Wajah Anton berubah panik, entah kenapa ia segan menghentikan langkah tegas gadis berani itu. "Mbak, saya mohon mengertilah, nanti bos saya akan marah besar jika mbak nekad menemuinya," ucap Anton mencoba menjelaskan sambil mengikuti langkah Darla dari samping.
"Terserah, memangnya aku peduli kalau dia marah? Seharusnya saya yang marah, kenapa dia melarang perempuan bekerja di sini, laki-laki dan perempuan itu sama saja dalam menerima haknya, kami juga butuh bekerja," bantah Darla.
Bola mata Darla melirik pria yang belum ia ketahui siapa namanya, langkahnya terhenti. "Di mana Bos-mu itu? Katakan padaku? Aku tidak akan menyerah sampai menemuinya," ancam Darla.
Anton melirik name tag di dada kiri seragam gadis itu, "Mbak Darla, ku mohon, hentikan niatmu untuk bertemu dengan Pak Fabio, karena itu tidak akan mungkin terjadi, lebih baik kamu ikuti saya ke resepsionis untuk check out dari sini." Anton memberi saran.
Fabio? Darla seperti diserang memori masa lalu mendengar nama itu, tapi buru-buru ia abaikan. "Tidak mau, saya bilang saya tidak akan berhenti sebelum bertemu bos kamu."
"Hei, kamu! Aku butuh bantuanmu sekarang, kau bilang padaku untuk jangan segan meminta bantuanmu kan? Sekarang aku bertanya, di mana seorang bos yang katanya sedang berlibur menggunakan kapal ini? Aku mau bertemu dengannya sekarang!" Darla tak sengaja berpapasan dengan pria yang ia temui tadi. Pria yang mengantarnya sampai ke kamar.
Darla tahu, cara ia berbicara sekarang terkesan tidak sopan. Pria itu telah mengganti seragamnya, dan Darla berhasil mengetahui nama pria itu adalah Toni yang bekerja sebagai public area supervisor, itu artinya jabatan pria itu di atas Darla.
Ia sedikit menyesal, tapi sudah terlanjur. Darla tak ingin kehilangan harga dirinya dan tetap bersikap tegas, ia merasa tindakannya tidak salah sama sekali, sebab ingin menuntut keadilan dirinya sendiri karena merasa diperlakukan tidak adil oleh pria yang beridiri di sampingnya.
"Tadi saya melihatnya di dek 12..." Toni terlambat menyadari sinyal yang diberikan oleh isyarat Anton bahwa untuk tidak memberitahunya.
Darla melengkungkan bibirnya sambil menatap ekspresi cemas Anton, "Terima kasih Toni." Senyum Darla manis saat tertuju pada Toni.
Anton memijit dahinya melihat langkah tegas dari kaki jenjang gadis itu menuju lift yang pastinya ke lantai dua belas. Ia khawatir karena sudah dapat menebak apa yang akan Fabio lakukan padanya jika gadis itu menemuinya. Ia tak berani lama-lama membayangkannya, segera ia menyusul gadis itu.
Darla sudah berhasil sampai di dek dua belas, ruangan pertama yang terlihat di matanya adalah restoran. Matanya menjelajah dengan tajam untuk menemukan pria yang penampilannya susuai seperti seorang CEO yang kaya.
Dalam otaknya, terbayang penampilan pria tersebut antara lain berpakaian formal hampir mirip dengan pakaian Anton, lalu rambut kepala yang sebagian mulai memutih dan klimis, dan berumur sekitar di atas lima puluh tahunan.
Namun di restoran tersebut, Darla tidak melihat satupun pria yang sesuai dengan kategori yang ia ciptakan sendiri berdasarkan pengalamannya selama ini bahwa seorang bos yang kaya dan merupakan CEO berlibur di kapal pesiar, itu pasti usianya tidak begitu muda lagi, tapi masih bisa menikmati suasana seperti liburan ini.
Di rstoran itu Darla hanya melihat beberapa pria seumurannya yang mengenakan celemek dan berada di meja saji. Jelas Darla yakin orang-orang itu pasti pegawai reotoran tersebut.
Lalu ia pun pindah, dari restoran ke area gym, tidak ada siapa-siapa di sana. Ia pun pindah lagi. Pergerakan yakin dan percaya diri dari Darla membuat Anton menelan saliva pahitnya berkali-kali. Kecemasannya semakin menjadi-jadi.
'Aku tidak boleh membiarkan wanita itu bertemu Bos',batin Anton sambil mencari ide. Anton tak bisa memikirkan ide yang lebih halus dan cemerlang, ia menarik lengan Darla dan menahan langkah gadis itu.
Sorot mata Darla menajam, "Lepaskan tanganku, perbuatanmu ini sudah di luar batas!" Darla memperingati Anton dengan tegas.
"Maaf, tapi aku tidak bisa, kau tidak boleh menemui Bos-ku." Anton menyahut dengan ragu.
"Baiklah, aku akan berteriak dan kau tahu akibatnya kan? Aku akan bilang pada semua orang bahwa kau telah menggangguku, kita bahkan tidak saling mengenal," ancam Darla dengan matanya yang membulat.
"TO-" tak sampai lengkap kata yang Darla teriaki, Anton sudah melepaskan genggaman di tangannya.
Anton tak bisa berkutik, seperti ada kutub negatif magnet yang kuat pada gadis itu untuk menghalanginya, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Darla melanjutkan langkahnya hingga ia terhenti di area kolam renang, sekitar jarak lima puluh meter, ia melihat seorang pria menghadap kolam renang dengan posisi membelakanginya.
Penampilan pria itu sudah sesuai dengan kriteria yang dibayangkan Darla untuk seorang bos, yaitu mengenakan setelan formal, walau ia belum dapat melihat wajahnya. Tapi Darla sudah yakin jika itu pasti seorang CEO tersebut.
Keyakinanya diperkuat oleh ekspresi Anton yang semakin terlihat cemas dan tak karuan, Darla senang dan senyumnya mengembang. Ia pun melangkah ke depan.
""Halo, Tuan Fabio! Saya ingin berbicara dengan Anda." Darla masih bersikap tenang dan sopan.
Fokus retina Fabio menajam saat namanya disebut oleh lidah dari makhluk yang ia benci—perempuan. Suara khas Darla sangat bisa Fabio kenali bahwa ia seorang perempuan. Fabio belum menoleh ke belakang.
Namun jantungnya sudah mulai berpacu tidak karuan, ia mencoba menormalkan napasnya.
"Mbak, tolong biarkan bos saya sendirian hari ini, dia sedang tidak enak badan," sela Anton dengan suara gemetaran.
Darla melirik tajam Anton dan dengan santainya ia melangkah lebih dekat pada Fabio. "Permisi Tuan Fabio, perkenalkan saya Darla, stateroom steward di kapal ini. Tapi beberapa menit yang lalu, saya mendapat komplain dari anak buah Tuan yang katanya Tuan tidak menerima pegawai seorang wanita, jadi saya mohon kejelasan mengenai hal itu, Tuan" Darla masih berbicara dengan punggung Fabio.
Denyut per menit jantung Fabio sudah seperti seorang atlit balap motor yang memacu kendaraannya dalam kecepatan 300 km/jam. Bisa diperkirakan sekitar 200 bpm. Itu ukuran detak jantung yang sudah tidak normal. Ia memejamkan matanya dan masih berusaha menahan serangan tiba-tiba di tubuhnya.
Gejala itu sudah lama tidak ia rasakan, artinya ia sudah lama tidak bertemu dengan perempuan. Dan hari ini gejala itu muncul dalam waktu yang tak terduga dan dengan takaran jauh lebih besar, membuatnya sulit untuk bernapas.
Darla mendengus kesal, karena orang yang ia ajak bicara masih belum menjawab, 'apa pria ini tuli?' Batinnya.
"Halo, Tuan Fabio?!" sapa Darla sekali lagi dan kali ini menunjukkan wajahnya di hadapan Fabio.
Ia dan Fabio sama-sama kaget, Darla kaget karena dugaan dari usia Fabio yang ia kira sudah lebih dari setengah abad, ternyata CEO tersebut masih sangat muda dan terlihat tampan.
Fabio refleks berpaling dan memejamkan matanya rapat-rapat, sudah tak tertakar lagi berapa mililiter keringat yang mengalir di tubuhnya. Kekagetan Fabio berbeda, kegetnya seperti telah melihat kuntilanak, lantas ia tak dapat mengontrol diri lagi untuk berpura-pura tidak apa-apa.
Perlahan padangannya mulai terlihat samar, bukan hanya hantu berwajah cantik itu yang semakin tak terlihat jelas di matanya, tapi seluruh area kolam renang. Dan akhirnya pandangan itu benar-benar berubah mejadi kegelapan.
"Pak? Pak?" Darla dan Anton secara bersamaan memanggil Fabio yang tergeletak di lantai.
Darla menutup mulutnya karena syok, Anton berlari dengan cepat ke sisi Fabio. "Sudah ku bilang, dia sedang tidak enak badan, kau masih saja tidak percaya dan lihat sekarang, dia pingsan gara-gara kamu!" tuduh Anton yang super panik.
Darla membiarkan tangannya menjauh dari mulutnya yang ternganga, alasan ia ternganga kini berbeda, bukan lagi kaget karena Fabio pingsan melainkan tuduhan yang Anton layangkan.
Darla tidak tahu apa-apa hubungan pingsannya Fabio dengan dirinya, padahal jelas-jelas ia hanya mencoba berinteraksi dengan seorang bos itu.
"Apa-apaan? Kau menyalahkanku? Mana ku tahu kalau dia akan pingsan! Heh yang benar saja! Keadilan untuk perempuan sepertinya di kapal ini benar-benar telah hilang." Darla tertawa kecut.
"Sebelumnya kan aku sudah memperingatkanmu, jadi jelas ini salahmu!" Anton tak ingin mengalah, lalu ia kembali fokus pada seorang bosnya yang sepertinya mulai sadar kembali.
"Pak? Pak Fabio? Kau bisa lihat aku?" tanya Anton masih dalam posisi jongkok, padahal ia sudah ingin mengangkat tubuh Fabio dan mungkin akan memanggil batuan pada yang lain untuk membawa Fabio ke kamarnya.
"A-anton..." Fabio berucap pelan. Pandangannya mulai terlihat jelas.
Mendengar Fabio berucap, Darla langsung berjongkok dan menampakkan wajahnya di hadapan Fabio, "Pak? Bapak sudah sadar?" tanyanya dengan ekspresi tak sabar.
Tepat setelah melihat wajah Darla untuk yang kedua kali, Fabio jatuh pingsan lagi.