Lonceng kecil yang menggantung di atas pintu masuk berbunyi. Menandakan bahwa ada pelanggan pertama yang datang sebelum tulisan 'open' dibalik.
Empat pegawai berpakaian putih dengan apron hitam saling memandang satu sama lain. Tidak berani mengutus kembali, karena pelanggan tersebut adalah teman dari atasan mereka.
"Kemana Dafa?" Tanya Radit membuka kacamata. Dua pegawai wanita berhasil dibuat terpana.
Salah seorang karyawan laki-laki menjawab, "Pak Dafa di belakang, Pak. Sedang ada pemotretan menu baru. Bapak bisa tunggu sebentar di kursi sebelah sana."
Radit tidak suka diperintah oleh seseorang yang memiliki jabatan lebih rendah darinya.
Bukannya pergi duduk, ia justru menekan bel meja hingga mengeluarkan suara nyaring. Keempat pegawai itu sukses dibuat kebingungan hanya dengan satu pria dewasa.
Namun, kelakuan kekanakan Radit ternyata membuahkan hasil. Dafa keluar dari balik pintu di belakang meja pemesanan. Matanya memicing kesal.
"Lo mau bikin gendang telinga kita rusak?"
Tak menjawab, Radit duduk di salah satu kursi. Lambaian tangan beberapa kali, membuat Dafa mau tak mau harus mengikuti langkah lelaki itu.
Sembari melepas kamera dan meletakkannya di atas meja, Dafa menatap Radit, "Ada apa? Lo nggak biasanya pagi-pagi kesini."
"Lo ada masalah sama gue?" sahut pria di kursi seberang.
Sebelah alis Dafa terangkat, "Konteksnya apa?"
Jujur saja, jika Radit bertanya apakah Dafa memiliki masalah dengannya, maka jawabannya adalah iya. Entah apapun itu, kemauan Radit yang selalu ingin segera dituruti membuat Dafa sering merasa kesal.
"Tentang surat perjanjian pernikahan. Lo kenapa tulis Melani nggak berhak buah masak sama cuci baju, sih?" lanjut Radit.
Dafa membuka mulut hingga membentuk huruf 'O'. "Kenapa? Ya karena lo nggak lagi nikah sama pembantu," jawabnya ringan.
"Tapi itu kan kewajiban istri, Daf. Gue aja wajib ngasih dia jatah bulanan, masa dia nggak berhak buat ngasih nafkah batin atau sekedar masakin gue?" celoteh Radit dengan menggebu-gebu.
"Oh, jadi sekarang lo udah akuin Melani jadi istri?"
"Nggak gitu!!" Kepalang kesal, Radit mengambil kamera milik Dafa dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Tau bahwa kebiasaan teman masa kecilnya ketika marah adalah melempar barang, pemilik restoran sontak mengambil alih kamera tersebut dan meletakkannya di meja lain.
"Tujuan dibuatnya perjanjian itu, supaya perceraian bisa lebih mudah dengan alasan Melani yang nggak pernah urusin lo. Gitu aja nggak bisa mikir," cibir lelaki yang berusia satu tahun lebih muda.
Perkataan Dafa ada benarnya. Tetapi hal itu tetap saja akan merugikan Radit.
Pengeluarannya akan membengkak hingga enam bulan ke depan karena terus-terusan makan di luar. Haruskah ia mencari pembantu atau istri kedua?
"Gue takut gendut. Lo kan tau gue suka makan junk food kalau lagi di restoran," keluhnya sedikit melunak.
Dafa melipat tangan di atas dada, "Kalau ada Gavin, mungkin lo bisa minta sebagian makanan dia yang dimasakin sama Melani."
Ah, lagi-lagi menyinggung nama Gavin. Sebenarnya, Radit masih bimbang untuk membawa anak itu ikut tinggal di rumahnya.
Jika Melani mengadu kepada Kakek Yudhis, maka ia benar-benar akan menjadi gelandangan.
"Dit, Gavin butuh sosok orang tua. Dia nggak berhak buat tinggal di panti asuhan sedangkan papa mamanya masih ada di dunia."
***
Jakarta, 2015.
Hujan menyelimuti seluruh kota sejak siang hingga malam ini. Di bawah payung biru tua, berdiri sepasang laki-laki dan perempuan, serta seorang bayi di dalam gendongan.
Mereka bertiga berada di depan pagar sebuah rumah besar. Pada bagian kanan rumah tersebut, terdapat papan besar dengan tulisan "Panti Asuhan Kasih Ibu".
"Kamu yakin? Kita berdua mampu rawat dia, kok. Uang aku banyak," ucap Si pria berusaha meyakinkan.
Wanita yang di sebelahnya menggeleng mantap. "Kamu memang punya uang. Tapi kita nggak punya waktu buat beri dia kasih sayang layaknya orang tua. Belum lagi kalau Kakek kamu tau."
Jujur saja, ia sudah sangat terpaksa harus mengandung selama sembilan bulan. Kehilangan pekerjaan, putus kuliah, serta membohongi kedua orang tua.
Jika bukan karena kekasihnya yang memohon-mohon, mungkin ia akan menggugurkan bayi ini sejak awal kehamilan.
Tak lama kemudian, gerbang hitam itu terbuka. Menampilkan sosok perempuan bernama Ibu Yani, diikuti oleh gadis remaja yang akan bertugas membawa perlengkapan bayi.
Dengan senyuman lembut khas seorang ibu, Bu Yani menyapa, "Selamat malam Pak Radit, Bu Laura. Mari, masuk ke dalam dulu."
Benar. Pasangan kekasih yang baru saja menjalin hubungan selama satu tahun itu adalah Radit dan Laura. Lengkap dengan bayi laki-laki menggemaskan mereka, Gavin Arkana Pratama.
"Bisa disini saja nggak, Bu?" tawar Laura tiba-tiba.
"Kenapa, Lau? Kamu nggak mau lihat kamar yang mereka siapin buat Gavin? Kalau nggak layak gimana?" ucap Radit secara terang-terangan.
Laura menyenggol pelan lengan Sang kekasih. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk melihat kamar yang akan Gavin tempati hingga dewasa.
Lagipula, Radit akan memberi cukup banyak uang setiap bulannya. Laura yakin, Gavin pasti mendapat perlakuan serta fasilitas yang layak di tempat ini.
Sudah terbiasa menghadapi dua sejoli seperti Radit dan Laura, pemilik panti menyahut, "Bisa kok, Bu Laura. Sini, biar Gavin saya yang gendong."
Laura menyerahkan anak yang sejak tadi tertidur pulas itu kepada Bu Yani. Sementara Radit memberikan tas berisi perlengkapan serta sejumlah uang di dalam amplop.
"Ayo, Dit, aku nggak bisa lama-lama. Sebentar lagi harus ketemu sama teman buat bahas kerjaan baru." Pinta Laura.
"Sabar! Ini anak kita, loh. Kamu nggak mau cium Gavin untuk terkahir kali?" sinis Radit sedikit kesal.
Tentu saja, orang tua mana yang tega membuang anaknya di panti asuhan, sedangkan kondisi ekonomi mereka dalam keadaan cukup atau bahkan lebih?
Radit sebenarnya tidak tega membiarkan Gavin tumbuh di tempat ini. Namun ia juga tak memiliki cara lain, mengingat kekasihnya enggan merawat anak kandung mereka sendiri.
"Tiga bulan aku ngerawat Gavin. Itu udah lebih dari cukup karena dia berhasil membuang waktuku selama satu tahun terakhir," gerutu Laura.
Radit menghela nafas lelah. Ia memang tidak pernah menang dalam hal adu mulut dengan wanita ini. Tetapi anehnya, ia juga tidak bisa melepaskan Laura begitu saja.
Pria yang masih memakai jas kantor itu berjalan mendekati Gavin. Membuka sebagian lengan kemejanya, lalu melepas gelang yang diberikan oleh Kakek Yudhis belasan tahun lalu.
"Saya titip ini buat Gavin ya, Bu. Tolong jangan sampai hilang," ucapnya kemudian mengecup lembut dahi Gavin.
Sejak saat itu, semuanya selesai. Hanya Radit lah yang rutin mengunjungi panti setiap satu bulan sekali.
Memberi jatah bulanan khusus untuk putranya dan panti asuhan kepada Bu Yani. Membelikan Gavin barang-barang berlebih, tanpa membuka rahasia yang sesungguhnya.
Namun, hanya dengan melihat sekilas, orang awam pun pasti tau bahwa Radit dan Gavin memiliki hubungan biologis. Pahatan wajah mereka berdua sangatlah mirip.
Sementara Laura, wanita tersebut bahkan tidak ingin menyinggung nama maupun mengunjungi Gavin sama sekali.
Karena sejak awal, ini adalah kehamilan serta kelahiran yang tak diinginkan. Bagaimana Laura bisa bersyukur atas hal itu?