Berusaha tetap tenang walaupun detak jantungnya berpacu lebih cepat, Radit menjawab, "Perjanjian kerja sama. Aku sama Dafa mau buat bisnis kecil. Dari uang masing-masing, kok. Jadi nggak bakal bikin rugi perusahaan."
Yudhis tertawa lirih. "Uang kamu sendiri? Kan selama ini uang yang kamu pakai buat hura-hura itu dari perusahaan Kakek." Sanggahnya seraya mengembalikan map tersebut ke tangan Radit.
Lihatlah! Walau telah menuruti perintah Kakek untuk menikah dengan Melani, ia masih selalu salah di mata duda lanjut usia tersebut, batinnya geram.
Tidak ingin memperkeruh keadaan atau akan membuatnya semakin salah, Radit mengalihkan pembicaraan, "Kakek kenapa kesini? Acaranya sudah mau mulai?"
Selagi membenarkan posisi dasi yang sejak dulu Radit doakan agar tercekik, Yudhis mengangguk singkat. "Iya, ayo ke depan sekarang. Melani sudah selesai dirias, dia sangat cantik." jawabnya.
Radit berjalan keluar terlebih dahulu. Mendengar Yudhis memuji calon istrinya, ia langsung menimpali, "Kalau begitu, Kakek mau menikahi Melani?"
"Tentu saja. Dia dan anak-anakku nanti akan menjadi pewaris perusahaan. Sedangkan kau, mungkin akan menangis di bawah jembatan."
Sepasang mata Radit seketika memicing diikuti gerakan bibir terbuka.
Sungguh, ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Yudhis yang sangat mengutamakan Melani daripada cucunya sendiri.
Semua orang tau bahwa Melani memang sangat cantik. Hal itu sudah terlihat jelas, bahkan ketika gadis yang akan menyandang status sebagai istri Radit tersebut baru lahir.
Tetapi sungguh, secantik apapun Melani atau wanita lain di dunia ini, hati Radit masih menetap untuk Laura seorang.
Ah, mengingat nama Laura membuat Radit menjadi merasa bersalah sekaligus khawatir.
Jika kekasihnya tiba-tiba datang ke pernikahan, lalu meminta pertanggungjawaban tentang sebuah rahasia yang mereka sembunyikan, habis sudah dirinya ditendang dari rumah.
"Dit, jangan ngelamun!" bisik Dafa yang bertugas memotret di area akad nikah.
Radit menggelengkan kepala pelan. Berusaha fokus dengan pernikahan bodoh ini, atau dirinya gagal menjadi direktur utama.
Entah sejak kapan ia melamun, Melani sudah duduk di sisinya. Berbalut kebaya pengantin berwarna putih, serta riasan siger Sunda yang membuatnya semakin terlihat manis.
Penghulu di hadapan mereka berdua mulai menyalakan mic. Para fotografer termasuk Dafa, telah bersiap di tempat masing-masing untuk mendapat angle foto yang sempurna.
"Baik, bisa kita mulai?" Kalimat pembuka dari penghulu dijawab anggukan kepala oleh semua orang.
Seraya menjabat tangan dingin Radit, penghulu tersebut berkata,
"Raditya Pratama bin Andriawan, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Melani Farissan Angeline binti Faris Sandi, dengan maskawin berupa satu set perhiasan serta sebuah mobil senilai 1 miliar rupiah, tunai."
Karena tak ikut andil dalam persiapan pernikahan sejak awal, Radit sukses dibuat terkejut tatkala mendengar jumlah maskawin yang diberikan kepada Melani. Ini pasti ulah kakeknya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Laura Roshanty–"
Satu injakan pantofel hitam di bawah meja, berhasil mengembalikan kesadaran Radit. Yudhis menatapnya tajam diikuti bisikan heran para tamu di belakang.
"Ah, maaf." Radit mengatupkan kedua tangan dan menatap sekitar, tak terkecuali juga Melani yang masih setia memasang senyuman manisnya.
Akad nikah kembali diulang. Sang penghulu mengucapkan kalimat ijab kabul persis seperti beberapa saat lalu.
Sementara Radit, jari-jari kakinya terus bergerak karena terlalu gugup dan takut salah bicara untuk kedua kalinya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Melani Farissan Angeline binti Faris Sandi dengan maskawin tersebut, tunai."
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah!" Koor semua orang yang berada di dalam gedung dengan dekorasi pernikahan serba putih tersebut.
Setelah mengucap kalimat bersyukur kepada Tuhan dan berdoa singkat, penghulu mempersilahkan Melani untuk mencium tangan Radit, suaminya.
Semua berjalan dengan lancar hingga sebelum Melani berhasil mencium punggung tangan Radit, lelaki itu tiba-tiba menariknya.
Dari sekian banyak orang, yang memperhatikan perubahan wajah serta perilaku Radit hanyalah Dafa. Fotografer itu mengulas senyum licik sembari terus memotret ke segala arah.
"Maaf, habis pegang kucing," ucap Radit memberi alasan tak masuk akal.
Mereka bahkan diwajibkan untuk mencuci tangan sebelum masuk ke dalam gedung. Lantas, kucing mana yang ia pegang?
Acara kemudian dilanjutkan dengan resepsi meriah.
Lantunan lagu dari penyanyi solo ternama, sovenir mewah, serta banyaknya makanan menciptakan sebuah kenangan sendiri bagi setiap orang.
Mereka akan sangat menyayangkan jika pernikahan meriah ini hanya dapat bertahan seumur jagung. Namun di sisi lain, Radit justru ingin pernikahannya segera kandas.
"Gue nggak nyangka ternyata suami lo cowok yang di restoran waktu itu," ucap seorang wanita yang sempat membicarakan Radit dan kekasihnya kemarin siang
Melani tersenyum hangat, "Sama. Gue juga masih nggak nyangka kalau bisa jadi istri dia," jawabnya menatap Radit yang tengah menjamu tamu lain.
"Dilihat dari frustasinya Radit waktu ditinggal pacarnya, yakin dia suka sama lo?"
Pertanyaan menohok tersebut membuat senyum Melani menghilang. Itu adalah hal yang ia takutkan sejak dulu. Bagaimana jika Radit tidak mencintainya?
Namun tak sampai sejenak, aura positif kembali menguar bersama dengan senyuman yang mengembang.
"Cinta datang karena terbiasa, Sel. Lagipula, waktu kecil Radit juga sempat suka sama aku, kok," balas Melani tenang.
Berbeda dengan Melani yang mahir dalam mengontrol emosi dan berpikir positif, Gisel lebih mengutamakan logika di atas segalanya.
"Itu kan dulu. Setelah puluhan tahun kenal sama banyak wanita, gue nggak yakin rasa cinta itu masih ada."
Perkataan Gisel memang benar. Tetapi Melani tidak akan tau apakah Radit masih mencintainya sebelum ia mencoba untuk hidup bersama.
***
Seusai acara yang berakhir pada pukul sepuluh malam, Radit dan Melani langsung diantar menuju rumah baru mereka berdua.
Ini terlalu mendadak bagi Radit yang tidak tau apa-apa. Bahkan, semua barang milik keduanya telah berada di rumah dengan dua lantai tersebut.
Dari pakaian di walk in closet, hingga meja kerja serta tumpukan dokumen sudah tertata rapi.
Mengenai isi rumah jangan ditanyakan, Yudhis benar-benar membuat penghuninya tidak perlu membeli perabot lagi.
"Tas laptop yang saya bawa ke gedung pagi tadi, sekarang ada dimana, ya?" Radit bertanya kepada salah satu asisten pribadinya.
Belum sempat asisten dengan pakaian serba hitam itu menjawab, Melani yang sudah berganti baju menyentuh lengan Radit.
"Tas ini yang Mas maksud?" Ujarnya mengangkat sebuah tas abu-abu.
Setelah mengangguk singkat, Radit menatap asistennya seraya menunjuk ke arah pintu. Memberi isyarat agar ia segera kembali pulang ke rumah utama.
Tak butuh waktu lama, pintu telah tertutup sempurna. Menyisakan dua orang yang saling diam sejak rangkaian pernikahan dimulai hingga sekarang.
Sebenarnya, Melani sudah berusaha mengajak Radit berbicara. Namun lelaki itu hanya mengangguk, menggeleng, serta tersenyum tipis sebagai jawaban.
"Mas mau aku buatin susu jahe, nggak?" tawar Melani
Radit duduk di sofa berwarna hitam mengkilap, "Nggak perlu," jawabnya kemudian mengeluarkan sebuah map coklat dari dalam tas laptop.
Ia meletakkan benda tipis berbahan kertas itu di atas meja, "Kita belum resmi menjadi suami istri kalau kamu belum menandantangani surat ini."
"Ini surat apa, Mas?" Tanya istrinya dengan kening yang membentuk kerutan penasaran.
Radit mengangkat sebelah kaki di atas kaki yang lain. Terlihat angkuh namun juga berkharisma di waktu yang sama.
"Kedua tangan kamu nggak akan lecet kalau cuma buat buka amplop. Bisa buka sendiri, kan?" sarkas pria beralis tebal itu.
Wanita tersebut mengangguk mengiyakan. Berusaha tidak terlalu mengambil hati kalimat pedas yang Radit ucapakan beberapa saat lalu.
Tangan Melani bergerak membuka amplop. Mengambil sebuah kertas dari dalam, beserta dua materai yang turut terjatuh di atas meja.
Pada bagian atas kertas tersebut, terdapat kalimat bercetak tebal dengan huruf lebih besar daripada deretan kalimat di bawahnya.
"Perjanjian pernikahan?"