"Sekarang bapak berdiri tegap menghadap Liza," kata Anton.
"Kau tidak lihat dari tadi aku sudah berdiri tegap di sini?" protes Fabio.
"Maaf," Anton mengakui kesalahannya, "sekarang bapak tatap matanya, lalu perkenalkan diri bapak."
Fabio akhirnya mengeluarkan tangan maskulinnya yang tersembunyi dibalik saku celana. Kedua tangan itu saling menggenggam di depan dadanya yang bidang dan terekspose sempurna akibat sweater rajut ketat itu.
"Ekhm..." Fabio mengetes suaranya. Masih seperti biasa, suara bass-nya terdengar berat.
"H-hai, perkenalkan namaku Fabio Febriano, 22 tahun, saya seorang pengusaha sukses dari desa dan hidup bergelimang harta." Fabio melirik Anton berharap ada pembelaan.
Namun Anton terlihat menggeleng, "jangan menyombongkan dirimu di awal perkenalan, wanita baik-baik tidak ada yang suka pria seperti itu. Dan itu juga terlihat sangat kaku dan formal"
"Lalu aku harus bagaimana?" Fabio melipat tangannya di dada, lalu tangan kanannya menyentuh rahang tegasnya.
"Perhatikan aku," kata Anton yang langusng memutar tubuh Jessica menghadapnya.
Fabio memperhatika dengan serius apa yang akan Anton lakukan terhadap Jessica.
"Sejuk rasanya bukan? Saat angin laut membelai wajah lalu matahari tak mau kalah memanjakanmu dengan cahaya lembutnya?" Setelah selesai pertanyaan itu barulah Anton menatap Jessica. "Hai! Aku Anton Arbolino, boleh kutahu siapa namamu, Nona?"
Anton kembali menghadapkan Jessica pada Fabio, "kira-kira seperti itu caranya, jadi keluarkan pesonamu melalui sebuah perkataan yang dapat membat dia tertarik, sehingga dia akan menyebutkan namanya dengan lembut di hadapan kita," jelas Anton.
"Oke, aku akan coba," sahut Fabio sudah siap untuk percobaan keduanya.
"Yup!" Anton mengangguk dengan bangga.
Fabio menarik napas dan menghembuskannya panjang. "Kau tahu harum apa yang semerbaknya mengalahkan bunga-bunga di taman, mengalahkan wangi ratusan parfume mahal yang disandingkan? Ketika orang-orang melihatnya saja akan memabukkan?" Fabio melirik Anton dengan isyarat alisnya dan langsung dimengerti oleh Anton.
"Harum apa memangnya?" Anton menggantian suara Jessica untuk menyahut Fabio.
"Wangi lembaran-lembaran uang dan kartu-kartu kredit yang berbaris rapi di dalam dompetku," jawab Fabio dengan bangga dilengkapi dengan senyuman memikat.
Anton kalah telak, kesombongan dalam diri bos-nya masih sulit untuk ia singkirkan. "Pak, itu masih terkesan sombong, bahkan lebih sombong dari cara pertamamu tadi." Anton protes.
"Bukankah semua wanita menyukai uang, jadi cukup tunjukkan uangmu, mereka akan suka dan menerima kita." Fabio membela dirinya.
"Tapi Pak, jika uang yang kita tunjukkan pada mereka, maka sulit untuk kita mengetahui wanita mana yang tulus, wanita yang baik, akan menerima kita apa adanya dan tidak memandang harta. Asalkan kita menunjukkan tekad berjuang di hadapannya."
"Apa adanya diriku adalah dengan uang yang berlimpah, Anton."
Anton menghela napas kekalahan, "terserah bapak kalau begtu," gumamnya hampir tak terdengar.
"Apa kau bilang?" tanya Fabio.
Anton sedikit tersentak, "Eh, maksudku bagaimana perasaan bapak terhadap Liza?"
"Umm... tidak tahu?" Polos sekali Fabio.
"Apa bapak tidak merasakan gugup ketika berbicara dengannya tadi? Sebab itu yang harus kita pastikan sekarang, bahwa bapak tidak merasakan kecemasan ataupun gugup saat berbicara pada Liza." Anton menunggu tanggapan Fabio.
"Sepertinya tidak, aku merasa biasa saja," katanya tapi wajahnya menunjukkan keraguan.
"Berarti ini langkah yang bagus," potong Anton. "Sebuah kemajuan yang pesat," ucap Anton menyeringai.
Wajah Fabio berbanding terbalik dari Anton, sepertinya ia masih belum begitu yakin, sebab Jessica hanyalah wanita yang tak hidup.
"Oke, aku bawa pulang Liza dulu, Pak. Besok kita latihan lagi dengan materi yang berbeda," ucap Anton sambil melingkarkan tangannya di pinggang ramping Jessica.
"Tidak bisakah kau biarkan Jessica tinggal di kamarku?" Tatapan mata Fabio membinungkan Anton selain pertanyaannya.
"Tidak bisa, program ini harus bertahap, Pak. Lagi pula Liza harus dirubah penampilannya besok. Bapak harus bersabar, perlahan tapi pasti." Anton terlihat serius padahal Fabio sebelumnya hanya bercanda.
Tapi memang pada dasarnya wajah Fabio sulit dibedakan, kapan ia bercanda dan kapania serius, sebab ekspresinya selalu terlihat sama, yaitu datar. Paling jika berubah pada saat ia marah. Bukan salah Anton jika ia tidak sadar bos-nya sedang bercanda.
***
Anton melihat Darla memasuki salah satu kabin di dek 9. Di tangan Darla terlihat membawa beberapa tumpukan kain berwarna putih. Anton menatapnya tajam dari kejauhan. Gadis itu tidak menyadari dirinya.
Anton menunggu di luar—di samping pintu menunggu Darla keluar. Tak berapa lama Darla berada di dalam, ia pun muncu di balik pintu. Seperti yang diduga, ia kaget dan tubuhnya tersentak ketika melihat Anton.
Darla mengelus dadanya yang terguncang, "Kau membuatku kaget, Anton." Darla terlihat kesal sesaat.
"Maaf," sahut Anton singkat.
"Ada apa? Apa ada yang inginkau katakan padaku?" tebak Darla.
"Yeah, sebaiknya aku tidak perlu basa-basi, aku peringatkan padamu untuk lebih berhati-hati. Jangan sampai kejadian seperti kemarin terulang lagi. Kau mengerti?" tanya Anton serius.
"Oke, aku minta maaf, dan aku janji itu tidak akan terulang lagi, puas?" Nada bicara Darla terdengar kesal. Matanya melirik tajam.
Manik mata Anton menatap Darla dari bawah ke atas, "Bagus!" katanya singkat.
"Anton!"
Dengan gerakan super kilat Anton mendorong tubuh Darla ke dalam kabin yang untungnya pintu belum sempat Darla tutup sebelumnya. Pintu langusng Anton tutup rapat setelah berhasil menyembunyikan Darla.
"Aww!" Darla menjerit di dalam.
"Iya, Pak?" sahut Anton berpura-pura normal di hadapan bos-nya yang mendekat.
"Pantas aku tidak menemukanmu di gym, kau di sini rupanya." Fabio memperhatikan pintu kabin di belakang Anton.
"Eh, iya Pak. Aku sebenarnya sedang ingin menuju ke sana," dalih Anton.
Fabio mengangguk. Anton menangkap ekspresi bos-nya yang terlihat curiga, "Bapak ingin aku ke sana sekarang?" tanya nya.
"Bagaimana kalau kita jogging saja sore ini, aku bosan olahraga di ruangan." Fabio memberi saran yang mana sudah diketahui Anton bahwa saran itu bersifat mutlak.
"Siap, Pak, saya setuju." Anton tidak membantah.
Mereka berdua segera pergi dari sana, Anton smepat melirik ke belakang memastikan Darla belum keluar sebelum ia dan Fabio memasuki lift.
Ada kejanggalan di hati Anton saat teringat mendorong Darla dengan kasar tadi. Tapi ia tidak punya pilihan lain selain terpaksa melakukan itu. Semoga dia baik-baik saja, batinnya.
"Kurang ajar sekali, Anton. Dasar laki-laki tidak berperasaan," keluh Darla sambil bangkit berdiri. Akibat dorongan Anton ia tersungkur di lantai. Untung tidak terjadi apa-apa pada tulang di tubuhnya.
Dengan wajah cemberut dan kesal, Darla membuka pintu. Ia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Ia pergi ke ruang laundry untuk mengambil beberapa perlengkapan untuk making bed seperti sprei, sarung bantal selimut dan lain-lain.
Kemudian barang-barang itu ia bawa ke kabin yang akan ia ganti dan pasang lapisan luar bed-nya. Sambil mendumel tak jelas karena kekesalannya pada Anton masih belum hilang, langkahnya tergesa ketika menaiki lift menuju dek 10.
Darla perlu menaiki dua lantai lagi agar sampai ke kabin yang ada di dek 10. Tiba-tiba lift terhenti di lantai sembilan dan pintunya terbuka. Tak disangka, jantungnya mendadak berpacu lebih kencang.
Darla tak menduga akan melihat orang yang harus ia hindari di kapal pesiar tersebut, tengah berdiri di hadapannya. Fabio.
Perasaan kaget dan gugup tentu dirasakan jauh lebih parah oleh Fabio, tapi sepertinya ia tidak sendirian. Ada Anton di sampingnya yang juga bergabung dalam sebuah perasaan yang disebut kecemasan.
Darla, Anton dan Fabio, ketiganya menegang. Niat Fabio yang ingin memasuki lift tiba-tiba hilang. Fabio sedang melawan rasa takut dan cemasnya yang berlebihan. Namun perasaan itu dicampur tangani oleh kemarahan pada Anton yang telah membohonginya.
Pintu lift perlahan tertutup meninggalkan perasaan bercampur aduk dari ketiga pemuda. Tidak ada interaksi yang tercipta pada momen ketegangan yang terjadi sekitar satu menit tersebut.
Kemarahan dalam diri Fabio jauh lebih besar dari rasa takutnya sehingga mampu mengalahkan dua bentuk perasaan yang ia alami saat bertemu dengan wanita.
"Pak, dengarkan saya dulu, saya tidak memiliki pilihan lain selain membiarkan wanita itu bekerja di sini," Anton dengan sigap menjelaskan keadaan.
Fabio tidak menjawab, tapi langsung melangkah pergi. Anton segera menyusulnya. Namun sayang, Fabio lebih dulu menutup pintu lift lainnya yang ia masuki. Anton hanya bisa menatap pintu lift tersebut dengan frustrasi.