Chereads / Goresan Luka Setelah Pernikahan / Chapter 7 - Prahara Makan Siang

Chapter 7 - Prahara Makan Siang

Gavin dan Melani saling tatap. Masih mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ini merupakan sebuah kejadian yang terlalu tiba-tiba untuk mereka berdua.

"Ma– Mama?" ucap Gavin dengan lirih setelah beberapa saat terdiam. Nada bicaranya jelas terdengar ragu dan sedikit takut.

Awalnya, Radit sangat yakin bahwa Melani akan marah.

Ia pasti akan masuk ke dalam kamar. Menangis sejadi-jadinya, sembari melempar barang seperti di sebuah sinetron yang pernah ia tonton. Kemudian menggugat cerai dirinya.

Namun sayang, perkiraan Radit lagi-lagi meleset.

Setelah membersihkan noda dan mengelap kedua tangan menggunakan kain, Melani mendekati Gavin. Dengan telaten ia membersihkan sisa-sisa es krim yang berada di sekitar mulut anak itu.

"Halo, Gavin, ini Mama. Kamu ganteng banget sih, Nak." Sapa Melani mencubit pelan pipi Gavin.

Kini giliran Radit yang terdiam. Hal ini benar-benar mustahil. Mana ada istri sah yang terima jika suaminya membawa anak dari wanita lain?

"Gavin bawa baju ganti, nggak? Besok kan seragamnya masih dipakai," lanjut Si wanita penuh perhatian.

Gelengan kepala dari Gavin membuat Melani menatap Radit. Papa macam apa yang tidak membawakan baju ganti untuk anaknya sendiri?

"Nanti saya suruh asisten buat beli baju baru dan anterin ke sini," sahut Radit tanpa diminta.

Melani tersenyum, "Gavin mandi dulu, yuk. Bisa mandi sendiri, kan? Habis itu kita makan siang sama-sama," ajaknya.

Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam rumah. Radit segera menghubungi asistennya. Sementara Melani mengarahkan jalan menuju toilet kepada Gavin.

Setelah meninggalkan anak barunya membersihkan diri di kamar mandi sendirian, ia berjalan menuju dapur. Melewati Radit yang berada di ruang tamu tanpa menatapnya sama sekali.

"Kamu nggak marah sama saya?" lelaki itu tiba-tiba bertanya. Menyusul Melani dengan alibi mengambil minuman di dalam lemari pendingin.

Seusai menata penggorengan dan spatula di atas kompor listrik, Melani menolehkan kepala ke sumber suara.

Ia akan menjawab pertanyaan Radit sebaik dan sejelas mungkin.

"Apa yang jadi masa lalu kamu, biarlah menjadi masa lalu. Toh, ini semua nggak bisa disesali, kan? Gavin juga nggak bisa balik ke perut ibunya lagi," jelasnya.

Sungguh, hati Melani sebenarnya telah hancur berkeping-keping. Namun wanita tersebut tidak bisa menunjukkan kesedihannya di depan Radit.

Melani juga harus memikirkan perasaan Gavin. Ia tidak berhak untuk mengusir anak itu sementara papa kandungnya berada di rumah ini.

"Selama ini, Gavin kamu ajak tinggal dimana, Mas? Di apartemen kamu yang lama?" Tanyanya sembari mengeluarkan bumbu-bumbu dapur dari dalam lemari gantung.

Lawan bicaranya menggeleng samar, "Di panti asuhan."

Sontak Melani kembali berbalik menatap Radit.

Nasib Gavin ternyata hampir sama dengan dirinya. Tidak bisa mendapat kasih sayang dari orang tua kandung sejak dilahirkan ke dunia.

"Kamu tega tinggalin Gavin di panti asuhan? Orang tua macam apa kamu ini," cibir Melani.

Pria yang lebih tua mengeluarkan decakan tak terima. Kenapa ia selalu kalah dalam hal menyulut emosi dengan wanita ini? Batinnya kesal.

"Yang penting sekarang kan dia sudah tinggal sama saya. Atau jangan-jangan, kamu mau bilang masalah Gavin ke Kakek?"

Jujur saja, yang paling ia takutkan dari segala rencana kali ini adalah Kakek Yudhis yang tiba-tiba tau. Radit takut Melani mengadu.

Tapi apa boleh buat, ia sudah terlanjur yakin dengan ucapan Dafa yang mengatakan, bahwa mengajak Gavin pulang adalah pilihan tepat.

"Ini masalah keluarga inti, Mas. Keluarga besar nggak berhak tau kecuali aku yang nggak terima. Sedangkan aku pribadi baik-baik aja, kok," timpal Melani.

Kesal dengan pernyataan istrinya, Radit mengangkat kedua tangan dan meremas udara kosong. "Harusnya kamu marah. Jangan malah iya-iya aja!"

"Kamu pengen aku marah, Mas? Buat apa? Aku nggak bisa marah kalau sama kamu." Balasnya menampilkan raut wajah sepolos mungkin. Ia suka menggoda Radit yang sedang kesal.

Belum sempat menjawab, terdengar suara nyaring dari bel yang berada di gerbang rumah.

Tanpa berbicara sepatah katapun, Radit berjalan keluar. Menemui seorang tamu yang ia yakini adalah asisten pribadinya.

"Kamu bawa semua keperluan yang tadi saya minta?" tanya pemilik rumah setelah sampai di gerbang utama.

Radit sama sekali tidak berniat untuk mempersilahkan asisten laki-laki itu masuk terlebih dahulu.

Seraya memberikan dua kantong belanja lewat celah pagar, ia menjawab, "Sudah semua, Pak. Dan maaf, kalau boleh tau baju-baju anak ini buat siapa, ya?"

Cukup aneh jika mengingat Radit yang memintanya membeli baju serta perlengkapan mandi untuk anak laki-laki. Melani tidak bisa melahirkan dalam kurun waktu dua hari.

"Untuk saya pakai sendiri," jawab Radit sekenanya.

"Uang ganti sama tip sudah saya transfer di rekening kamu. Ingat, jaga rahasia dan jangan biarkan kakek saya tau." Perintahnya lalu kembali masuk ke dalam.

Sesampainya di dapur, Radit melihat Melani masih asik memasukkan bumbu penyedap ke dalam penggorengan. Aroma nasi goreng lambat laun mulai tercium.

Matanya kemudian beralih, menatap Gavin yang tengah membaca buku dongeng bergambar kancil dengan kedua alis menyatu. Ia telah sampai di bagian konflik cerita.

"Gavin, bajunya udah datang. Kamu ganti baju dulu, ya." Ujar Radit.

Gavin mengangguk. Ia menerima pemberian Radit, kemudian berjalan menuju kamar sembari mengangkat bagian bawah handuk kimono yang dipakai.

Sebagai salah satu orang dengan tingkat ketelitian tinggi, Radit merasa sangat familiar ketika melihat apa yang Gavin kenakan saat ini.

Sadar bahwa anak itu memakai handuk kimono serta shampo aroma mint miliknya, ia dengan segera berjalan ke arah Melani.

"Kamu kenapa kasih handuk sama shampo saya ke Gavin? Dapat darimana kamu?" tanya Radit tegas.

"Aku ambil di ruangan khusus baju, Mas. Masa aku kasih shampo vanilla punyaku? Dia kan anak kamu," jelas Melani kelewat santai.

Lagi-lagi Radit mengeluarkan decakan. Sejak awal, Melani memang selalu berhasil membuatnya semakin kesal. Tidak ada alasan untuk menyukai wanita ini.

"Nggak bisa masak? Siang-siang kayak gini nggak cocok makan nasi goreng," kritik Sang lelaki mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Melani tak mempedulikan ucapan Radit. Ia menuang nasi goreng di atas dua piring. Mengambil sendok berwarna keemasan, lalu meletakkannya di atas meja makan.

Tidak mendapat jawaban atau reaksi yang memuaskan. Radit kembali melangkah memutari meja. Berhenti tepat di seberang tempat Melani berdiri menuang air.

"Kok cuma dua porsi? Katanya tadi makan sama-sama, buat saya mana?" tanyanya sekali lagi.

Melani menatap Radit tanpa ekspresi. Sungguh, ada satu Radit saja mampu membuatnya merasa begitu jengkel. Bagaimana jika ada sepuluh Radit di rumah ini?

"Maaf, Mas. Aku cuma masak buat aku sama Gavin aja. Lagipula, kamu sendiri yang bilang kalau nasi goreng nggak cocok dimakan siang-siang."