Aroma alkohol kuat tercium tatkala Radit mendekatkan diri ke arah Melani. Namun ia masih bisa menjawab dengan benar dan jelas.
Berbeda dengan jawabannya beberapa saat lalu yang terkesan tengah mabuk berat. Melani tau, ia sedang berada di dalam permainan Radit.
Berusaha menahan umpatan kasar yang hendak keluar. Melani kembali menatap tamu wanita malam ini.
Berbekal rasa sopan santun serta urat malu yang mungkin telah hilang, ia duduk di sofa. Hendak mencicipi coklat hangat milik Melani bahkan sebelum pemiliknya mempersilahkan.
"Jangan minum minuman saya. Punya tangan, kan? Kamu bisa buat sendiri di dapur," tegas Melani.
"Mas, kamu kenapa bawa dia kesini? Kamu nggak ngerti perasaan aku gimana? Terus, kalau ada tetangga yang lihat juga gimana?" cerocosnya kembali menghadap Radit.
Lelaki tersebut mengangkat sebelah alis. Ia tertawa kecil. "Di surat perjanjian, kita nggak berhak ikut campur urusan masing-masing. Lagipula, kamu juga nggak bisa ngerti perasaan saya karena nahan lapar, kan?"
Ah, ternyata masalah utamanya masih sama. Perihal makan siang, dan Radit justru semakin berulah dengan membawa wanita ke dalam rumahnya.
Sudah cukup. Setelah Gavin, Melani tidak ingin menampung orang lain lagi. "Bawa dia pulang sekarang, Mas," pintanya tak tahan.
Radit tidak menjawab. Ia mendorong pelan tubuh Melani lalu berjalan melewatinya.
Menggandeng wanita dengan dress merah menyala, dan membawanya naik tangga menuju kamar.
Lambaian tangan dari kedua orang tidak memiliki adab itu sukses membuat air mata Melani menetes. Apakah setiap malam dirinya akan dibuat menangis oleh Radit?
Ingin sekali Melani berteriak sekencang mungkin. Ia ingin melempar semua barang-barang sebagai luapan kekesalan. Ingin meninggalkan rumah dan pergi mengadu kepada Gisel.
Namun lagi-lagi, logika Melani masih kalah dengan perasaannya.
Ia tidak bisa jauh dari Radit, tidak ingin meninggalkan Gavin. Dan tidak mau mendengar ocehan pedas Gisel.
Sementara di satu sisi, Radit bersama wanita malam yang biasa dipanggil Mawar tersebut telah berada di dalam kamar.
"Eh, mau ngapain kamu!" bentak Radit ketika Mawar tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Katanya mau have fun sama kamu? Yuk!" ajak Mawar dengan suara mendayu. Satu lengan tali dress-nya sengaja diturunkan.
Diluar dugaan, Radit melepas kemeja hitam yang ia pakai dan melemparnya begitu saja ke arah Mawar.
Ia sendiri cukup heran, AC di kamar ini sudah disetel dengan sangat dingin, kenapa wanita tersebut sama sekali tak merasa kedinginan?
"Pakai itu. Dingin. Saya nggak mau kamu mati gara-gara masuk angin," sinis Radit tak kalah dingin dengan suhu air conditioner.
"Kalau udah main nggak bakal kerasa dingin lagi kok, Mas. Makanya, yuk main sekarang aja," ucap Mawar, masih tidak menyerah dengan tawarannya.
Tentu saja. Tidur bersama lelaki tampan, berkharisma, dan memiliki uang yang seolah tidak pernah habis, adalah impiannya.
Sejak Radit menjadi pelanggan tetap di sebuah klub malam, ia terkenal tidak pernah membawa wanita untuk menghabiskan malam bersama.
Dan ketika Radit memilih dirinya untuk diajak pulang ke rumah, tentu saja Mawar tidak akan menyia-nyiakan hal ini.
Ia juga harus mematahkan rasa penasaran beberapa temannya yang mengira bahwa Radit tidak memiliki selera terhadap wanita.
"Saya nggak bisa main sama piala bergilir seperti kamu. Tinggu saja disini selama satu jam, lalu keluar dan pulang." Titah Radit mengeluarkan sejumlah uang bernilai dua juta.
"Terus, tujuan kamu bawa aku kesini apa dong kalau kita nggak bakal ngapa-ngapain?" tanyanya mulai tersulut emosi.
"Pengen aja."
Mawar membuka mulut tak percaya. Sedangkan Radit sendiri tidak terlalu mengambil pusing dengan keberadaan wanita itu di dalam kamarnya.
Ia kembali mengambil satu batang rokok yang tidak sempat dinyalakan. Berjalan santai menuju balkon, lalu menikmati udara malam sembari berdoa agar Laura segera kembali.
Sebenarnya, tujuan Radit mengajak Mawar ke rumah semata-mata hanya untuk membuat Melani semakin marah. Ini juga salah satu dari banyaknya rencana yang Dafa rancang.
Dengan dua kejadian mengejutkan yang terjadi dalam satu hari, semoga saja Melani akan segera menggugat cerai dirinya.
Dan jika pada perceraian yang akan datang ia mengadu kepada Kakek Yudhis, maka Radit juga akan menyewa pengacara yang bisa memanipulasi kebenaran hingga membuat dirinya menang.
***
Benar saja, setelah satu jam kemudian, Mawar turun tanpa membawa kemeja yang sempat Radit berikan padanya.
Persetan angin malam yang akan membuat masuk angin. Harga dirinya terasa dua kali lebih direndahkan dengan semua perlakukan yang ia dapat dari Radit.
"Sudah selesai?" tanya Melani yang ternyata masih tetap berada di sofa.
Mawar hanya melirik singkat. Berlagak angkuh, kepalanya sengaja ia angkat tinggi-tinggi. Namun ketika hendak berlalu pergi, Melani langsung mencegahnya.
"Enak, nggak?"
"Kenapa? Iri ya karena gue bisa tidur dan dikasih uang sama Mas Radit? Sedangkan lo yang istri sahnya aja nggak bisa. Prihatin gue lihatnya," olok Mawar merasa bangga dengan ucapannya sendiri.
Melani tergelak, seseorang bisa sangat merendahkan dirinya sendiri agar bisa mendapat apa yang ia inginkan.
Ternyata, kata-kata dari Gisel bukan hanya untuk Melani saja. Melainkan berlaku juga bagi Mawar, dan mungkin satu dua manusia di luaran sana.
"Seharusnya saya yang prihatin sama kamu. Habis dipakai, disuruh pulang sendiri. Saya istri sah, kamu cuma pelampiasan. Saya bisa menuntut harta gono-gini, tapi kamu tidak bisa."
Semburat merah mendominasi seluruh wajah, telinga, hingga leher Mawar. Malu dan marah menjadi satu hingga membuatnya ingin segera pergi.
"Pantes kalian berdua dijodohin. Mulutnya sama-sama pedas. Ya, semoga aja mulut anak kalian nanti nggak kayak Mama sama Papanya, deh."
Melani menatap kepergian Mawar dengan wajah penasaran. Apa yang telah suaminya lakukan hingga membuat wanita itu terlihat dua kali lebih marah?
***
Keesokan paginya.
Seperti biasa, Radit yang telah menggunakan setelan kantor, berjalan menyusuri anak tangga menuju bawah sembari menenteng tas jinjing berisi laptop.
Ingat bahwa Melani tidak akan memberikannya sarapan walau hanya satu sisir roti sekalipun, Radit membuka lemari pendingin dan mengambil satu kaleng susu beruang penunda lapar.
"Waktu wanita itu pulang, kenapa wajahnya kayak nahan marah gitu, Mas? Kamu nggak bisa bikin puas dia?" celetuk Melani yang tiba-tiba berdiri di sebelah Radit.
Pria itu menggenggam erat kaleng susu sebagai pelampiasan amarah. Sungguh, ini bahkan masih sangat pagi untuk memulai pertikaian yang sepertinya tidak akan selesai hingga enam bulan ke depan.
"Saya kan sudah bilang. Entah masalah apapun itu, kamu nggak berhak untuk ingin tau dan ikut campur," jawab Radit memasukkan benda yang ia ambil ke dalam mangkuk besar berisi air hangat.
"Oh iya, kamu yang antar Gavin sekolah. Saya ada rapat pagi ini," perintahnya kepada Melani yang kini telah beralih mengecek isi tas milik Gavin.
"Aku nggak tau dimana sekolah Gavin, Mas," timpalnya.
Dari belakang, Radit tersenyum simpul. Ia mendapat satu bahan pembicaraan untuk membalas kekesalannya terhadap kata-kata Melani tadi.
"Itu bukan alasan. Gavin tau kok jalan menuju sekolahnya. Buat apa kamu dikasih mobil sama Kakek kalau nggak dipakai? Atau jangan-jangan, sebenarnya kamu buta arah?"