Jantung Darla seperti terkena sebuah pukulan bola baseball, mengagetkan. Ia hanyut dalam suara merdu Fabio yang terasa berbisik di telinganya, tiba-tiba sekali Fabio membutuhkannya.
Anehnya Darla tidak memiliki satu katapun untuk menjawab Fabio, seolah ia baru dilahirkan kembali dan tak mengenal bahasa apapun untuk mengungkapkan perasaannya kecuali menangis.
Tidak, Darla tidak ingin menangis sekarang, tapi ia ingin berteriak untuk melepaskan perasaan bergejolak di dalam dirinya. Dan itu memang harus dilepaskan, sebab saat ini ia sadar wajahnya sedang memerah dibalik masker.
'Ah, masker, kau penyelamatku', batin Darla.
Sementara itu, Anton sedang berusaha menyembunyikan rasa penasarannya hanya dengan menyipitkan mata, tapi sambil menerka apa maksud ucapan Fabio yang terdengar sangat berani. Seperti bukan diri Fabio yang ia kenal selama ini, apalagi terhadap wanita, makhluk yang ia takuti.
"Y-ya?" Selain dua huruf itu, Darla tak tahu lagi harus mengatakan apa.
"Aku butuh dirimu untuk membersihkan lantai itu, room steward bisa merangkap cleaning service 'kan? Aku sering lihat Toni menyerjakan semuanya," kata Fabio memecah kebingungan di kepala Anton dan Darla.
Harapan Darla yang terlalu tinggi untuk Fabio yang baru menemukan nyali. "Ah, oke... membersihkan lantai juga merupakan bagian dari pekerjaan room steward, Tuan tenang saja, aku kan membereskannya." Mata Darla penuh kepura-puraan dengan mengatakkan kalimat yang menunjukkan ia tak masalah
Tanpa membuang-buang waktu, Darla permisi keluar untuk mengambil peralatan pembersih lantai dan kembali beberapa menit kemudian. Tak bisa dipastikan jika Darla tidak mengomel sendirian ketika di belakang Fabio. Pastinya ia sedikit kesal karena pria itu tidak berterima kasih sama sekali pada dirinya.
Di balik masker biru muda itu, banyak kata-kata umpatan yang mulutnya peragakan seperti orang yang sedang dubbing. Hanya bibir yang bergerak tapi tak ada suara yang keluar.
"Anton!" panggilya tiba-tiba.
"Ya, Fabio?" anton sigap menyahut, tapi ia melupakan sesuatu dan beberapa detik kemudian sadar, bahwa ia memanggil Fabio dengan tanpa sebutan "Pak". Walau demikian, ia tak mengulangi sahutannya untuk Fabio.
"Suruh semua anggota menuju ruang rapat sekarang, ada beberapa tambahan yang perlu saya diskusikan pada kalian," jawab Fabio datar.
"Baik, Pak!" kata Anton yang kali ini tak lupa bahasa formalnya.
Sebelum membuka pintu, Fabio berhenti sebentar, lalu menoleh ke belakang, "Oh ya, satu lagi, aku lebih suka kau memanggilku dengan nama saja, kau lebih tua dariku." Fabio membuka pintu dan perlahan menghilang dari pandangan Darla yang sedang menyapu.
Tidak perlu memperjelasnya bahwa aku lebih tua, lagian dua tahun itu tidak terlalu jauh jaraknya, sayangnya kalimat tersebut hanya bisa Anton simpan dalam hati.
Darla langsung melepas maskernya, dan sempat di tangkap oleh mata Anton sekejap. "Akhirnya aku bisa bebas bernapas," gumam Darla sambil fokus memegang gagang sapunya.
***
Fabio terpaksa harus mempercepat langkahnya menuju lift agar Anton tak datang bersamanya. Di dalam sana, akhirnya ia bisa membuang napas lega dan mengatur kembali detak jantungnya yang sempat tak normal.
Tangan kanannya menapak di dinding dan tangan kirinya bertengger di pinggang, kepalanya ikut menempel di dinding dan matanya terpejam. Masih mengatur pernapasannya, tak tenang dengan posisi itu, Fabio beralih menyender dengan kepala mendongak.
Matanya tak lagi terpejam. Perlahan napasnya kembali normal, lalu ia periksa jari-jemarinya apakah masih terlihat bergetar. Sedikit, lama-kelamaan akhirnya hilang.
Gejala tersebut terjadi akibat dari pertemuan singkatnya dengan Darla. Masker gadis itu tak berfungsi sama sekali untuk menangkal perasaan takutnya. Ia hanya mencoba bertahan dengan keras ketika terjadi interaksi dengan wanita itu tadi.
Siapapaun seharusnya bertepuk tangan untuk Fabio atas kerja kerasnya hari ini karena sudah berhasil menahan diri untuk tidak tumbang di hadapan gadis itu lagi. Berhasil melawan traumanya walau tak terlalu lama, tapi patut diapresiasi.
"Perlahan saja Fabio, kau pasti bisa menghadapinya." Semangat itu Fabio berikan untuk dirinya sendiri.
Setelah sampai di ruangan yang sebelumnya dijadikan tempat berpesta sebelum Fabio resmi memiliki kapal pesiar itu tentunya, Fabio sekali lagi mendapat kejutan dari Anton. Memang Anton tak bisa ia ragukan dalam bekerja dan mengehandle bawahannya.
Di meja ruangan tersebut, kesepuluh anggota rapat sudah duduk di kursi masing-masing menunggu kedatangannya. Pertanyaan kapan Anton mengabari orang-orang tersebut, tentu terlintas di kepalanya.
Seolah Anton telah menghipnotis para karyawan itu untuk langsung meninggalkan segala kesibukan memanjakan diri mereka demi memenuhi permintaannya beberapa menit lalu.
Memendam ketakjubannya dari kesigapan Anton dalam bertindak, ia langsung duduk di salah satu kursi kosong menghadap meja yang entah sejak kapan menjadi bundar. Terakhir ia lihat dan menggunakannya masih berbentuk persegi panjang.
Tidak ingin memperdulikan hal itu, Fabo langsung membuka laptopnya yang telah disediakan Anton tentunya, lalu mengeluarkan benda kecil pipih di dalam kantong jas-nya. Benda itu ia colokkan ke laptop.
Menggeser-geser kursor beberapa kali sambil fokus menatap layar, Fabio berhasil menyalin filenya ke laptop tersebut.
***
Fabio menutup pintu kabinnya dan berjalan menuju lift. Pada cuaca terik sore ini ia ingin menghabiskan waktunya dengan berjemur di dek dekat area kolam renang sehabis melakukan jogging.
Tak ingin mengabari Anton pada kseibukannya sore ini, tapi ia mengajak para karyawan yang lain untuk menikmati waktu bersantai bersama di atas.
Tak sengaja ia melihat salah satu pintu kabin sedikit terbuka membentuk celah. Karena cukup penasaran, ia memeriksa kabin tersebut. Buru-buru Anton membalikkan tubuhnya bersembunyi di dinding saat mengetahui Darla di dalamnya.
Ia lansung memegang dadanya yang pengecuk ketika berhadapan dengan wanita. Fabio menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Fabio kembali berusaha melawan rasa takutnya, kedua tanganya ia genggam erat.
Lalu, ia kembali mengintip Darla dari celah yang terbentuk di pintu. Darla terlihat sedang merapikan kamar tersebut dengan fokus. Sudut bibir Fabio melengkung kala mendengar saura musik beralun lembut dari dalam kamar itu.
Musik itu yang menemani Darla di dalam kabin dalam melakukan pekerjaannya. Fabio menangkap ekspresi serius di wajah Darla. Wanita itu selalu serisu jika sedang bekerja walau musik yang bermain adalah lagu yang seharusnya diiringin dengan tarian salsa.
Mata Fabio membulat saat Darla ternyata sudah selesai melakukan pekerjaannya dan sedang menuju keluar. Fabio yang tenang kini gelagapan. Jantungnya kembali berdegup tak karuan.
Lantas ia mundur beberapa langkah, "tenang, kau harus bersikap tenang, semua akan baik-baik saja," kata Fabio untuk dirinya. Kemudian ia berusaha semaksimal mungkin untuk berjalan normal saat melewati kabin yang ia intip tadi.
"Fab... Tuan Fabio?" Darlapun cukup kaget, ia tak menduga akan ada Fabio di depan kamarnya. Ia sibuk mencari apa saja yang dapat menutupi wajahnya, karena hanya ada ember dan alat pel serta sebah sapu di tangannya, akhirnya rambut sapu yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya.
"Eh, kau tidak perlu menutupi wajahmu, itu tidak berguna sama sekali," kata Fabio cepat.
Akhirnya Darla menyingkirkan sapu itu perlahan dari wajahnya. "K-kau mau ke mana?" Fabio menyesali pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"Kira-kira aku akan ke mana dengan membawa sapu, pel dan ember ini?" Darla membalikkan pertanyaan.
"Jika kau sudah selesai melakukan pekerjaanmu, kalau mau kau bisa bergabung bersamaku di dek atas." Setelah mengucapkan kalimat itu Fabio langsung pergi dari hadapan Darla dan berhasil memasuki lift sebelum wajah merahnya ditangkap basah oleh gadis itu.