Tak terasa malam hari telah tiba. Di sebuah kamar dengan ukuran yang sangat luas, tidak terhitung berapa kali Radit telah berguling di atas kasur king size miliknya.
"Laura kemana, sih?" monolog pria itu, menyinggung nama wanita yang siang tadi berjanji untuk menghubunginya.
Sejak awal berpacaran, Radit memang tidak diizinkan untuk menelepon terlebih dahulu ketika berada di hari kerja.
Pasalnya, Laura selalu sibuk hingga larut malam. Lelaki itu bisa saja mengganggu pekerjaannya dengan obrolan tidak berguna, atau keluhan rindu ingin bertemu.
Namun sepersekian detik kemudian, nama seseorang yang sejak tadi Radit pikirkan akhirnya terpampang jelas di atas layar ponsel.
@Laura.Rose : Dit, aku tunggu di taman biasa kita ketemu, ya. Sekarang.
Pesan singkat tersebut sontak membuat Radit mengambil kunci mobil di atas nakas. Turun dari ranjang dengan tergesa, lalu keluar dari dalam kamar.
Suasana di rumah ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sangat lengang, hingga terkesan egois jika hanya dihuni oleh tiga majikan serta dua pembantu rumah tangga.
Tepat ketika Radit berbalik seusai menutup pintu kamar, Nita terlihat berjalan ke arahnya. Menenteng tuxedo putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam.
"Loh, mau kemana, Dit? Ayo, coba tuxedo kamu dulu," pintanya.
Radit menggeleng tak mau. "Kalau pesan di designer yang biasa, ukurannya pasti pas, kok. Radit mau keluar dulu, Ma."
Karena perbandingan tinggi yang berbeda jauh dengan Sang putra, Nita mencegah kepergian Radit dengan cara memeluk pinggangnya.
"Memang kamu mau kemana, sih? Pamali loh keluar di malam sebelum pernikahan," omel Nita sengaja menakut-nakuti.
Namun sayang, Radit tidak pernah menjadi penakut jika itu berhubungan dengan orang-orang terkasihnya.
Lelaki berbalut kaos hitam itu perlahan melepas pelukan Nita.
Sembari memberikan senyuman maut, ia berkata, "Radit ada urusan sebentar, Ma. Sebentar aja, kok. Janji nggak mabuk sama balapan."
Bukan hanya wanita di luaran sana yang mampu luluh dengan senyuman Radit. Mamanya pun akan sulit berkata tidak jika Radit mulai menunjukkan aksi magisnya seperti saat ini.
"Bener, ya? Usahakan pulang sebelum jam 12. Jangan buat Kakek marah, Mama ikut sedih kalau kamu dimarahi sama Kakek terus."
Bagaimana orang bisa percaya bahwa Radit telah berkepala tiga, jika Sang mama saja masih memperlakukannya seperti anak yang belum berusia legal.
"Iya, tenang aja. Radit nggak pulang larut malam, kok. Sekarang, mending Mama istirahat dan siapin tenaga buat besok." Jawabnya seraya mengecup pipi Nita.
Benar. Radit memang berjanji untuk tidak pulang malam. Namun, bisa saja ia pulang pada pagi hari. Atau bahkan jika Laura setuju dengan rencana ini, maka Radit akan pergi dari rumah selamanya.
Ah, tidak. Radit tidak bisa hidup tanpa uang di dalam dompet. Ia tidak pernah bekerja dari bawah. Sepertinya, pilihan yang paling tepat adalah memiliki dua istri, batinnya tertawa kecil.
***
Beberapa jam kemudian, rencana yang Radit rancang ternyata hanya sebatas angan belaka. Hingga pukul satu dini hari, Laura tak kunjung datang di tempat yang ia maksud.
Radit berjalan sembari melipat kedua tangan di dada. Hawa dingin yang masuk ke dalam tulang tak membuat lelaki itu merasa gentar.
Ia benar-benar tidak tau dimana keberadaan Laura sekarang. Entah mengapa, kejadian malam ini terasa begitu aneh dan mendadak.
Semua akun media sosial kekasihnya menghilang tanpa jejak. Bahkan yang lebih parah lagi, gadis itu dengan tega memblokir nomor ponsel Radit.
Ketika memutuskan untuk menelepon kedua orang tua Laura, mereka justru berkata bahwa wanita tersebut belum pulang selama satu tahun terakhir.
"Dari mana saja kamu?" Suara berat menyambut kedatangan Radit ke dalam rumah.
Air muka kakek Yudhis jelas tengah menahan amarah, sementara raut cemas perlahan memudar dari wajah Nita.
"Radit tadi udah izin Mama buat keluar, kok. Ada urusan sebentar," jawab Si calon pengantin.
"Apa maksudmu sebentar itu selama tiga jam? Lupa bahwa besok adalah hari pernikahanmu dengan Melani? Kamu sengaja buat kita semua khawatir?"
Mendengar rentetan pertanyaan menyudutkan membuat suasana hati Radit semakin buruk. Selalu seperti ini. Sejak kecil, ia selalu dianggap sebagai biang masalah.
Padahal, keberadaannya disini sangat penting untuk kelanjutan bisnis keluarga.
Jika bukan Radit, maka siapa lagi? Ia juga tidak ingin seluruh aset perusahaan jatuh ke tangan cucu sahabat karib Kakeknya, Melani.
Melihat Radit yang hendak membuka mulut untuk menyampaikan segala alibinya, Yudhis sudah terlebih dahulu berucap, "Jangan mendongeng. Pergi tidur dan bangun pukul 6 pagi."
Hampir sebagian orang mengalami gangguan tidur jika akan mengalami perubahan besar dalam hidupnya.
Begitu pula dengan Radit. Kehilangan Laura dan akan menikah dengan orang yang tidak ia cintai, bukankah itu sudah cukup untuk membuatnya sulit memejamkan mata?
Saat ini, kembali berada di dalam kamar yang sama, Radit terlihat tengah menghubungi seseorang sembari mengacak rambutnya frustasi.
Ia harus merancang sebuah rencana agar bisa menceraikan Melani setelah pernikahan. Sesegera mungkin sebelum Laura kembali pulang.
"Enggak. Nanti yang kena imbas malah gue. Kalau tiba-tiba gue turun jabatan, gimana?" Protes Radit akan rencana yang baru saja diutarakan oleh temannya di seberang telepon.
Sejak awal, sudah menjadi perjanjian bahwa siapa yang menggugat cerai terlebih dahulu, maka perusahaan akan jatuh kepada tergugat tidak peduli apa alasan di balik semua itu.
"Kalau lo nggak bisa gugat cerai karena takut perusahaan jatuh ke tangannya, lo harus buat dia yang menggugat perceraian," usul Dafa, teman dekat Radit.
Lelaki tersebut mengerutkan kening, "Tapi, gimana caranya?"
***
Hari yang ditunggu terkadang datang begitu lama. Namun jika tak ditunggu, seolah langsung datang hanya dengan satu kedipan mata.
Doa Radit kepada Tuhan agar mengulur tibanya hari baru ternyata tak terkabul.
Dengan setelan tuxedo yang kemarin belum sempat ia coba, Radit menatap dirinya di depan cermin besar yang tersedia di salah satu kamar gedung pernikahan.
"Ganteng juga," celetuk seorang lelaki berjalan pelan ke arahnya.
"Makasih. Mending lo aja yang nikah sama gue. Mau, nggak?" jawab Radit.
Sembari menampilkan raut wajah kegelian, pria berkalung kamera yang kerap disapa Dafa itu mengeluarkan map dari dalam ransel miliknya.
"Nih, yang lo minta kemarin. Lengkap sama dua materai."
Senyuman Radit mengembang tatkala menerima uluran map tersebut. Dengan bantuan sifat licik Dafa yang telah mendarah daging, ia pasti tidak akan kehilangan perusahaan hanya karena sebuah perceraian.
Tak selang sejenak, terdengar beberapa kali suara ketukan dari luar.
Pintu yang sengaja tidak dikunci perlahan terbuka. Menampilkan sosok pria paruh baya dengan setelan jas dan rambut penuh uban.
Walaupun telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun, aura tampan dan berwibawa masih jelas terpancar.
Seolah membuktikan bahwa Yudhis pernah menjadi idola banyak wanita pada masanya.
"Kalau gitu gue ambil gambar di luar dulu, ya, Dit." Ucap Dafa menepuk pundak Radit.
Ia kemudian berlalu. Berjalan mendekat ke arah pintu, sembari menyapa dan menundukkan kepala hormat kepada Yudhis. Kakek Radit sekaligus pemilik kantor majalah tempatnya bekerja.
Tanpa basa-basi atau menunggu Radit bertanya tentang apa tujuannya kemari, Yudhis melangkah. Ia mengambil map coklat tersebut dari tangan Sang cucu bahkan sebelum Radit berhasil menyembunyikannya.
"Dari teman fotografer-mu itu? Apa isinya?"