Chereads / CINTA TIGA DIMENSI / Chapter 61 - Kepulangan Moniq (1)

Chapter 61 - Kepulangan Moniq (1)

Waktu yang telah bergulir melampaui batas ruang dan jarak tidak akan mampu diputar kembali, begitu pula dengan segala sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupan, bagaikan nasi yang telah menjadi bubur, bagaimanapun segala daya upaya dilakukan untuk mengubahnya kembali menjadi nasi, dengan beribu peluh yang menetes dari setiap inchi kulit sekalipun tak akan mampu mengembalikan segala keadaan yang telah berubah. Selama ini, segala hal yang Ivory lewati telah membuatnya merasakan semua kepahitan hidup yang telah terjadi terhadap keluarganya. Cynthia turut merasakan duka yang sama dalam sanubarinya, membuatnya semakin geram terhadap orang yang disebut sebagai psikopat itu. Betapa inginnya ia membuat lelaki itu bertanggung jawab atas perbuatan kejinya.

"Aku bisa merasakan dukamu nak, karna aku sendiri pun pernah mengalami hal yang sama. Mulai sekarang kamu bisa anggap aku sebagai bibimu sendiri. Kita sekarang udah jadi keluarga. Aku yakin kalo pamanmu beneran masih hidup dan bisa berkumpul kembali lagi bersama kita lalu melihat keponakannya yang sekarang udah tumbuh menjadi seorang gadis yang begitu cantik pasti dia akan sangat senang. Pamanmu belum sempat bercerita banyak tentang kalian karna dia udah sempat menghilang ketika kami baru saja menikah. Ngomong – ngomong, sebelum itu dia sempat menitipkan sesuatu padaku. Sebentar, akan kuambilkan," ujar Cynthia seraya berjalan masuk ke dalam kamarnya lalu kemudian keluar dengan sebuah kotak kecil dalam genggaman tangannya.

"Ini titipan dari pamanmu. Pamanmu itu adalah orang yang begitu perhatian, cenderung selalu berpikir ke depan seakan ia bisa menebak atau menerawang masa depan sehingga sebelum sesuatu terjadi padanya, pasti dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dulu. Bukalah sesampainya di rumah, pasti ada sesuatu yang sangat penting didalamnya yang ingin pamanmu sampaikan, makanya aku gak pernah mau membukanya. Barang kali ini bisa menjadi petunjuk berikutnya untuk kalian. Jika kalian membutuhkan bantuanku nanti, segera hubungi aku dinomor ini," ujar Cynthia seraya menyodorkan kartu namanya.

"Aku gak tau lagi harus berkata apa, tapi sebelumnya aku benar – benar berterima kasih pada bibi, karna udah mau membantuku sejauh ini. Kuharap kita bisa segera menegakkan keadilan untuk orang – orang yang kita sayangi ya Bi," ujar Ivory dengan mata yang berbinar – binar seraya kembali memeluk wanita itu.

"Iya. Sebaiknya kalian lebih berhati – hati karna orang itu sungguh berbahaya," ujar Cynthia mengingatkan dan dijawab dengan anggukan kepala Ivory.

Ivory yang sudah kembali ke rumah sakit segera menuju ruang rawat inap ibunya dan tertegun melihat Jade yang sedang menyuapi ibunya yang sudah terbangun dari tidurnya, membuat Ivory yang melihatnya merasa tersentuh dan memandang pemandangan tersebut untuk sesaat. Jade yang segera menyadari dirinya sedang ditatap oleh Ivory segera meledeknya.

"Masih betah berdiri terus? Ke mana aja sih seharian ini?" tanya Jade yang menyadarkan lamunan Ivory.

"Ck, Bukan urusanmu. Gimana keadaan mama? Sini gantian aku yang menyuapinya," Ivory segera ingin mengambil mangkuk bubur yang dipegang oleh Jade namun kebiasaan ceroboh Ivory tetaplah tidak bisa diubahnya. Kakinya yang hampir saja mencapai tempat duduk pria tersebut tanpa sengaja tersandung kaki kursi dan jatuh terduduk dalam pelukan Jade yang dengan sebelah tangannya refleks memeluk pinggang gadis itu meskipun sebelah tangannya masih memegang mangkuk bubur. Sepasang mata pria itu segera menatap dalam ke bola mata Ivory membuat hati gadis itu kembali berdebar tak menentu seperti yang pernah dirasakannya sebelumnya. Robin yang baru kembali dari toilet melihat Ivory yang sedang dipeluk oleh Jade dengan tangannya berpegang pada kedua bahu pria tersebut dan menatapnya lekat segera berdehem dan membantu menegakkan tubuh gadis itu lalu menjauhkannya dari Jade.

"Ehem! Sayang, kamu kenapa? Pasti tersandung lagi ya? Sini, kubantu. Berapa kali kukatakan, kalo kamu ceroboh gini dihadapanku gak apa – apa, tapi jangan sampai cerobohnya dihadapan cowok lain apalagi dia," celetuk Robin memutar matanya melirik sekilas ke arah Jade.

"Cih! Berlebihan banget sih. Sekarang biar kamu yang suapin mama aja Iv. Untung tadi buburnya segera kutarik jadi gak sempat terjatuh. Lain kali lebih berhati – hatilah. Kamu gak apa – apa kan?" tanya Jade seraya berdiri hendak meninggalkan ruangan namun sebelumnya ia telah menyunggingkan sebuah senyum manis kepada gadis itu dan mengelus kepala gadis itu, namun Ivory yang merasa sedikit malu hanya bisa segera menggelengkan kepalanya dan merebut mangkuk bubur itu tanpa ingin memandang wajah pria itu. Entah mengapa debaran di dadanya kembali dirasakannya sejak matanya bertemu kembali dengan mata Jade, terutama sikap Jade terhadapnya, membuat ia semakin susah untuk melupakan pria tersebut. Ia segera meyakinkan dirinya bahwa ia tidak mungkin memiliki perasaan apapun terhadapnya, karena ia kini telah memiliki Robin sebagai kekasihnya dan begitu menyayanginya. Jade yang sebelum berjalan keluar melihat kemesraan mereka sekilas membuatnya kembali geram hingga akhirnya ia memutuskan untuk beristirahat di koridor. Ivory lalu segera memalingkan wajahnya memandang Moniq yang sedang menunggunya untuk melanjutkan suapan berikutnya. Ia berusaha untuk mengembalikan fokusnya terhadap wanita yang begitu dicintainya itu, wanita yang wajahnya meskipun masih terlihat begitu cantik namun sudah mulai termakan oleh usia dengan garis kerutan di pipinya yang sudah mulai terlihat. Rasanya ia sudah lama sekali tidak melihat sosok ibunya. Terakhir kali ia meninggalkan ibunya, wajah ibunya masih terlihat begitu cerah dan lebih muda. Ia sempat berpikir bagaimana mungkin kurun waktu dua tahun mampu mengubah wajah seseorang sedikit demi sedikit. Perlahan – lahan ia mulai menyuapi Moniq dan sesekali ia terlihat berusaha untuk mengajak Moniq bercerita mengenai masa lalu mereka namun semuanya hanya direspon dengan gelengan kepalanya, yang menandakan bahwa Moniq sama sekali tidak mampu mengingat semua itu.

Malam itu, Jade berpikir keras ke mana ia harus tinggal setelahnya. Sisa tabungannya yang sudah mulai menipis membuatnya harus berhemat untuk berjaga – jaga. Tanpa ingin berpikir panjang, ia segera memejamkan mata dan memilih untuk berpura – pura tidak mendengarkan apapun atau melihat apapun. Dokter yang menangani Moniq, malam itu segera mengabari Ivory bahwa keadaan Moniq sudah membaik dan besoknya sudah bisa kembali pulang dengan syarat Moniq harus tetap menjalankan terapi rutin untuk merangsang fungsi saraf otaknya dengan dibantu oleh pihak keluarganya untuk segera memulihkan ingatannya. Ivory merasa begitu bahagia karena akhirnya ia bisa berkumpul kembali bersama dengan ibunya, namun mengingat ia harus membiayai terapi Moniq, membuatnya berpikir keras antara ia harus berhenti kuliah dan hanya bekerja secara full time agar ia mampu menyewa sebuah rumah kecil dan membiayai terapi Moniq. Melihat kekasihnya yang begitu resah, pria tersebut segera mampu menebak penyebabnya.

"Bukankah udah kukatakan, tetaplah tinggal bersamaku dulu, tempatku masih muat menampung ibumu dan lelaki itu kalo dia mau. Sekalian kita bisa bersama – sama menyusun rencana selanjutnya untuk membalas perbuatan ayahnya. Kamu harus lebih fokus sama kesembuhan ibumu dan kuliahmu pun tetap harus berjalan. Bukankah kamu mempunyai impian untuk meneruskan apa yang telah dibangun oleh ayahmu?"

Ivory terlihat berpikir untuk sesaat, ia merasa apa yang diutarakan oleh pria itu benar adanya. Saat ini, ia harus berjuang lebih keras untuk kesembuhan ibunya dan terapi itu adalah satu – satunya cara, bahkan tidak menutup kemungkinan rumah peninggalan James yang telah dibeli oleh pria tersebut bisa membantu mengembalikan sedikit demi sedikit ingatan ibunya.

"Tapi…kalo begitu aku akan lebih merepotkanmu lagi kan…"

"Ya ampun…kamu ini selalu saja ngerasa sungkan samaku, padahal kita sudah hidup bersama selama dua tahun ini tapi kamu masih belum juga memahami karakterku? Sungguh, sama sekali aku gak keberatan kalo kamu dan keluargamu tinggal di sana. Malah aku merasa senang dan gak kesepian lagi. Udah lama banget loh aku gak pernah merasakan lagi yang namanya kumpul keluarga, jadi jangan berpikiran begitu lagi ya," ujar Robin tersenyum lalu mencium kening kekasihnya. Ivory merasakan ada sebuah perasaan dosa lain yang menyelimutinya dan membuatnya gundah atas apa yang telah terjadi sebelumnya ketika debaran dalam hatinya muncul kembali saat ia sedang bersama Jade. Ia merasa hal tersebut tidaklah pantas baginya dikala ia telah memiliki seorang kekasih. Mungkin ini memang adalah keputusan yang tepat batinnya. Robin kembali menyadarkan gadis itu dari lamunannya.

"Sayang, ada apa sih? Kok melamun terus? Apa kamu keberatan ya? Aku gak akan maksa andai kamu memang keberatan, aku masih bisa membantumu menyewa sebuah tempat tinggal lagi untuk kalian," ujar Robin khawatir. Mendengar pernyataan tersebut membuat batin Ivory semakin bergejolak. Selama ini ia telah banyak merepotkan Robin, tidak mungkin ia terus – terusan bergantung biaya hidup dari pria tersebut.

"Gak perlu Rob, aku akan membawa mama tinggal bersamamu dulu tapi setelah mama sembuh dan aku udah mampu membiaya sewa rumah, aku akan pindah. Kamu gak keberatan kan?"

"Tentu saja tidak sayang, aku justru bangga punya kekasih yang begitu mandiri dan dewasa. Aku benar – benar beruntung bisa mencintai seorang kekasih yang begitu sempurna," ujar Robin segera memeluk gadis yang terlihat begitu gemas karena sedang tersipu malu itu. Ivory hanya berharap ketika ingatan Moniq telah kembali nantinya, beliau akan mampu menerima kehadiran Robin yang telah begitu banyak berjasa terhadapnya dan ibunya.

Keesokan paginya Jade yang terlihat terlelap dan baru terbangun dari tidurnya begitu terperanjat ketika Robin memanggilnya saat ia hendak berjalan menuju ke bagian administrasi untuk membereskan sisa transaksi yang diperlukan sebelum mereka meninggalkan rumah sakit. Ia sedikit merasa kecewa karena gadis itu tidak memberitahunya bahwa Moniq sudah diperbolehkan untuk kembali hari itu juga, membuatnya pun tergesa – gesa membereskan seluruh koper dan barang bawaannya yang dititipkannya selama berada di rumah sakit karena belum mempunyai tujuan tetap.

"Ivy, kenapa kamu gak memberitahukanku dulu kalo hari ini mama udah boleh pulang? Lalu kita akan ke mana?"

"Aku cuma gak mau ganggu tidurmu yang begitu lelap. Kita akan ke rumah Robin."

"Apa…?! Kenapa harus ke rumah orang itu? Bukankah kamu kemarin mengatakan kalo kita akan sewa sebuah rumah kecil?"

"Dokter menyarankan mama untuk rutin menjalankan terapi agar fungsi saraf otaknya bisa selalu terangsang dan bisa membantu ingatannya untuk segera kembali. Terserah sih kamu mau ikut atau nggak." Jade yang awalnya keras kepala dan gengsi akhirnya terpaksa menurunkan egonya dan menuruti ke mana gadis itu akan pergi. Ia sendiri pun sudah tidak mampu menyombongkan diri lagi untuk menyanggupi keinginannya menyewa atau membeli sebuah rumah sendiri. Mau tidak mau ia harus kembali memulai mengumpulkan tabungannya lagi dari awal.