Making bed—merupakan salah satu keahlian utama yang harus dilakukan seorang Darla sebagai room steward. Sudah ada dua puluh kamar yang ia kerjakan pagi ini. Setiap seorang room steward diberikan jatah 25 kamar dalam sehari untuk merapikan dan menatanya dengan rapi.
Hari kedua Darla bekerja di kapal berbanding terbalik dari hari pertamanya yang penuh dengan kekacauan. Hari ini ia bisa lebih menikmati pekerjaannya. Terlebih tidak ada tamu yang akan mengisi kabin-kabin itu. Sehingga dalam membuat kabin menjadi rapi dan siap ditempati tidak harus membuatnya melakukan pekerjaan itu dengan terburu-buru. Sebab tak ada tamu yang perlu ia layani.
Bekerja bagai di surga, itu yang Darla rasakan sekarang. Sementara ratusan dolar sedang menanti kantongnya, siap untuk ia rupiahkan dan gunakan sesuai kebutuhan dan keinginan.
"Lelah yang menyenangkan," gumam Darla sambil meregangkan tubuhnya di atas kasur kabin tamu yang baru saja selesai ia rapikan.
Ia menatap langit-langit kabin, membayangkan kehidupannya akan seperti apa sebulan ke depan. Namun tiba-tiba ia mulai berpikir, "jika setiap hari aku hanya bolak-balik merapikan kasur tak bertuan, lama-lama aku bisa bosan."
Pikiran itu mengundang saraf otaknya untuk memikirkan hal lain, "Fabio..." Nama itu membuat ia memikirkan seluruh persyaratan yang Anton berikan. Rasa penasarannya mendadak menjadi lebih dalam mengenai apa alasan ia tak boleh menemui Fabio.
"Aha, mending aku jalan-jalan di luar dari pada memikirkan hal yang tidak penting, menikmati liburan berkedok pekerjaan," cetusnya kemudian sembari mengangkat tubuhnya dari kasur.
Kapal pesiar milik Fabio memang memiliki fasilitas super lengkap sampai-sampai hal yang paling dicari setiap orang yang berada di sebuah kapal, tersedia. Wi-fi, yang mana tidak semua kapal tersedia alat yang dapat memberikan jaringan tersebut. Sudah hal lazin bahwa internet merupakan satu hal yang tak bisa dihindari oleh hampir seluruh kalangan generasi z saat ini, tak terkecuali Darla.
Ia bisa dengan puas berkomunikasi pada teman-temannya, akan tetapi tidak dengan orang tuanya. Yang ia katakan kepada Anton mengenai orang tuanya memang sepenuhnya kebohongan. Hubungan yang terjalin antara ia dan orang tuanya pantas dikatakan buruk.
Ia benci dengan kedua orang tuanya yang tak pernah lagi sudi menanyai kabarnya sejak ia lulus dari bangku sekolah menengah atas. Alasan itu tidak sepenuhnya dapat Darla ketahui, tapi yang pasti itu terjadi setelah kedua orang tua mereka memutuskan untuk bercerai. Sehingga ia yang merupakan anak tunggal memilih menjauh dari kedua orang tuanya dari pada harus memilih tinggal bersama salah satu dari mereka.
Selama kuliah, ia membiayai semuanya sendiri dan berhasil membuktikan bahwa ia bisa menjadi anak yang mandiri walau mungkin itu tidak pernah dihargai oleh kedua orang tuanya. Jangankan mengapresiasi, untuk mengetahui kabar dirinya saja tidak pernah sama sekali.
Hari ini Darla lebih tertarik untuk memadukan seragam room stewarnya dengan celana. Celan itu masih berwarna sama tentunya dengan rok mini sebelumnya. Dengan celana panjang itu ia merasa lebih ringkas dan leluasa dalam melangkah di atas heels menyusuri lorong kabin.
Darla sudah sampa di area dek 12. Tempat pertama yang ia kunjungi yaitu restoran. Darla tak henti menebar senyumnya saat memasuki area tersebut, walau jarang sekali ada manusia yang ia temui di sana kecuali bartender dan pramusaji.
Darla tidak bertahan lama di restoran itu, mungkin jika ia lapar maka ia akan mampir untuk makan, tapi tidak. Ia berlanjut masih di dek 12 yang akan mempertemukan ia dengan tempat selanjutnya yaitu gym. Tempat yang beberapa menit lalu disinggahi Fabio.
Darla berjalan santai menuju ke sana. Untuk sampai ke tempat gym, Darla harus menyusuri lorong yang berbentuk hurup U. Saat ini ia berada di pangkal lorong berbentuk U tersebut dengan langkah yang santai namun terlihat anggun dan berwibawa.
Sementara ada Fabio yang sedang melewati ujung dari lorong berbentuk U tersebut. Keduanya tengah berada pada arah yang berlawanan dan saling bergerak maju ke depan.
Dari arah Darla, maka ia akan menuju tempat gym, sedangkan Fabio ingin menuju lift yang berada di tengah-tengah antara ujung dan pangkal lorong tersebut. Ia hendak turun ke dek 11 menuju kamarnya.
Tidak ada yang saling sadar bahwa jarak antara mereka sudah saling dekat. Di lorong tersebut suasana masih sepi seperti biasa dan anehnya langkah yang dihasilkan dari sepatu masing-masing tidak menimbukan suara yang keras, sehingga mereka merasa hanya sedang berjalan sendirian di lorong tersebut.
Begitu Darla berjalan melewati lift, dalam waktu sepersekian detik pintu lift tertutup yang artinya Fabio lebih dulu masuk ke lift sehingga keduanya tak saling bertemu. Namun pada celah pintu lift ketika tertutup, Fabio sempat menyaksikan sosok Darla dari dalam.
Itu terjadi sekilas dalam waktu yang singkat pastinya, akan tetapi penampakan itu membuat Fabio berpikir keras atas apa yang ia lihat. Walau ia belum bisa memastikan bahwa sosok yang ia lihat dalam celah yang hanya selebar satu sentimeter itu adalah Darla, tetapi ia yakin jika sosok yang dilihatnya adalah seorang wanita.
Lift bergerak turun kebawah dengan Fabio yang membawa pertanyaan besar di kepala, siapa sosok sebenarnya yang tadi ia lihat?
"Ah tidak mungkin, Anton sudah mengatakan bahwa gadis itu telah dikirim pergi, mana mungkin masih ada wanita lain yang berada di kapal ini," batin Fabio ketika membuka pintu kabinnya.
"Atau jangan-jangan sosok yang barusan aku lihat adalah hantu?" Pikiran negatif menyerang Fabio yang merupakan pria yang kebetulan penakut terhadap makhluk gaib. Tiba-tiba saja ia merinding lalu menggeleng cepat untuk mengusir pikiran negatifnya itu.
"ARGH!" Fabio refleks berteriak kaget, tubuhnya tersentak dan hampir saja mengeluarkan jurus tendangan kilat.
"Siapa yang meletakkan manekin ini di kamarku?" teriaknya kesal. Patung berbentuk manusia yang tampilannya persis menyerupai wanita cantik itu berdiri kaku di tengah-tengah kabinya dengan ekspresi tersenyum pula.
Jantung Fabio seperti ingin meninggalkan raganya untuk sesaat setelah melihat patung wanita tersebut.
"Permisi, Pak, boleh saya masuk?" Suara Anton terdengar dari luar diiringin dengan suara ketukan pintu.
Fabio langsung membuka pintu itu dengan kesal, "Apa kau yang meletakkan patung ini di kamarku?" tuduh Fabio langsung. Ia marah.
Sebaliknya, Anton malah tersenyum ramah. "Benar, Pak. Manekin itu saya yang meletakkannya di kamar bapak." Raut Wajah Anton terlihat senang walau saat ini ia mengerti bahwa bos-nya sedang dalam keadaan marah besar.
"Untuk apa kau lancang sekali meletakkan patung ini huh?" bentak Fabio. "Kau ingin membunuhku? Sudah tahu bahwa aku benci dengan mahkluk itu," Fabio memperhatikan bentuk patung wanita yang berambut coklat panjang itu.
Senyum patung itu sangat menyebalkan bagi Fabio. "Singkirkan patung itu segera dari kamarku sebelum aku melakukan sesautu yang tidak kau inginkan!" titahnya.
Anton sudah sering mendengar ancaman dari mulut sang bos untuknya, tapi semua ancaman yang ia berikan tak pernah sampai terjadi kenyataan. Walaupun Anton menyadari itu, tapi ia tetap tak pernah berani untuk melawan seorang Fabio.
"Bukan itu maksudku membawa patung ini, tapi dengan patung ini aku ingin membantu bapak mengurangi rasa takut terhadap perempuan. Lihat! bapak bahkan tidak takut menatap wajah patung itu, padahal rupanya persis seperti perempuan kan? Memangnya bapak ingin rasa benci terhadap wanita selamanya bersarang dalam diri bapak? Tidak kan? Walau bagaimana pun bapak pasti akan membutuhkan seorang perempuan untuk hidup di dunia ini. Apalagi bapak orang indonesia, bapak pasti paham jika ingin memiliki pasangan sejenis, negara ini bukan tempatnya."
Kalimat terakhir sangat tidak enak terdengar di telinga Fabio, "Apa maksud kalimat terakhirmu? Kau menuduhku seperti itu?"
"Tidak Pak, maaf jika aku lancang, tapi tujuanku hanya ingin membuat trauma bapak perlahan hilang. Walaupun aku bukan mantan mahasiswa psikolog, tapi setidaknya aku ingin berusaha membantu demi kebaikan bapak. Aku yakin jauh di lubuk hati bapak yang paling dalam, bapak pasti memiliki keinginan untuk memiliki pasangan hidup seorang wanita. Jadi izinkan saya membantu bapak dengan cara ini Pak, mumpung di kapal ini aku lebih banyak menagnggur daripada bekerja." Anton menyampaikan alasannya dengan nada yang sopan seperti biasa.
Fabio bungkam, bukan berarti ia tak memiliki kalimat untuk ia ucapkan, akan tetapi ia sedang mengamati dan menilai ketulusan dari seorang Anton.