Jakarta, 2022.
Sinar matahari yang terasa panas di atas kepala, tak menyurutkan keinginan Radit untuk berdiri di tempat tanpa kanopi ini.
Dari balik kacamata klasik yang menambah level ketampanannya hingga menjadi pusat perhatian ibu-ibu, Radit mengedarkan pandangan.
Ia mencari satu orang dari banyaknya anak berseragam putih merah yang baru saja keluar dari kelas.
Tak sampai sejenak, sepasang jelaga tajam milik Radit, berhasil menangkap seseorang yang sejak beberapa menit lalu ia cari.
"Gavin!!"
Mendengar namanya dipanggil membuat Gavin seketika menoleh. Mata legam itu ikut berbinar tatkala melihat pria dewasa yang melambaikan tangan ke arahnya.
"Om Radit kenapa ada di sekolah Gavin? Jemput anaknya, ya?" tanya anak tersebut setelah mencium tangan yang lebih tua.
Radit tersenyum lembut. Ia memang tengah menjemput anaknya.
Tetapi, sangat sulit bagi Radit untuk mengatakan bahwa Gavin adalah anak kandungnya. Keputusan itu akan membutuhkan banyak sekali pertimbangan.
Bagaimana jika Gavin merasa kecewa karena telah dibuang di panti asuhan? Bagaimana jika nanti ia justru tidak ingin mengakui Radit sebagai orang tua?
"Om, jangan ngelamun, nanti kesurupan," celetuk Gavin, membuyarkan lamunan Radit hingga membuatnya kembali tersenyum.
Tak ingin membuang waktu karena cuaca panas semakin terasa membakar kulit, Radit berjongkok. Menyamakan tingginya dengan bocah berusia tujuh tahun tersebut.
"Panas banget, ya. Gavin mau temenin Om ke rumah es krim, nggak?" tawarnya.
Senyuman lebar nan manis sontak menghiasi wajah tampan Gavin. Ia mengangguk beberapa kali sebagai isyarat menerima ajakan Radit.
"Tapi nanti Om bilang dulu sama Ibu panti, ya. Gavin takut kena marah kalau pergi nggak izin."
Setelah mengacungkan satu ibu jari, dua orang berparas tampan tersebut masuk ke dalam mobil. Menuju tempat dimana Gavin ingin mengunjunginya sejak dulu. Gelato Castle dan Dessert.
***
Sementara di tempat lain, setelah membagikan makanan sebagai bentuk perkenalan kepada tetangga, Melani langsung menengguk satu gelas penuh air mineral.
"Capek banget, Mel?" tanya Gisel yang sengaja berkunjung ke rumah baru wanita itu.
"Iya, kebanyakan pintunya ditutup. Gue jadi harus teriak-teriak dulu biar kedengaran dari dalam," keluhnya.
Setelah kepergian Radit dengan penuh emosi pagi tadi, Melani mulai memasak dan menghabiskan semuanya untuk diberikan kepada para tetangga.
Ia bahkan sampai lupa menyisakan sebagian makanan untuk dirinya sendiri.
Sedangkan Gisel datang sejak tiga puluh menit lalu. Menumpang makan siang, sekaligus melihat Melani keluar masuk rumah tanpa memiliki sedikit niat untuk membantunya.
"Oh iya, tadi gue lancang masuk ke kamar bawah. Lo bisa jelasin nggak, kenapa koper sama semua barang-barang lo ada di sana?"
Selain berpikiran logis, Gisel adalah wanita yang tidak suka berbasa-basi. Namun pertanyaan itu hampir saja membuat Melani tersedak air yang baru saja ia minum kembali.
"Lain kali, kurang-kurangin kebiasaan lo masuk kamar orang tanpa izin," kritik pemilik rumah.
"Gue nggak mengharapkan kalimat itu keluar dari mulut lo. Mel, jawab pertanyaan gue," timpal Gisel.
Melani menghela nafas. Sangat tidak berguna membuat sebuah kebohongan jika bukti sudah terlihat jelas.
"Kemarin, setelah pindahan, Mas Radit kasih gue kontrak perjanjian pernikahan," jawabnya lesu.
Gisel mengangguk paham. Cukup aneh bagi Melani mengingat temannya ini memiliki emosi yang mudah meledak-ledak.
"Surat perjanjian ini, kan? Gue tadi nemu di atas kulkas waktu ambil air."
Melani membulatkan mata tak percaya. Sungguh, Gisel benar-benar tidak memiliki tata krama yang baik.
Meminta makan berkedok mengunjungi rumah baru di hari kedua setelah pernikahan, itu sudah cukup menjelaskan bagaimana tingkah lakunya, bukan?
"Mel, gue emang sering bilang lo bodoh. Tapi kali ini lo beneran bodoh yang sebodoh-bodohnya. Kenapa lo mau tandatangani perjanjian itu, sih?" protes Gisel.
"Ya karena gue cinta sama Mas Radit, Sel. Lo nggak akan bisa ngerasain ini karena belum jatuh cinta sama seseorang."
Lawan bicaranya tertawa renyah. Ia menyahut, "Sebegitu yakinnya Radit bakal suka sama lo, Mel? Sumpah ya, cewek kayak gini nih yang gampang dimanfaatin sama cowok."
Tak terima direndahkan oleh sahabatnya sendiri, Melani langsung menimpali.
"Ya justru cewek misterius kayak lo gini yang sering jadi korban ghosting. Mereka berusaha mendekati cuma karena rasa penasaran doang."
Sikap Gisel apabila telah kalah dalam agenda perdebatan mendadak adalah pergi. Dan ia melakukannya sekarang.
Setelah memasukkan ponsel dan kipas kecil ke dalam tas selempang, wanita berbalut blazer serta celana kain itu berdiri.
"Terserah, deh. Pokoknya kalau suami tercinta lo itu makin menjadi-jadi, jangan nangis bombay ke gue," ancamnya lalu melangkah pergi begitu saja.
Hal tersebut sudah biasa. Ikatan persahabatan antara Melani dan Gisel tidak akan putus hanya karena adu mulut serta saling mengkritik.
Walaupun berhasil menoreh luka kecil di dalam hati, namun setiap kata yang diucapkan oleh seorang sahabat adalah untuk kebaikan kita sendiri.
Mereka hanya sedikit salah sekaligus gengsi dalam mengungkapkan perhatiannya. Sama seperti Gisel yang diam-diam sangat mencemaskan Melani.
***
Tiga puluh menit terlewati. Tidak tau apa yang harus dilakukan, Melani memutuskan untuk bercocok tanam agar area depan rumahnya terlihat asri.
Meksipun keadaan keluarga kecil yang baru dibangun selama dua hari terasa hampa, setidaknya Melani tidak akan membiarkan kehampaan itu terlihat oleh orang lain.
"Kamu beneran nggak mau bukain saya gerbang?" Teriak seseorang, mengeluarkan kepalanya dari balik kaca mobil.
Sejak lima menit yang lalu, Radit terus menekan klakson. Berharap Melani yang menurutnya sok sibuk itu mau membukakan pintu gerbang.
Namun sayangnya, Melani hanya menatap sekilas, kemudian kembali fokus dengan tanaman tanpa mengindahkan ocehan lelaki tersebut.
Berusaha terus bersabar karena tujuannya adalah membuat Melani marah, Radit akhirnya turun. Membuka gerbang dan membawa mobilnya masuk ke dalam.
"Padahal saya punya kejutan buat kamu, loh."
Melani yang masih berjongkok dengan tangan penuh tanah, sepersekian detik kemudian langsung menengokkan ke belakang.
Ia melihat dua pasang kaki berbalut pantofel serta sepatu sekolah hitam, lengkap dengan kaos kaki putih yang sudah cukup melar.
Semakin menaikkan pandangan ke atas, Melani disuguhi wajah rupawan, rahang tegas, serta bibir tebal milik Radit.
Tetapi untuk saat ini, yang terpenting bukanlah hal itu. Melainkan, siapa anak kecil yang berada di sebelah suaminya?
Seolah tau apa yang ada di pikiran Melani, Radit berkata, "Ini anak saya, namanya Gavin. Dan mulai sekarang, dia akan tinggal satu atap dengan kita. Sebagai anak tunggal keturunan Raditya Pratama."
Penjelasan panjang penuh penekanan tersebut berhasil mengejutkan keduanya.
Kepala Melani seakan ditimpa dengan batu yang sangat besar. Sedangkan Gavin, ia tidak tau harus bereaksi seperti apa. Perutnya melilit karena terlalu banyak makan es krim.
"Gavin, ayo sapa Mama baru kamu."