"Kau tidak perlu melakukan itu, tidak ada gunanya," cegah Anton.
"Apa? Sepesimis itukah dirimu? Hey, Anton, kita bahkan belum mencoba, dan selama aku berada di kapal ini, aku bahkan belum pernah berbicara dengannya, jadi biarkan kali ini aku yang menangani Fabio, kau tenang saja aku tidak akan menyebut namamu di hadapannya," ucap Darla optimis.
Anton hanya melihat sebentar diri Darla yang berbeda, Darla yang perhatian dan bersikap hangat, kini gadis itu kembali seperti semula. Gadis ambisius, sombong, sangat percaya diri dan menyebalkan.
Tidak ada yang salah memang dari sikap Darla tersebut, sebab ia tak tahu apa-apa mengenai trauma yang dialami Fabio, sehingga gadis realistis itu akan terus berupaya untuk menaklukkan Fabio di tangannya.
"Darla, bukan itu maksudku, tapi aku sangat mengenal Fabio, dan yang kau lakukan tidak akan berhasil." Anton menyanggah.
"Kau harus percaya padaku, Anton." Darla menatap tajam pria dengan tatapan sendu itu.
"Aku tidak bisa, aku tidak bisa percaya padamu, aku sendiri yang akan menghalangimu untuk bertemu dengannya."
Darla berkacang pinggang dengan ekspresi kesal, "Kau ini aneh sekali, aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya pada Fabio dan berusaha menolongmu, aku tahu kau pasti berat kehilangan pekerjaanmu, apalagi itu bukan karena masalahmu." Nada suara Darla meninggi.
"Tidak bisa," Anton juga bersikeras.
Hembusan napas Darla terdengar kencang, "Baiklah, kita lihat saja, apakah kau bisa mencegahku untuk bertemu dengannya," tantang Darla sembari melangkahkan kakinya tegas menuju ke dalam.
"Ahhh!!!" Anton mengusap wajahnya dengan kasar, ia terpaksa mengejar gadis keras kepala itu.
"Darla, hentikan!" teriak Anton.
Gadis itu masih berjalan dengan tegas dan sudah hampir sampai menuju lift, tetapi dia tak mengubris panggilan Anton sama sekali.
"Darla, kau boleh menemui Fabio asal kau mau menjadi Liza!" teriak Anton lagi dan kali ini berhasil menghentikan gadis itu.
Anton mengelembungkan pipinya meniupkan udara lega dari dalam mulutnya. Lalu menghela napas.
Darla menoleh dan menatap Anton dengan bingung. "Liza? Siapa Liza?" Wajar Darla bertanya.
Anton menghampiri meja yang tak jauh dari mereka berada, kemudian mengambil pulpen dan selembar kertas, kedua benda itu ia berikan pada Darla sambil berjalan memasuki lift.
"Apa ini?" tanya Darla yang masih belum juga mendapat jawaban dari Anton.
"Kau tulis di kertas itu apa saja yang ingin kau sampaikan pada Fabio, Liza yang akan mengantarkan surat itu pada Fabio," titah Anton yang sulit dimengerti Darla.
"Tunggu, aku belum mengerti sama sekali maksudmu, pertama katakan padaku siapa Liza?" desak Darla.
"Kau akan tahu siapa Liza sesaat lagi ketika sampai di kabinku, pokoknya tulis saja apa yang ingin kau katakan pada Fabio di kertas itu," kata Anton sambil menatap Darla penuh harap, berharap gadis itu tidak memberinya pertanyaan lagi dan menuruti perkataannya.
Darla melirik kertas kecil yang sudah berada di tangannya, "Dan yang kedua, aku tidak suka berbicara pada orang lain melalui surat, terlalu banyak yang akan aku tulis nantinya, aku tidak hobby menulis panjang-panjang."
Sudah Anton duga, gadis itu tidak akan mudah menuruti permintaan orang lain, ia pun merebut kembali kertas dan pulpen itu dari tangan Darla. "Sekarang katakan apa yang ingin kau sampaikan, aku sendiri yang akan mencatatnya." Anton mengalah dengan ekspresi jengkel.
Pintu lift terbuka, Anton menyuruh Darla mengikutinya ke kabin untuk memperkenalkan Liza padanya, sementara kertas itu masih kosong. Darla belum sempat mengucapkan apa-apa.
Anton berhasil membawa Darla ke dalam kabinnya, tanpa basa-basi ia langsung menyuruh Darla kembali untuk mengucapkan apa yang ingin ia sampaikan pada Fabio.
"Cepat katakan, aku akan mencatanya sekarang," desak Anton.
Darla menjelajah sekeliling kabin Anton, salah satu kabin yang belum pernah ia masuki di kapal tersebut selama menjalankan tugasnya menjadi room steward. Kabin Anton terletak di dek 11, yang mana kabin Fabio juga berada di dek tersebut.
"Kau bilang, aku akan mengetahui Liza ketika sampai di kamarmu, mana dia?" tanya Darla seolah mengulur waktu.
Anton benar-benar dibuat pusing dengan sikap menyebalkan Darla, Anton sudah malas melawan wanita itu dan pergi ke lemarinya. Setelah ia buka, muncullah Liza di dalamnya.
Liza ia bawa ke hadapan Darla, berharap agar wanita itu bisa puas, "Ini dia, Jessica Monaliza," kata Anton tak bersemangat.
Darla kaget, terpana dan tertegun dalam kondisi wajahnya yang menganga, mungkin ia tak sadar bahwa mulutnya terbuka dengan sangat lebar dan tidak ia tutupi dengan tangan, "J-jadi manekin ini, Li-Liza? Aku harus jadi patung maksudmu?" Darla sungguh tak percaya.
"Tepat sekali, sekarang apa masih ada yang ingin kau tanyakan sebelum aku sendiri yang mengarang ucapanmu pada Fabio di atas kertas ini?" Anton menunjukkan secarik kertas kosong yang masih berada di tangannya.
"Oke, tapi bagaimana caranya aku menjadi dia sementara wajahku jauh berbeda, tidak sesempurna Liza?"
Anton menarik kursi dan duduk di hadapan Darla yang sedang duduk di atas kasurnya, "Begini, dengarkan penjelasanku, Nona Darla, supaya kau tidak bertanya lagi padaku. Jika kau ingin menemui Fabio, kau harus rela menjadi Liza, yang artinya kau harus sebisa mungkin tidak bergerak saat berada di hadapan Fabio, dan surat ini aku sendiri yang akan membacakannya pada Fabio atas nama Liza, karena Fabio hanya mengenal Liza di sini, tidak dengan dirimu." Anton menunduk sejenak sambil menarik napas, "Aku harus siap menyesal setelah mengatakan ini padamu..."
Raut Darla terlihat serius, kepalanya jadi lebih tegap dan tubuhnya refleks sedikit lebih maju.
"Fabio memiliki trauma terhadap wanita cantik. Eh tidak-tidak, maksudku semua wanita, itu sebabnya ia pingsan saat pertama kali melihatmu."
Darla menutup mulutnya yang kembali ternganga, ia kaget. "Memangnya ada orang yang takut pada wanita di dunia ini?"
"Fabio," cetus Anton cepat.
Mata Darla melirik-lirik ke bawah, menerka-nerka penyebab dan sejak kapan trauma itu timbul dalam diri Fabio, tapi beberapa saat kemudian ia menyerah.
"Bukan saatnya untukmu bertanya apa penyebab trauma itu," sela Anton yang seolah dapat membaca pikiran Darla. "Untuk masalah wajah, kau akan mengenakan pakaian yang menggantung di lemari itu. Lihat di sana," kata Anton sambil menunjuk pakaian jubah berwarna hitam.
"Bagaimana? Kau paham sekarang?" lanjut Anton menatap pupil Darla tajam.
Darla mengangguk tegas, "Baiklah, aku mengerti." Darla menyembunyikan sesuatu dibalik jawaban mengertinya.
"Bagus, sekarang cepat katakan apa pesanmu itu," ujar Anton seraya meletakkan kertas berukuran 10 x 15 sentimeter di atas pahanya.
Darla mengatur napasnya setelah sedikit syok mendengar cerita latar belakang seorang Fabio melalui Anton. "Dear, Fabio Febriano..." kata Darla dengan nada suara lembutnya berhasil mengguncang isi perut Anton karena merasa geli.
"Kenapa? Bukannya surat biasanya diawali dengan kata-kata seperti itu?" Darla memprotes ekspresi Anton.
"Oke, lanjutkan," sahut Anton dan kembali mengarahkan ujung runcing penanya di atas kertas.