Chereads / Goresan Luka Setelah Pernikahan / Chapter 12 - Kedatangan Kakek Yudhis

Chapter 12 - Kedatangan Kakek Yudhis

"Ini tempat umum, semua orang bisa datang. Bukan cuma kamu saja," jawab Radit dengan nada sinis.

Tak ingin percakapan semakin panjang, ia langsung membawa Gavin masuk ke dalam mobil.

Meninggalkan Melani dan Gisel dengan satu alis terangkat, bingung sekaligus kesal atas pernyataan yang baru saja suami sahabatnya itu lontarkan.

"Mas Radit emang suka sinis kalau sama orang baru. Lo sendiri, kenapa kesini?" Melani mengalihkan pertanyaan. "Ada artis yang masuk penjara, ya?"

Gisel menggeleng singkat. Ia menunjuk lampu mobilnya yang pecah. "Ada fans yang nggak terima berita skandal idolanya gue naikin, mereka bahkan pecahin kaca mobil PR gue."

"Sekarang giliran gue. Siapa anak kecil tadi? Mukanya mirip banget sama Radit, anak dia?" lanjut Gisel setelah kembali menatap Gavin yang duduk di kursi belakang.

Melani mematung. Lagi-lagi, pertanyaan mendadak seperti ini membuatnya tak bisa memikirkan kebohongan yang lain.

Tin!!

Bagaikan pahlawan yang datang untuk menyelamatkan Melani dari tindakan bodohnya, Radit menekan klakson mobil. Ia mengeluarkan kepala dari jendela lalu berkata, "Ayo, saya sudah lapar!"

"Duh, ceritanya dilanjut kapan-kapan aja ya, Sel. Gue pergi dulu. Semoga urusan lo cepat selesai." Ujar Melani

menepuk pundak Sang teman, kemudian masuk tanpa menghiraukan panggilan yang Gisel tujukan padanya.

Mobil keluar dari area kantor polisi. Melaju dengan cepat membelah jalanan yang hari ini terlihat cukup lengang.

Suasana hening mendominasi, tidak ada lagu maupun percakapan ringan di antara mereka bertiga. Radit fokus menyetir dan Melani mengelus kepala Gavin yang melamun menatap jalan raya.

"Gavin nanti mau makan siang apa?" tanya Melani memecah keheningan.

"Apa aja, Ma," jawab yang lebih muda.

Sekian lama berada di panti asuhan, membuat Gavin tumbuh menjadi anak yang tidak banyak mau dan penurut.

Walau begitu, Melani tetap ingin memberi perhatian yang tidak pernah Gavin dapatkan selama 7 tahun terakhir. Ia berhak untuk mendapatkan semua itu.

"Gimana kalau sup jamur?"

Radit seketika menengguk ludah tatkala mendengar makanan favoritnya disebut oleh Melani.

Karena melewatkan sarapan hingga waktu makan siang tiba, perutnya terus keroncongan selama berada di kantor polisi tadi.

Semoga saja Melani memiliki rasa iba, dan membiarkan dirinya untuk ikut mencicipi sup jamur walau sedikit, batin Radit dalam hati.

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil milik kepala keluarga telah sampai di pekarangan rumah yang berukuran cukup luas.

Di dalam garasi, mobil Melani telah terparkir rapi. Asisten Radit lah yang diutus utus untuk mengambilnya di sekolah beberapa saat lalu.

"Mas Radit, tunggu!"

Tepat ketika Radit hendak naik ke kamar atas, Melani berjalan dengan terburu-buru. Ia mencegah kepergian suaminya dengan memegang pergelangan pria berjas hitam tersebut.

"Makasih ya udah mau datang ke kantor polisi. Makasih juga buat semuanya hari ini," tuturnya lembut seraya tersenyum manis.

Bagi sebagian orang, senyuman Melani akan membuat mereka merasa jatuh hati. Namun tidak bagi Radit yang justru memasang air muka masam.

"Sepertinya kamu salah paham. Jika bukan karena Gavin, mana mungkin saya membuang waktu untuk masalah kamu," bisik Radit kemudian melepas pegangan tangan Melani dengan kasar.

Senyuman wanita itu berubah menjadi getir.

Tenyata dirinya hanya termakan oleh imajinasi yang ia buat sendiri. Radit tidak sungguh-sungguh ingin membuat Melani merasakan kebahagiaan barang sesaat.

"Mama sama Papa kenapa?" Gavin bertanya dengan nada yang cukup lirih.

Melani menoleh. Seketika kembali memasang wajah ceria karena tidak ingin membuat anak laki-lakinya merasa takut.

Ia lupa bahwa Gavin sedari tadi telah mengikuti kedua orang tuanya dari belakang. Dibanding merasa sakit hati, kini Melani lebih menyesal dengan sikap Radit yang memarahinya di depan anak kecil.

"Papa Radit sedikit capek. Tunggu disini dulu, ya. Mama mau bicara sebentar sama Papa, setelah itu Mama masakin sup buat kamu."

Tanpa menunggu jawaban dari Gavin, setelah memberi intrupsi demikian, Melani langsung menyusuri satu persatu anak tangga dengan langkah terburu-buru.

Di dalam kamar, baru saja Radit menemukan kenyamanan berbaring di atas kasur, suara ketukan pintu membuatnya mengeluarkan decakan.

"Mau kamu apa, sih? Saya capek, lagi nggak mau debat!" bentak Radit.

"Buka dulu, Mas! Aku mau ngomong sebentar," timpal wanita di luar sana.

Radit beranjak dari kasur. Enggan membuka pintu, ia memilih untuk menempelkan telinga pada benda berbahan dasar kayu jati tersebut.

"Ngomong aja. Saya dengerin dari sini."

Melani berkacak pinggang. Bisa-bisanya lelaki yang terkenal tampan dan penuh intimidasi, kini malah bersikap seperti anak kecil.

Tak mau kalah. Masa bodoh dengan telapak tangan yang mulai memerah, Melani semakin mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengetuk pintu tanpa jeda.

Wanita tersebut kembali mencoba peruntungan sekali lagi. Ia berkata, "Ini masalah Gavin, Mas. Kamu nggak mau dengerin langsung dari aku?"

Ceklek!

Pintu terbuka, menampilkan seorang lelaki dengan wajah malas disertai rambut yang acak-acakan. Sementara Melani kini tersenyum puas.

Kelemahan Radit ternyata Gavin. Dan mulai saat ini, ia akan memanfaatkan nama anak itu untuk mendapat perhatian suaminya.

"Nggak usah senyum, kamu jelek," cibir Radit tanpa sungkan. "Ada apa sama Gavin?"

Melani kembali menghela nafas, "Dia udah dua kali lihat kita bertengkar, Mas. Aku takut nanti mental Gavin jadi rusak gara-gara Mas yang terus marahin aku kayak tadi," jelasnya.

Gavin membutuhkan rumah dengan dua orang tua lengkap untuk mengisi kehampaan hatinya selama ini.

Namun jika rumah yang ditinggali hanya berisi pertengkaran dua orang dewasa, bisa dipastikan ia akan memilih untuk kembali ke panti asuhan.

Terlebih, Gavin juga tidak memiliki teman seumuran. Radit dan Melani lah yang bertugas untuk menjadi orang tua asuh, sekaligus teman bagi anaknya.

"Itu kan salah kamu sendiri. Coba kalau kamu nggak pegang tangan saya, nggak mungkin saya marah-marah di depan Gavin," sanggah Radit yang lagi-lagi membela dirinya sendiri.

Sesaat sebelum Melani hendak mengeluarkan segala bentuk protes akan ucapan Radit, bel yang berada di gerbang utama berbunyi.

Lelaki tersebut kembali berkata, "Dari awal saya sudah bilang, kamu harus izin dulu sebelum bawa tamu masuk ke dalam rumah."

Melani mendelik. Radit adalah tipe pria yang mudah memutuskan suatu perkara tanpa melihat kebenaran yang terjadi. Ia bahkan tidak memiliki janji temu dengan siapapun hari ini.

"Bukan tamu aku. Asisten kamu kali," cetusnya.

Melani turun ke bawah diikuti oleh Radit yang juga merasa penasaran. Asistennya pasti akan memberi kabar terlebih dahulu sebelum berkunjung ke rumah.

Sesampainya di lantai bawah, pintu masuk terbuka lebar. Gavin yang Melani pinta untuk duduk manis di kursi ruang tamu, kini hanya tersisa tas beserta sepasang sepatunya saja.

"Kemana Gavin?"

Pertanyaan retoris tersebut keluar dari mulut Radit. Tentu saja, tanpa bertanya, mereka berdua tau bahwa Gavin kini tengah keluar untuk menyambut tamu yang entah siapa itu.

Namun masalahnya, keberadaan Gavin masih menjadi rahasia bagi semua orang.

Bagaimana jika yang datang adalah asisten Kakek Yudhis? Atau lebih parah lagi, bagaimana jika Kakek Yudhis yang datang sendiri?

Radit dan Melani sontak berlari keluar untuk menggagalkan niat baik Gavin dan menyembunyikan anak itu selagi bisa.

Namun malang, ketika keduanya telah sampai di ambang pintu, seorang pria paruh baya tengah berjalan ke arah mereka. Menggandeng tangan kecil milik Gavin yang masih mempertahankan senyuman manisnya.

"Kakek, ini Mama sama Papa Gavin."