Radit mengangkat kedua alis sebagai jawaban bahwa apa yang Melani baca adalah benar. Ia lalu mengeluarkan bulpoin dari dalam saku jaket.
"Karena saya tidak ingin Kakek terkena serangan jantung akibat perceraian yang terlalu mendadak. Jadi, kita akan berpisah enam bulan ke depan," jelasnya.
Melani menatap Sang suami tak percaya. Menikah adalah proses memiliki dan saling berjanji untuk bersama. Mulai hari ini hingga seterusnya. Bukan hanya sampai enam bulan ke depan.
"Kalau kamu bertanya apakah saya mencintai kamu atau tidak, maka jawabannya adalah tidak," imbuh Radit sesaat setelah menandatangani isi perjanjian.
Dengan nada bergetar karena masih terkejut, Melani menuntut tanya, "Tapi, kenapa Mas mau nikahin aku?"
"Karena saya tidak ingin perusahaan jatuh di tangan kamu. Lagipula, menikah atau hidup bersama dengan seseorang, tidak berarti harus mencintai orang itu, bukan?"
Air mata Melani akhirnya terjatuh. Membasahi pipi dan membentuk sebuah air terjun mini yang merusak segala kebahagiaan prosesi pernikahan pagi tadi.
Dua puluh lima tahun hidup, baru kali ini ia menemukan seseorang yang dengan sangat tega berkata demikian. Dan hatinya semakin hancur ketika tau bahwa orang itu adalah Radit, suaminya sendiri.
"Tenang saja. Perusahaan mendiang Kakekmu akan saya kembalikan. Itu mungkin hanya 25% dari keseluruhan perusahaan yang akan saya miliki," ucap Radit meremehkan.
Tidak ingin mendengar isak tangis yang semakin lama terdengar semakin keras, Radit beranjak dari sofa.
Sebelum sebelah kakinya menginjak anak tangga pertama, ia berbalik menatap Melani yang masih setia menundukkan kepala dengan cairan bening berjatuhan.
"Oh iya, kita nggak akan satu kamar. Kamu tidur di bawah, saya di lantai atas." Jabarnya mengangkat jari telunjuk ke arah atas.
Pernyataan Radit adalah mutlak. Ia tidak butuh sanggahan atau negosiasi. Dan Melani, tentu saja tidak akan menolak keinginan orang yang ia cintai, meski itu perjanjian pernikahan sekalipun.
Benar, setidaknya ia bisa menjadi istri Radit walau hanya sampai enam bulan, bukan? Lagipula, cinta tumbuh karena terbiasa hidup bersama.
Setelah kepergian Radit ke dalam kamar, wanita itu mengelap kasar jejak-jejak air mata menggunakan punggung tangan. Menghela nafas kesal, kemudian ikut masuk ke dalam ruang tidur lantai satu.
Semoga saja hari baru yang menanti esok pagi, dapat merubah keputusan Radit. Semoga saja, atau Melani harus benar-benar menandatangi surat perjanjian ini.
Sementara di kamar atas, asap yang berasal dari gulungan tembakau terlihat berterbangan.
Radit berdiri di balkon. Memandang gugusan lampu-lampu gedung dan jalanan yang sebagian masih menyala.
"Halo?" Sebuah suara dari ponsel menyapa indra pendengaran lelaki itu.
"Gimana, dia ada di apartemen?" Tanya Radit kepada bawahannya tanpa basa-basi.
Sejenak tidak ada jawaban. Hanya ada suara berisik berupa teriakan yang berasal dari banyak orang. Mereka tengah menonton sekaligus taruhan bola. Kegiatan rutin para asisten pribadi Radit dan Sang kakek.
"Maaf, Pak, nggak ada. Sore tadi saya sempat tanya sama satpam. Katanya dia pergi dari semalam, bawa koper sama tas besar," jelas orang itu setelah beberapa saat terdiam.
Radit mematikan telepon sepihak. Cerutu yang masih tersisa banyak ia buang dan injak begitu saja.
Keberadaan Laura sangat sulit untuk diketahui apabila semua akun media sosial gadis itu hilang.
"Kamu kemana sih, Lau? Kalau belum siap nikah sama aku, seenggaknya jadi selingkuhan aku juga nggak apa-apa," gerutu Radit menendang pelan tembok pembatas balkon.
Laura adalah wanita pintar. Ia hanya ingin menjadi yang pertama atau terus mengejar pendidikan. Menjadi selingkuhan tidak pernah terlintas dalam pikirannya.
***
Pukul 7 pagi, sinar matahari merangsek masuk melalui pintu kaca balkon tanpa gorden. Radit lupa memasangnya kemarin malam.
Sang pemilik kamar sudah selesai dengan segala persiapan menuju kantor. Ia berjalan angkuh menyusuri walk in closet dengan bagian kanan dan kiri berupa lemari cermin.
Setelan hitam dengan dasi senada keluaran dari salah satu brand ternama. Dalaman kemeja putih, serta sepatu pantofel mengkilap yang akan terdengar menggema ketika memasuki ruangan.
"Makin lama makin ganteng aja gue." Celetuk lelaki dengan gaya rambut belah tengah tersebut, seraya membenarkan letak poninya.
Sesaat kemudian, sebuah alarm alami berbunyi. Cacing di dalam perut Radit yang sejak semalam belum terisi nasi, mulai meraung-raung meminta makan.
Selagi memasang jam di pergelangan tangan, ia turun ke bawah. Hendak melihat sarapan apa yang akan dirinya dapat dari Melani, istri enam bulannya.
Telinga Radit tidak mendengar suara perabot masak saling bersentuhan. Hidungnya masih setia mencari aroma yang akan membuat ia semakin lapar. Namun nihil, tak ada apapun di meja makan.
"Cari apa, Mas?" tanya Melani.
Wanita itu terlihat tengah menikmati roti isi sayur dan daging di meja makan. Segelas penuh susu, serta potongan buah pir sebagai makanan penutup.
"Kamu nggak masak?" Radit ganti bertanya.
"Udah." Melani mengangkat roti tersebut, "Ini, tadi aku masak sandwich," lanjutnya.
Tanpa rasa malu akan perkataan yang ia ucapkan kemarin, Radit menyahut, "Terus, punya saya mana?"
Sang istri tak menjawab. Ia bangkit dari kursi. Mendekati Radit dengan surat perjanjian yang berada di genggaman tangan.
"Peraturan nomor 10, pihak suami maupun istri tidak berhak untuk memasak, mencuci baju, atau membantu pekerjaan satu sama lain." Jelasnya menunjuk angka yang dimaksud.
Radit melongo, tak percaya dengan apa yang tertulis di dalam perjanjian buatan Dafa. Temannya itu tidak benar-benar ingin membantu, Dafa hanya ingin bersenang-senang.
"Jangan bilang kamu belum baca isi peraturannya, Mas?"
Radit tetap membisu. Mengalihkan semua fokusnya untuk membaca sepuluh peraturan yang cukup merugikan dirinya.
Memberi nafkah lahir setiap bulan karena istri tidak bekerja. Tak berhak meminta nafkah batin karena salah satu tidak mencintai dengan tulus.
Mengingat ia adalah tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain, melihat peraturan tidak boleh ikut campur masalah masing-masing membuat Radit mendelik.
Dafa mengenal dirinya dengan sangat baik. Tapi, apa-apaan semua ini?
"Aku belum tandatangani surat ini, sih. Kalau Mas berubah pikiran, aku bisa kok jadi istri yang baik." Imbuh Melani menampilkan senyuman manis.
Lelaki berkulit putih tersebut menatap Melani. Ia tertawa kecil. Semua orang akan menjadi sangat licik jika tengah menginginkan sesuatu.
"Saya memang nggak bisa masak. Tapi selagi semua restoran di Jakarta tetap buka, saya tidak akan mati kelaparan," sinis Radit.
Ia kembali menggeser surat perjanjian tersebut ke arah Si wanita, "Terima kasih atas tawaran tidak berguna kamu, dan cepat tandatangani kontrak ini," ketusnya.
Dengan rasa kesal yang tertahan setiap kali menatap wajah Melani, Radit pergi dari ruang makan. Ia berjalan membuka pintu utama. Menutupnya perlahan, kemudian mengelus dada dengan lembut.
Marah di pagi hari akan membuat harimu berantakan, dan Radit mempercayai kata-kata itu.
Sedangkan di sisi lain, Melani menggebrak meja dengan segala kekuatan yang dimiliki.
Ia mendesis kesal. Namun perlahan, tangannya bergerak mengambil sebuah bulpoin dan mulai membubuhkan tanda tangan di atas kontrak.
"Aku turutin semua kemauan kamu, Mas. Coba kita lihat, siapa yang akan bertahan dengan perjanjian gila ini," monolognya.