Chereads / CINTA TIGA DIMENSI / Chapter 57 - Pengakuan Dosa (1)

Chapter 57 - Pengakuan Dosa (1)

Kenangan indah semasa hidup Enrique tidak akan pernah mampu tergantikan atau terhapuskan oleh kebahagiaan apapun yang ada di dunia ini. Senyum kebahagiaan dan canda tawa kedua orang tuanya disaat ia masih kecil hingga ia tumbuh menjadi seorang gadis remaja masih tertanam dalam benaknya dan tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Namun, satu kesalahan besar telah dilakukan oleh gadis itu dan menodai kebahagiaan keluarganya, membuat ia terus berpikir apakah ia masih pantas mendapatkan pemberian maaf dari ibunya. Perasaan bersalah yang kini menghantui seakan kian menusuk kedalam saraf sanubarinya tiada henti, terus merongrong dalam benaknya, bahkan tidak berhenti meneriakkan bahwa dirinya yang telah menjadi penyebab timbulnya penderitaan baru bagi ibunya. Pernyataan pria itu seakan telah menyihir gadis itu menjadi lemah dan jatuh terkulai tidak berdaya. Bibir yang seakan terkunci itu kini tak lagi mampu berucap satu patah kata pun. Berjuta kata yang ingin diucapkannya pun takkan mampu lagi membuatnya bercerita tentang apa yang dirasakannya saat ini. Ingin rasanya ia menghukum dirinya sendiri dengan segala benda yang ada disekitarnya namun rasanya itu pun tidak akan mampu lagi mengobati rasa sakit yang kini seakan menggerogoti hingga ke dalam tulang sumsumnya dan tidak akan pernah mampu mengubah kondisi yang telah terjadi menjadi lebih baik. Kaki yang tadinya mampu menopang tubuh tersebut pun kini tidak mampu lagi menopangnya hingga menjatuhkan pemilik tubuh itu begitu saja. Sementara langit yang seakan mengutuk gadis yang telah melakukan kesalahan dan dosa besar itu pun segera berubah menjadi gelap gulita dan segera menurunkan percikan air lebat yang terus mengguyur tubuhnya yang kian melemah. Ia hanya berpikir jikalau itu adalah tsunami besar atau api neraka yang membakarnya sekalipun takkan mampu menghapus dosa besar yang telah dilakukannya. Suara kedua pria yang sedari tadi memanggilnya untuk segera berteduh pun tidak didengarnya lagi, seakan suara mereka telah tertutup dalam sebuah ruangan kedap suara dan tidak akan pernah kedengaran hingga keluar. Pikiran yang telah diliputi oleh rasa bersalah dan berdosa itu membuatnya kehilangan kendali dan mengambil pisau kecil yang selalu dibawanya ke mana – mana lalu diarahkannya ke bagian leher guna mengakhiri hidupnya yang dirasa sudah tidak berguna dan penuh dengan dosa. Segera ia mengambil pisau tersebut dan diarahkannya ke bagian lehernya.

"Maafkan putrimu yang telah menjadi seorang pembangkang ini ma, mungkin dengan cara ini aku bisa menghukum diriku sendiri yang udah berbuat kesalahan besar terhadap mama."

Robin dan Jade yang tiba – tiba melihat tindakan gadis tersebut begitu terperanjat dan Robin yang begitu sigap langsung berhasil merebut pisau dari gadis itu hingga membuatnya tersentak.

"Ivory! Apa yang sedang kamu lakukan? Berikan padaku pisau itu!"

"Ivy…mama sedang kritis saat ini…kumohon, tolong kamu jangan seperti ini lagi Iv…Kalo kamu memang merasa bersalah sama mama, mari kita segera ke rumah sakit sekarang dan minta maaflah sama mama secara langsung, bukan dengan melakukan hal bodoh seperti ini. Kalo mama sampai mengetahui hal ini pasti juga akan marah besar dan melarangmu. Tenangkan dirimu dan berpikirlah dengan jernih. Sekarang juga kamu ikut aku kalo kamu memang masih peduli sama mama."

"Apa benar mama akan memaafkanku?" tanya Ivory terisak seraya menatap Jade dengan ekspresi datar seakan ia telah kehilangan semangat hidupnya.

"Pasti Iv, makanya ikut aku sekarang juga. Kita temui mama, siapa tau dengan kamu ke sana kamu bisa membantunya untuk melewati masa kritisnya."

"Lepaskan dia! Biar dia bersamaku dan kamu cukup tunjukkan saja tempatnya."

"Apa – apaan kamu ini? Bahkan disaat seperti ini pun masih saja kamu mempermasalahkan hal ini?"

"Harusnya kamu itu…"

"Cukup!! Hentikan semua keributan ini! Kumohon pada kalian saat ini aku hanya mau ketemu sama mamaku, bukannya…"

Belum sempat menyelesaikan perkataannya Ivory tiba – tiba kehilangan kesadarannya dan jatuh terkulai dalam pelukan Robin.

"Ivory! Hei, sayang…kamu kenapa? Gawat. Badannya begitu dingin. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit."

"Kenapa lagi sih? Kamu pikir kamu ini siapa dengan seenaknya mengaturku. Biar dia ikut aku saja agar aku bisa segera membawanya ke sana."

"Kita udah gak punya waktu untuk berdebat lagi. Segeralah tunjukkan tempatnya kepadaku. Sesampainya di sana aku akan membawanya ke IGD dulu untuk mendapatkan pertolongan pertama."

Jade mendengus kesal mendengar ocehan pria yang dirasanya terlalu bossy dan arogan itu namun ia merasa kali ini ia pun tidak punya pilihan lain selain mengalah dan menuruti arahan dari pria tersebut meskipun ia tidak suka melihat Robin yang sedang menggendong tubuh gadis itu dan tetap membawanya bersamanya. Tanpa mempedulikan pakaian yang dikenakan telah dibasahi oleh hujan yang turun sejak tadi, mereka tetap terus melaju dan menancapkan gas agar bisa segera sampai di tempat tujuan. Untungnya rumah sakit tempat Moniq dirawat berlokasi tidak begitu jauh dari tempat pertemuan mereka tadi. Sesampainya di sana, Robin segera membawa Ivory ke IGD untuk segera mendapatkan perawatan dan pertolongan pertama dan meminta kepada dokter jaga yang sedang bertugas untuk segera memberikan penanganan medis yang diperlukan oleh gadis itu. Kedua pria tersebut tidak diperkenankan untuk memasuki ruangan dan setelah diminta untuk tetap menunggu di kursi koridor bagian depan, Robin dan Jade yang dipenuhi oleh rasa kekhawatiran hanya bisa berjalan mondar mandir menunggu dokter jaga yang sedang menangani gadis itu. Selang beberapa waktu kemudian, akhirnya dokter jaga tersebut telah menyelesaikan tugasnya kemudian mengabarkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh kedua pria tersebut karena gadis itu akan segera sadar serta mengabarkan bahwa ia hanya mengalami gejala penurunan kesadaran yang disebabkan oleh emosi yang tidak stabil, rasa cemas yang berlebihan, depresi, paranoid, kelelahan luar biasa secara fisik dan mental bahkan karena berpikir terlalu keras hingga memforsir dirinya sendiri sehingga akhirnya ia tidak mampu bertahan. Setelah dokter meninggalkan kedua pria tersebut, Robin dan Jade pun berebut untuk segera memasuki ruangan demi untuk melihat keadaan Ivory.

Mimpi yang sama itu datang lagi. Namun kali ini Enrique terlihat begitu bahagia bersama Moniq dan keduanya terlihat berpakaian serba putih. Mereka sedang tersenyum kepada gadis itu dan melambaikan tangan kepadanya. Tidak berapa lama kemudian, akhirnya Ivory menyadarkan diri dengan sebuah teriakan histeris lalu melihat keadaan sekelilingnya yang sudah berbeda dari tempat terakhir kalinya ia berada.

"Mama…! Hahhh…hahh…Di mana aku?" ujar Ivory lemah dan masih merintih kesakitan terutama dibagian kepala.

"Iv, kamu gak apa – apa kan?" tanpa disadari kedua pria itu secara bersamaan mengucapkan kalimat yang sama hingga akhirnya mereka menatap satu sama lain lalu saling mengabaikan.

"Kamu sedang di rumah sakit sayang," ujar mereka berbarengan lagi membuat kedua pria tersebut saling berdecak dan mendengus kesal lalu kembali fokus kepada gadis itu.

"Rumah sakit? Mama? Ke mana mama? Aku mau bertemu dengan mama sekarang. Tolong…"

"Apa kamu udah merasa baikan sayang?" Tanya Robin khawatir.

"Aku gak apa – apa, kumohon aku mau segera melihat kondisi mama."

"Kalo kamu memang udah merasa baikan sini, naiklah ke punggungku, biar aku bawa kamu ke sana."

"Hei, gak perlu kamu yang membawanya ke sana, masih ada aku. Ayo sayang, biar aku yang membawamu ke sana," ujar Robin memberikan punggungnya lalu memposisikan kaki gadis itu agar bisa mensejajarkan dirinya ke punggung pria itu. Ivory yang sedang lemah tidak berdaya hanya mengikuti pergerakan yang dilakukan oleh pria itu. Ia pun tidak ingin meributkan hal lainnya lagi karena saat ini pikirannya hanya dipenuhi oleh keadaan Moniq. Hal itu membuat Jade kembali mendengus kesal karena pria itu seakan telah memonopoli gadis yang sangat dicintainya itu.

Sesampainya di ruang perawatan Moniq, tubuh Ivory kembali bergetar, seakan ia hampir tumbang lagi, untungnya Robin masih merangkulnya dan memegang kedua bahunya agar gadis itu setidaknya masih memiliki sandaran. Melihat tubuh ibunya yang sedang terbaring lemah tidak berdaya dengan alat bantu pernapasan yang terhubung dengan sebuah mesin dan tabung oksigen serta wajah yang begitu pucat dan tubuh yang penuh dengan bekas luka, membuat hatinya seakan tercabik – cabik. Apa yang telah dilakukannya selama dua tahun ini tidaklah bisa dimaafkan pikirnya.

"Mama…Ini putrimu, Ivory. Aku udah kembali ma…Kenapa semuanya jadi begini? Tolong berikan aku satu lagi kesempatan untuk berkumpul kembali sama mama. Aku mengakui semua kesalahanku, kuakui waktu itu aku begitu khilaf dan gak mikirin perasaan mama. Aku begitu egois dan hanya memikirkan diriku sendiri. Mama segera sadar ya, nanti kalo mama udah sadar aku janji akan bawa mama jalan – jalan, kita akan keliling dunia kali ini ma. Aku gak mau mama ninggalin aku juga seperti papa dulu. Kalo memang mama mau pergi, tolong bawa aku juga, aku ingin ikut bersama mama dan papa. Kumohon sadarlah segera ma…" Ivory yang sudah dilanda kekalutan dan kekhawatiran akhirnya kembali menggenangi matanya dengan tangisan pilu yang tiada hentinya bahkan berlutut menghadap Moniq namun wanita yang sedang tertidur itu tidak mampu membuka matanya atau mengucapkan apapun dan hanya memberikan respon dengan mengeluarkan air mata yang menetes di pipinya.

Robin yang sudah tidak sanggup melihat keadaan Moniq yang sedang kritis dan gadis yang dicintainya itu begitu menderita serta rasa bersalah yang juga menjalari sekujur tubuhnya karena telah membawa pergi gadis itu hingga keluarganya berakhir tragis akhirnya berjalan keluar meninggalkan ruangan guna menebus semua kesalahannya dan segera menuju ke meja administrasi untuk menyelesaikan proses pembayaran biaya operasi dan pengobatan atas nama Monique Keithleen menggunakan sisa tabungannya dan hasil penjualan mobil sport miliknya yang masih cukup. Robin segera membuang bukti pembayaran tersebut karena ia tidak ingin kekasihnya mengetahui bahwa ia yang telah melunasi seluruh biaya pengobatan dan operasi ibunya lantas merasa berhutang budi padanya. Hari itu juga Robin meminta kepada pihak rumah sakit dan dokter untuk segera menangani Moniq dan melakukan tindakan operasi. Hal itu membuat Ivory dan Jade begitu terperanjat bagaimana mungkin tiba – tiba biaya operasi tersebut sudah dilunasi. Robin segera kembali bergabung bersama mereka saat itu juga agar Ivory tidak mencurigainya. Seorang staf administrasi segera meminta salah satu anggota pasien untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan untuk tindakan operasi tersebut. Meskipun sempat ragu, antara dirinya merasa senang dan bingung karena ada seseorang yang telah melunasi biaya operasi, namun demi segera menyelamatkan ibunya tanpa menunggu lebih lama lagi, akhirnya Ivory menangani surat persetujuan agar dokter dan seluruh timnya bisa segera memulai operasi tersebut.

"Suster, kalo boleh tau siapa yang telah melunasi biaya operasi ibu saya ya?" tanya Ivory penasaran.

"Mohon maaf sebelumnya Nona, akan tetapi orang tersebut tidak berkenan untuk menyebutkan namanya dan demi menjaga privasi orang yang bersangkutan itu, maka kami tidak bisa memberitahukan kepada anda. Kalo begitu saya permisi dulu," ujar perawat tersebut sembari melayangkan pandangan sekilas ke arah Robin yang telah memperingatinya untuk merahasiakan hal tersebut sebelumnya.

Ivory yang masih kalut dan bingung bagaimana tiba – tiba ibunya bisa begitu cepatnya dioperasi, lantas menatap Robin yang diduganya telah melunasi biaya tersebut. Ia mencurigai bahwa pastilah Robin yang telah membantunya mengurus semua pembayaran, akan tetapi jika memang kekasihnya itu yang membantunya mengapa ia tidak berkenan memberitahukannya.

"Rob, apakah itu kamu?"

"Hmmm...apa?"

"Apa kamu yang telah membantu biaya operasi mama?"

"No...aku sejak tadi di sini loh bersama kalian. Mungkin saja ada seseorang yang begitu sayang sama kalian jadi dia bersedia membantu melunasinya. Anggap saja begitu. Ya sudahlah, yang penting sekarang ibumu bisa segera dioperasi, jadi kamu udah bisa tenang ya, jangan terlalu memikirkan hal lain lagi dan fokuslah pada kesembuhan ibumu," ujar Robin dengan melayangkan senyuman manisnya hingga menonjolkan lesung pipinya yang menambah ketampanan wajah pria itu. Entah mengapa Ivory masih merasa ragu dan tidak yakin akan ucapan pria tersebut. Karena begitu penasaran, ia berpikiran untuk mencari tahu siapa yang telah membantunya.