanita, pasti akan sangat terkejut ketika mendengar kabar ini.
Radit, sosok pewaris tunggal Pratama Group yang terkenal bersih dari skandal apapun, ternyata telah memiliki buah hati berusia 8 tahun. Berita ini tentu saja akan menjadi perbincangan hangat para pengusaha lain.
"Radit, apa yang sebenarnya kau inginkan dari kita? Apa ini balasan dari semua yang kita berikan padamu sejak dulu?" lanjut Yudhis.
"Aku hanya ingin hidup bebas tanpa tuntutan, Kek! Ingin melakukan apapun yang ingin aku lakukan. Manusia gila harta dan jabatan sepertimu tidak akan mengerti," jawab Radit meluapkan segala emosi yang selama ini ia pendam.
Sungguh, lebih baik Radit hidup di keluarga sederhana dengan hak-hak yang masih bisa terselamatkan. Daripada lahir di keluarga berada, namun menjadi mainan untuk disetir oleh banyak orang.
Yudhis tersenyum tipis. "Kenapa tidak sejak dulu kau berkata seperti ini? Aku bisa saja langsung membuangmu. Tetapi karena kau sudah menikmati harta-hartaku, bukankah ini saatnya untuk membalas budi?"
"Bagaimana bisa aku berkata sejak dulu, sedangkan semua perkataan ku saja selalu kau potong? Aku bahkan tidak memiliki hak untuk mengekspresikan diri di hadapanmu," sahut Radit tak mau kalah.
Bosan mendengar celotehan yang keluar dari mulut cucunya, Yudhis memerintahkan kedua asisten untuk membawa Radit menuju bagian belakang rumah.
Cambuk, adalah hukuman yang telah menantinya di depan mata. Sewaktu kecil, Radit juga pernah mendapat hukuman yang sama akibat melempar batu bata ke rekan kerja mendiang ayahnya.
Siapa anak yang tak marah ketika mendengar orang lain berkata bahwa dirinya tidak mirip dengan ayahnya? Kata Yudhis, kau boleh memukul siapapun yang berkata demikian, dan Radit benar-benar melakukannya.
Tak butuh waktu lama, Yudhis telah memegang sebuah pecut dengan Radit yang terduduk di atas lantai. "Pertama, karena kau telah berani membohongiku."
Bunyi pecutan terdengar. Tubuh Radit hampir terjatuh ke depan jika kedua asisten tidak sigap memeganginya. Belum hilang rasa sakit karena ditampar, kini bertambah lagi karena pecutan yang dilakukan dengan penuh tenaga.
"Kedua, karena kau membohongi Ibumu."
Dulu, ia dicambuk satu kali karena hanya melakukan satu kesalahan. Tetapi sekarang, ah, Radit bahkan tidak ingin menghitung berapa kali dirinya akan menerima cambukan.
"Ketiga, karena kau membuang Gavin ke panti asuhan," lanjut Yudhis.
Kemarahan yang ia rasakan semakin bertambah ketika Gavin berkata dirinya tinggal di panti asuhan. Meskipun tau Gavin tidak akan diterima dengan mudah, seharusnya Radit tidak sampai berpikir untuk menitipkannya di panti asuhan.
Belum selesai, Yudhis kembali berkata, "Keempat, untuk Melani yang telah kau khianati."
Cemeti telah berada di atas kepala, siap dilontarkan kepada seseorang yang berada di bawah untuk keempat kalinya. Namun ketika Yudhis memulai aksi, seorang wanita berhasil menepis cemeti tersebut.
"Melani?"
Radit menoleh ke samping, menatap Melani yang meringis kesakitan ketika cambuk mengenai lengan tangannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sakit yang Radit rasakan, saat menerima tiga kali cambukan di punggung.
Setelah mengumpulkan keberanian, Melani akhirnya berdiri menatap Yudhis.
"Maaf, Kek, tapi Melani sama sekali tidak merasa dikhianati oleh Mas Radit. Kakek tidak perlu mencambuknya dengan mengatasnamakan Melani," jelas wanita itu sehalus mungkin.
"Tapi dia telah membawa anak orang lain ke dalam rumah. Kau tidak perlu berpura-pura tegar," timpal Yudhis dengan nada ketus.
Semua wanita pasti akan sangat kecewa ketika Sang suami membawa anak hasil hubungan gelapnya ke dalam rumah. Melani juga merasakan hal itu. Tapi, dapatkah ini semua disesali? Dapatkah semua kembali baik-baik saja dengan rasa kecewa?
Ini hanya masalah waktu. Kita butuh waktu untuk menerima keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan. Dan dibalik itu, pasti ada sebuah kebahagiaan yang tengah menanti.
"Melani tidak mempermasalahkan itu, Kek. Gavin akan Melani rawat dengan tulus. Lagipula, tidak ada yang bisa dilakukan untuk kembali memutar waktu ke belakang, bukan?"
Mengalami berbagai masalah sejak pagi membuat Melani semakin berani. Ia bahkan tidak memikirkan bagaimana nasibnya beberapa saat setelah berkata demikian kepada Kakek Yudhis.
"Bawa pergi. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi." Singkat yang lebih tua beranjak pergi diikuti oleh kedua antek-anteknya.
Kepergian Yudhis membuat Radit menghela nafas lega. Setidaknya masalah ini dapat selesai dengan cepat, atau dirinya akan benar-benar tak sadarkan diri akibat menerima banyak cambukan.
"Ayo, Mas. Kita pulang." Ajak Melani membantu Radit berdiri.
"Tidak perlu membantu. Saya tak akan lumpuh hanya karena mendapat cambukan," ucap lelaki itu mempertahankan egonya.
Meskipun kesal, Melani tidak menghiraukan ucapan Radit dan tetap memegang kedua bahunya untuk berdiri. Ia tidak setega itu membiarkan Radit berjalan ke dalam mobil dalam keadaan penuh luka.
"Dan aku sedang tidak menerima penolakan," singkatnya.
***
Pukul 8 malam.
Setelah menyelesaikan agenda makan malam, Melani bersama Gavin menghabiskan waktu di ruang tamu untuk mengerjakan tugas, dan menonton televisi setelahnya.
"Gavin kerjain sendiri dulu, ya. Mama mau ketemu Papa sebentar," ucap Melani yang dijawab anggukan kepala oleh Gavin.
Sepulang dari rumah utama, Radit langsung naik ke kamar atas dengan langkah tertatih. Tak tanggung-tanggung, entah karena malu atau memang tidak ingin bertemu Melani, Radit bahkan menyuruh asistennya untuk datang mengirim makanan sendiri ke kamar.
Berbekal obat merah dan plester luka, Melani memantapkan diri menuju kamar Radit. Persetan dengan ujaran kebencian atau ia yang diusir secara paksa, wanita itu hanya ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Mas, kamu belum tidur?"
Tidak mendapat jawaban yang diinginkan sudah menjadi hal lumrah bagi Melani. Apa yang dirinya harapkan dari Radit? Menangis tersedu-sedu karena kesakitan dan meminta untuk diobati? Jangan berharap terlalu tinggi.
Tanpa menunggu persetujuan dari pemilik kamar, melihat pintu yang tak terkunci membuat Melani langsung masuk ke dalam.
Tak sampai sejenak, matanya berhasil menangkap sosok Radit tengah bermain game online dengan posisi tengkurap.
"Aku obati luka kamu dulu ya, Mas." tawar Melani seraya mengambil bungkus makanan yang berserakan di lantai.
"Tidak perlu. Saya bisa sendi– aduh!!" Radit memekik kesakitan ketika istrinya menyentuh salah satu luka di balik kaos yang ia pakai.
"Kamu sengaja mau buat saya mati?!" protesnya.
Melani menghela nafas panjang. Radit sangat berlebihan dalam segala hal. Menyentuh luka tanpa menggunakan tenaga tentu tidak akan membuatnya sekarat.
"Udah deh, Mas. Aku lagi nggak mau ribut. Sekarang, ayo duduk dan buka baju kamu," tutur Melani memperlakukan Radit seperti anak kecil.
Selagi berdiri dan bergerak membuka kaos dengan hati-hati, Radit mengoceh, "Kamu yang sejak awal selalu buat keributan sama saya. Nggak sadar?"
Kritikan yang berasal dari Sang suami Melani anggap sebagai angin lalu. Dengan telaten, wanita tersebut mulai membersihkan luka Radit.
Nyatanya, Melani harus dua kali lebih sabar ketika menghadapi Radit yang terluka. Lelaki itu terus mengerang kesakitan dan menuduh Melani akan membunuh dirinya secara halus.
"Udah selesai, Mas boleh pakai baju lagi. Jangan lupa minum antibiotik sebelum tidur," tukas Melani menempelkan satu plester terakhir dengan sedikit kuat sebagai luapan kekesalannya.
Radit dengan segera memakai baju dan kembali tengkurap. Sementara Melani beranjak menutup gorden kamar yang masih terbuka.
Sejenak ia menatap ke arah bawah, gugusan lampu yang berasal dari jalanan dan deretan gedung membuatnya merasa ingin berada di kamar ini sedikit lama.
"Tunggu apa lagi, cepat keluar," titah Radit membuyarkan lamunan Melani.
Wanita yang mungkin masih pantas disebut gadis itu memutar bola mata. Ia kembali mendekati Radit untuk mengambil bungkus makanan dan kotak P3K yang berada di nakas tempat tidur.
Ketika tangannya bergerak memasukkan sampah ke dalam kresek, Radit menangkap plester yang membalut lengan Melani. Ia baru sadar bahwa wanita ini juga sempat terkena cambukan untuk melindunginya siang tadi.
Entah mengapa, rasa bersalah tiba-tiba muncul. Melani yang juga terluka masih menyempatkan diri untuk merawat Radit. Tetapi dirinya justru menuduh istrinya yang tidak-tidak.
"Mel."
Sang pemilik nama berhenti di ambang pintu dengan satu alis terangkat.
"Terima kasih," lanjutnya.
Setelah berkata demikian, Radit justru menenggelamkan seluruh wajahnya di dalam bantal dan enggan menatap Melani yang kini menahan senyuman.
Walaupun hanya dua kata sederhana, namun segerombolan kupu-kupu berhasil keluar dari perut Melani.
"Sama-sama, Mas. Obatnya diminum dulu, jangan sampai ketiduran."
"Pergi kamu!!"