Tatapan Fabio pada Anton penuh dengan spekulatif, "Kenapa? Kenapa kau tak membiarkan benda mati itu untuk tetap di kabinku?" tanyanya penuh misteri.
Bola mata Anton bergerak gelisah kala Fabio mulai mendekat, pegangannya di pinggang Darla semakin ia eratkan. Wajahnya perlahan mendongak dan terhenti sampai Fabio berdiri tepat dihadapannya.
"Karena benda mati ini milikku, jadi aku memiliki hak untuk tidak memberikannya padamu," jawab Anton menatap tajam Fabio.
_Apa kedua laki-laki ini sudah gila? Memperebutkan patung?_
"Kalau begitu, aku akan membelinya darimu," tawar Fabio.
_Kalau aku jadi Anton, aku tidak akan menyia-nyiakan tawaran ini, tawarkan saja dengan harga yang tinggi, dan kau bisa beli sepuluh manekin lagi dan jadikan mereka Liza atau siapalah itu._
_Oh, tidak! Bagaimana kalau Anton melakukan hal yang aku pikirkan? Sementara aku yang ada dibalik tubuh Liza? Dan jika sampai Fabio tahu bahwa Liza adalah aku, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku nantinya, mungkin Fabio akan menyuruh orang lain melemparku ke laut,_ batin Darla cemas.
"Tidak, aku tidak akan menjualnya berapapun harga yang kau tawarkan," jawab Anton.
Anton segera mengangkat Darla menuju pintu, tapi Fabio menghalanginya dan menutup pintu kamarnya dengan rapat. Anton tertegun, ia dan Darla terjebak dalam situasi yang mereka ciptakan.
"Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu, Fabio? Biarkan aku pergi dari sini, kapal itu akan tiba lima menit lagi, dan aku bisa terlambat jika kau menghalangiku." Anton protes.
Fabio berdiri di hadapan Liza dan Anton kembali, "Kau yang sudah tidak waras, kau lupa di mana kau mendapatkan patung itu? Jika yang kau miliki masih kau dapatkan di kapal ini, maka itu semua masih milikku, sekarang kembalikan Jessica. Dan kau pergi sekarang!" Fabio terkenal dengan pribadi yang tak mau mengalah sejak ia memiliki segalanya.
_Oh Tuhan, kedua pria ini benar-benar sudah gila, apa yang harus aku lakukan sekarang?_
Tiba-tiba, Fabio melancarkan aksi tak terduganya dengan merebut Liza dari tangan Anton. Namun saat ia menyentuh tubuh Liza, ia merasakan keanehan tersebut. Tentu saja, Liza terasa seperti sungguhan saat tersentuh tangannya.
Anton ternganga dan tubuhnya mematung tanpa ia kehendaki. Ekspresi Fabio penuh dengan kecurigaan. Cadar di wajah Liza mulai ia sentuh perlahan, lalu ia singkap.
_Selamatkan aku kali ini Tuhan._ Darla memejamkan matanya saat kain hitam itu tak lagi menutupi wajahnya. Fabio berdecak kaget, melihat Liza yang begitu nyata. "Kau?," katanya tertegun, tangannya bergetar setelah menariknya dari pinggang Darla.
Darla membuka matanya lebar dan melihat Fabio yang ketakutan. "Hei, tidak apa-apa, aku tidak akan menyakitimu," kata Darla pelan dan lembut. Kain hitam yang menutupi kepalanya itu Darla lepas, memperlihatkan kepada Fabio wajah dan rambutnya yang bukanlah Liza.
Namun, Darla tak tega melihat Fabio yang masih takut untuk menatapnya, akhirnya ia memeluknya. Memeluk tubuh kekar pria itu dari depan dan mencoba menenangkannya.
"Tenangkan dirimu, Tuan." Darla mengelus pundak Fabio.
Anton masih berdiri mematung menyaksikan peristiwa tak terduga di depannya. Perasaannya kaget bercampur dengan takjub saat Darla berhasil membuat Fabio tenang dalam pelukannya. Tubuh Fabio tak lagi bergetar hebat, tapi merasakan ketenangan yang tergambar jelas di wajahnya.
"Lihat? Kau baik-baik saja kan? Bahkan berada sedekat ini dengan makhluk yang kau takuti." Darla tersenyum lembut dan mulai melepaskan pelukannya, mata teduh Fabio tak henti ia tatap.
Carbon dioksida yang keluar dari saluran pernapasan Fabio membelai wajah Darla. Tapi tenang, zat tersebut tidak akan membunuh Darla, bahkan jika ia menghirupnya, sebab kadarnya masih kalah jauh dari oksigen yang ia hirup melalui hidungnya.
"Tuan Fabio, tolong maafkan Anton, dan biarkan di bekerja lagi denganmu, aku yang sudah memaksanya untuk membiarkanku bekerja di sini." Setalah memastikan Fabio tenang, Darla tak melupakan tujuan utamanya untuk bertemu Fabio.
Namun Anton mengalihkan pandangannya, sepertinya ia tak menyukai kondisi saat ini, ia pun memilih pergi.
"Anton?" Darla bingung kenapa Anton meninggalkannya tanpa mengatakan apa-apa.
"Anton, jangan pergi, ku mohon..."
Anton yang sudah berada di luar pintu menghentikan langkahnya tiba-tiba setelah mendengar suara seseorang yang menghentikan dirinya bukanlan Darla. Ya, benar, Fabio lah orang yang memohon dengan nada suara lirih agar ia tidak pergi.
"Anton, ku mohon kau jangan pergi. Aku masih membutuhkanmu di sini." Fabio mengulang kata permohonannya.
Darla tersenyum senang, ia bangga dengan dirinya sendiri atas apa yang terjadi saat ini. Sementara Anton masih perlu memikirkan permintaan Fabio baik-baik, ada rasa egois yang masih bersarang dalam dirinya.
Anton masih mementingkan harga dirinya di depan Fabio setelah ia dipecat terang-terangan olehnya, sehingga tak mudah untuk ia mengatakan "ya" saat pria itu memintanya untuk tidak pergi.
Namun di sisi lain, walau Fabio tak lagi merasakan panas dingin dengan tubuh yang bergetar akibat gugup saat bertemu Darla, tetapi ia seperti kehilangan seluruh tenaga. Tubuhnya melemas dan tiba-tiba ambruk ke lantai.
Untungnya ia masih dalam keadaan sadar, hanya lututnya yang terasa seperti kerupuk yang tercelup ke dalam air. Lemas tak sanggup menahan tubuhnya berdiri.
"Anton, tolong!" Darla berteriak cemas dan ikut menapakkan kedua lututnya di lantai sambil memegangi pundak Fabio.
Teriakan Darla terlalu jelas untuk ia abaikan. Sehingga ia langsung berlari menuju Fabio dan Darla yang cemas.
***
Situasi canggung seperti kabut yang beredar menyelimuti sekeliling Fabio dan Anton yang berdiri di balkon kabin dalam suasana hening. Suara mesin kapal dan deburan ombak lautan seolah membisu di telinga.
Anton dan Fabio belum saling bicara pada pertemuan mereka pagi ini setelah peristiwa tadi malam. Mungkin bagi keduanya peristiwa tadi malam sangat memalukan, mereka terkesan seperti anak kecil yang memperebutkan mainan lalu bertengkar dan tak lama kemudian baikan. Seperti itulah yang membuat situasi canggung datang menyelinap di antara mereka.
Beruntung, tak lama setelah itu ada si wanita periang dan ambisius datang mengetuk pintu dan membawakan dua gelas kopi hangat.
"Darla, Kenapa kau memamaik masker?" tanya Anton.
Darla meletakkan dua gelas kopi ke atas meja yang ada di balkon, lalu nampannya ia peluk di dada. "Ku pikir, Fabio masih takut melihat wajahku, jadi aku tutupi saja dengan masker," jawab Darla enteng dengan ciri khasnya yaitu selalu percaya diri dan tersenyum, walau senyum itu terhalang oleh masker, tapi Anton dan Fabio dapat melihatnya melalui mata Darla.
"Dia benar, akan lebih baik wajah menyebalkan itu disembunyikan," Fabio menyela.
_Sepertinya pria sombong ini lupa, jika malam tadi aku tidak menenangkannya, pasti dia akan pingsan. Kau harus bersabar Darla, ini salah satu cobaan dalam bekerja, kau harus memakluminya. Bersyukurlah karena kau tidak jadi kehilangan pekerjaanmu._
Darla kembali tersenyum dengan tanpa melepas maskernya, "Silakan dinikmati kopinya, apa ada yang Tuan-tuan butuhkan lagi? " tanya Darla sebelum beranjak keluar.
"Sudah cukup," sahut Anton.
Fabio melangkah perlahan dan menjadi lebih dekat dengan Darla, "Sepertinya aku butuh dirimu," kata Fabio yang lagi-lagi tak terduga.