Chapter 17 - On Fire

"Kenapa aku mengajaknya? Kenapa, Fabio?" Fabio mengomeli dirinya sendiri di dalam lift. Ia menyesal telah mengajak orang yang akan membuatnya seluruh anggota tubuhnya bervibrasi.

Sekarang saja lututnya sudah terasa lemas, padahal baru beberapa menit lalu bertemu dan itu pun tak lama. Fabio mengepalkan tangannya dan menyentuhkannya pada bibir seperti gerakan memukul.

Pandangan dan wajahnya tertunduk ke bawah. Ujung sepatu kanannya bergerak naik-turun. Tangan kiri dan siku kanannya di dada. Ia sedang memikirkan sikapnya barusan. Ia tak habis pikir bisa keceplosan mengajak Darla untuk perkumpulannya bersama karyawan di dek atas atau di daerah kolam renang dan lintasan jogging.

Fabio tak sadar memasang wajah cemberut dengan mata yang berapi-api. Kesal atas perbuatannya sendiri. Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Orang yang kebetulan berada di depannya kaget melihat ekspresinya.

"Bapak baik-baik saja?" pertanyaan itu lantas terdengar di telinga Fabio yang masih belum mengubah ekspresinya.

"Memangnya aku kenapa? Apa aku terlihat buruk? Hei! Aku baik-baik saja," kata Fabio tapi dengan nada suara tinggi dan terlihat jelas sedang kesal. "Kau mau ke mana Anton?" lanjutnya tanpa membiarkan lawan bicaranya menyahut.

"A-"

"Ayo ikut ke kolam renang, yang lain pasti sudah menunggu di sana," potong Fabio ketika Anton akan menjawab.

"Ba-baik, Pak." Anton seperti terpaksa mengiyakan titah bos-nya.

Giliran aku ingin istirahat, dia muncul, batin Anton memelas. Sebab ia baru saja habis berolah raga di tempat gym. Apa Fabio tak sadar jika Anton masih mengenakan kaos hitam tanpa lengan dan celana boxer longgar serta tubuh yang masih berkeringat?

Namun ketika sampai di dek 12. Cara pandang Anton terhadap dirinya sendiri langsung berubah seketika dari beberapa detik sebelumnya. Dia sendiri yang mengenakan pakaian casual. Seluruh karyawan malah mengenakan jaz formal termasuk Fabio.

"Pak, kitaa tidak akan rapat sore-sore begini kan?" tanya Anton dengan wajah panik. Jika akan diadakan rapat, kenapa hanya dirinya yang tidak diberi tahu? Jika kenyataannya begitu, Anton merasa dikhianati oleh bos sendiri.

"Siapa yang bilang begitu?" Fabio balik bertanya dengan ekspresi sumringah.

"Lalu kenapa dengan semua karyawan dan pakaian masing-masing itu?" kepanikan Anton berkurang tapi detak jantungnya meningkat.

"Kita akan menikmati pesta kecil di sini. Tempat ini paling pas untuk menikmati hidangan sambil menikmati sunset dan gelombang air laut." Namun jawaban Fabio masih membuat Anton bingung.

Anton pikir, Fabio mengajaknya ke lantai dua belas adalah untuk berolahraga, ternyata bukan itu. Anton terdiam menyaksikan karyawan yang usianya berkepala di atas empat saling mengobrol dan menikmati suasana di kursi sofa mengelilingi meja bundar.

Memang belum terlihat ada makanan di atas meja tersebut, tetapi beberapa minuman sudah terhidang untuk masing-masing.

"Pak, kalau begitu saya ganti pakaian dulu untuk menyesuaikan," pamit Anton yang jelas akan merasa tak nyaman menjadi satu-satunya karyawan yang mengenakan pakaian sangat casual dan belum mandi.

"Ya, silakan!" jawab Fabio santai dan membuat Anton terbelalak. Hampir sudah Antn menuntuk bos-nya kenapa tidak memberitahunya dari awal ketika bertemu di lift dan malah langsung menyuruhnya ke atas kembali.

Anton membatin dengan berbagai jenis umpatan. Walau begitu wajahnya terpasang sebuah senyuman. Senyuman keterpaksaan dan kepalsuan akibat kekesalan. Namun tidak bertahan lama, Anton sudah hafal bagaimana perangai Fabio yang kadang-kadang menyebalkan.

Ketika hendak berbalik arah, tak sengaja Anton mendapati Darla datang dengan kostum yang ... membuat matanya sebagai pria terpesona. Namun Anton menjadi salah tingkah bukan karena pesona Darla yang mematikan dengan kostum pelayan yang lebih mirip lingeri tetapi jauh lebih sopan. Atau yang biasa dikenal dress Lolita. Berwarna hitam dan putih. Kemudian rambut keriting Darla yang digerai.

Anton salah tingkah karena ia malu dengan pakaiannya yang tak sempat ia ganti tetapi malah bertemu seorang wanita terlebih dahulu. Ingin sekali ia menyalahkan Fabio. Lagi-lagi ia mengumpat dalam hati lalu menoleh untuk memastikan wajah bos-nya.

Entah kali ke berapa Anton dibuat kaget, kali ini ekspresi dan sikap Fabio membuatnya kembali tercengang. Fabio tampak mematung sambil menatap Darla. Mungkin Fabio juga mengalami hal yang sama dengan yang dirasakan Anton, yakni terpesona dengan kecantikan Darla. Hingga melupakan penyakit phiobia yang dimilikinya.

Pupil mata Fabio bergerak perlahan mengikuti ke mana arah Darla melangkah yang membawa piring saji di tangannya. Darla meletakkan piring saji itu ke atas meja yang dikelilingi karyawan paruh baya itu.

"Ini pertama kalinya aku melihat ada wanita cantik di sini," goda salah satu karyawan Fabio berwajah bulat dengan mata monolid.

"Tentu dia cantik, karena hanya dia satu-satunya perempuan di kapal ini," sahut rekannya yang diakhiri tawa menggema.

Darla terlihat tak senang dengan sambutan tak sopan dari para bawahan Fabio. Namun ia masih memilih diam dan tak mengubris pendapat mereka itu.

"Tapi dia benar-benar cantik, hanya sayangnya rambutnya jelek. Lain kali jika ingin terlihat rapi, uruslah rambutmu ya, Nona Darla?" Karyawan yang mengomentari Darla pertama tadi membuka pendapatnya lagi dan ditambah memberi sedikit saran tanpa menggali latar belakang dan alasan dari Darla.

"Bapak kalau iri, bilang saja. Bapak sudah frustasi ya tidak pernah kesampaian untuk memiliki rambut di kepala botak bapak?" balas Darla dengan lancang dan sukses membuat pria itu terdiam.

Lalu, Fabio dan Anton yang sedang menahan tawa, kewalahan karena menyaksikan kejadian tersebut. Anton buru-buru pergi sebelum tawanya benar-benar pecah menertawakan pria tua tadi yang memang tidak memiliki rambut di kepalanya.

Fabio sempat memberikan Anton tatapan meminta pembelaan. Untuk membela dirinya yang ketika menahan tawa dengan tubuh yang bergetar. Apalagi pundaknya begitu jelas terlihat bergerak dan ditangkap beberapa pasang mata oleh anak buahnya. Fabio kesulitan menahan image berwibawanya.

"Ekhmmm!" Fabio mencoba menormalisir perasaan humor dalam dirinya. Lalu Darla lewat di depannya dengan gestur dan langkah tegas, tetapi ia berhenti tepat menghadap Fabio.

"Bapak juga menertawakan saya? Saya tahu rambut saya memang begini adanya. Dan saya bersyukur pada Tuhan dengan cara tidak mengubah bentuknya. Jika bapak menertawakan saya karena rambut ini, maka sama saja bapak menertawakan ciptaan Tuhan, Tuhan yang menciptakan Bapak dengan sebuah ketakutan aneh," tukas Darla tak berperasaan.

Lantas setelah mendengar pernyataan Darla yang menurutnya lancang, ekspresi di wajah Fabio berubah 180 derajat. Menjadi tegang dengan aura yang serius. Fabio menarik napas dan menghembuskannya kasar dan berat. Ia masih mencoba meminimalisir kegugupannya saat berhadapan dengan Darla.

Wajah marahnya memerah padam. Urat di dahinya muncul serta rahang tajamnya mengeras menimbulkan kedutan di pipinya.

"Jadi kau pikir saya menertawakanmu?" tanya Fabio dengan nada datar dan aura dingin yang perlahan memanas.