Sebanyak sembilan orang pria berpakaian rapi dengan setelan formal masing-masing telah menduduki kursi yang menghadap sebuah meja persegi panjang. Cahaya di ruangan tersebut tidak terlalu terang.
Dinding-dindingnya terbuat dari pahatan dan polesan kayu yang di desain sedemikian rupa sehingga terlihat indah dan bergaya klassik dengan corak relief dan warna coklat gelap.
Sebelum datang seorang pimpinan mereka dalam rapat yang diadakan di salah satu ruangan yang telah dialih fungsikan oleh pemimpin mereka tersebut menjadi ruangan rapat, Anton yang bertugas memimpin sementara diskusi kecil itu terlebih dahulu.
Sebagai seorang yang sangat memperhatikan kesehatan sejak trauma masa kecilnya menyerang, Fabio sangat menghindari minuman-minuman yang dapat membuat kesadaran siapapun yang mengkonsumsinya hilang.
Oleh karena itu, ruangan yang akan mereka jadikan tempat rapat kali ini adalah sebuah ruangan yang sebelumnya merupakan tempat di*****k. Fabio tak ingin ada ruangan seperti itu di kapal miliknya, sehingga ia sulap menjadi ruangan yang efisien untuk rapat dengan nuansa klassik dan pencahayaan yang redup.
Terlihat Anton mulai menyalakan proyektor, sesaat setelah ia mengecek waktu di arlojinya. Tak lupa juga komputer yang telah ia nyalakan ia hubungkan dengan proyektor tersebut dan slide pertama dari power point yang dirancang oleh Fabio muncul di dinding ruangan.
Berselang satu menit setelah persiapan rapat selesai dilakukan Anton, seorang pemimpin rapat kali ini yang tak lain adalah Fabio muncul di hadapan mereka.
Fabio bahkan tak menyempatkan duduk di kursi dan langsung mengancing jasnya sembari berdiri di samping papan proyektor.
Semua mata dan fokus dari ke sembilan anggota rapat tersebut tertuju pada pria muda berusia 22 tahun yang berdiri di hadapan mereka.
***
Karena tak ada lagi kamar yang perlu Darla bersihkan, akhirnya Darla merangkap menjadi pramusaji di restoran. Ia melayani beberapa pria berjas dengan rapi yang duduk di salah satu meja.
Darla membawa lima buah gelas mug berisi kopi di atas nampan dan meletakkannya satu persatu di atas meja. "Silahkan dinikmati pesanannya, Pak!" ucap Darla ramah pada pria-pria yang usianya rata-rata di atas empat puluh tahunan itu.
Setelah itu Darla segera kembali ke bagian bartender yang hanya ada dua orang penjaganya, ditambah dirinya menjadi tiga orang.
"Terimakasih Darla, sudah repot-repot membantu kami di sini." Salah satu bartender itu berterima kasih.
Darla tersenyum, "Tidak masalah, aku sama sekali tidak repot, karena hari ini pekerjaanku tidak banyak. Karena aku bosan jadi aku ke sini saja," jelas Darla.
"Wah, enak ya kerja di bagian departemen mu? Kami berdua di sini setiap hari melayani bapak-bapak itu, ya walau mereka hanya ada sepuluh orang." Satu bartender lainnya bertanya.
"Sebenarnya tidak juga, kebetulan saja di kapal ini tidak ada tamu lainnya selain para pegawai itu. Jika tidak begitu pasti aku juga akan kewalahan." Darla tersenyum mengakhiri kalimatnya.
Darla menyipitkan matanya, ia menyadari satu hal, "Kalian berdua juga pegawai baru di kapal ini?" tanyanya.
"Iya, benar. Ini tahun pertama kontrak kami di kapal ini," jawab bartender pertama.
Dugaan Darla benar, ia tak lagi heran mengenai pertanyaan bartender kedua itu. Mereka pasti belum pernah merasakan bagaimana repotnya jika sudah melayani kapal yang tamunya dari berbagai kalangan usia.
Darla dan mereka berdua termasuk beruntung, sebab awal mereka bekerja tidak langsung dengan kapal yang memiliki ratusan pengunjung, sehingga pekerjaan masih bisa mereka lakukan dengan santai.
"Ah, kalau begitu sama. Aku juga baru tahun pertama kontrak," sahut Darla lebih akrab.
Darla merupakan tipe manusia yang mudah akrab dengan orang yang baru ia temui. Hal itu menguntungkannya sebagai seorang room steward, ia tak merasa canggung atau kaku jika berbicara dengan para tamu.
"Kalau begitu aku pergi dulu ya, aku mau lihat tempat lain lagi walau aku keadaan masih akan tetap sama seperti hari-hari sebelumnya," canda Darla kemudian melangkah pergi dari restoran.
Dek 12, merupakan area favorite Darla, sebab di lantai tersebut yang tersedianya tempat-tempat menarik seperti kolam renang anak dan dewasa, restoran dan mall, bahkan di area kolam renang juga ada area bermain seluncuran dan waterboom. Hanya saja, saat ini tidak ada yang bermain di sana. Tidak mungkin juga para pria tua itu bermain seluncuran di kolam renang.
Di kolam renang, Darla menemukan seorang rekannya—Toni. Lantas Darla menghampirinya, "Kau juga sedang bosan ya berkutat di stateroom?" tanya Darla.
"Kau sendiri?" Toni bertanya balik.
Darla mengangkat kedua bahunya dan menegadahkan kedua tangan disertai ekspresi wajah yang terlihat jenuh.
Area kolam renang itu langsung menghadap matahari, sehingga para pengunjung bisa sambil berjemur di bawahnya. Darla menuju sisi kolam renang yang dekat dengan pagar. Di sana ia bisa menyaksikan pemandangan samudera yang luas.
"Aku mendapat laporan dari pengelola perkebunan, bahwa hasil panen meingkat."
"Itu berita yang bagus, aku menjadi lebih tenang meninggalkannya."
Tubuh Darla seketika mematung, mendengar baik-baik suara obrolan yang ia dengar dan semakin jelas di telinganya. "Kau dengar sesuatu?" tanyanya pada Toni.
"Tentu saja aku bisa mendengar, suara mesin, suara air pancur, suaramu, semua masih dapat aku dengar dengan baik," sahut Toni santai.
"Bukan itu maksudku, tapi kau mendengar suara Anton dan bosnya mengobrol sesautu?"
"Ya, mereka berdua sedang menuju kesini dan ada di belakangmu."
Refleks Darla berlari ke belakang kursi sofa untuk berjemur dan bersembunyi di baliknya. Toni menatapnya heran, "kau kenapa?"
"Jangan beritahu aku pada mereka jika aku bersembunyi di sini," titah Darla tanpa memberi alasan.
"O-oke..." jawab Toni ragu.
Beruntung Fabio dan Anton baru saja memasuki area dan belum sempat melihat Darla.
"Selamat sore Pak Fabio, selamat sore Pak Anton!" sapa Toni yang ia sendiri bingung kenapa jadi canggung.
"Kau sendirian di sini? Mana rekanmu yang lain?" tanya Fabio.
Rekan yang lain mana yang Fabio maksud? Toni hanya memiliki satu rekan sesama room steward dan itu adalah Darla. "Ehh, mereka sedang membersihkan area stateroom, Pak!" jawab Toni berbohong.
Fabio mengangguk lalu melangkah mendekati sofa empuk yang di belakang sandarannya ada Darla yang sedang mengadu nasib dengan bersembunyi. Pintu menuju kolam renang itu hanya satu, yakni pintu yang baru saja dilewati oleh Anton dan Fabio barusan. Sehingga tidak ada jalan keluar bagi Darla selain bersembunyi dan menunggu kedua orang itu keluar terlebih dahulu.
Darla dalam posisi jongkok, sekarang merangkak. Kenapa mereka harus ke sini di waktu yang tidak tepat sih? Darla memejamkan matanya, seolah dengan ia tidak melihat maka Fabio juga pasti tidak melihatnya.
Tiba-tiba Fabio duduk di atas sofa tersebut sambil meluruskan kedua kakinya. Kursi sofa itu pas untuk tubuhnya yang setinggi 180 cm. Sebelum menyenderkan tubuhnya, jas hitamnya ia lepas dan ia tarus di sandaran kursi.
Ia pun menyender sambil menyilangkan kaki dan membiarkan semburat jingga membelai wajahnya.
Begitu Anton hendak duduk di samping Fabio, di sofa sebelahnya, ia tak sengaja melihat sepatu heels seorang wanita di bawah kursi yang diduduki Fabio.
Lalu ia melirik ekspresi Toni yang terlihat cemas dan bingung, kemudian perlahan ia melangkah ke kiri hingga ia dapat melihat Darla merangkak di belakang sandaran kursi Fabio. Mata Anton memicing, sedangkan Darla memasang ekspresi cemas dan berharap padanya.
"Kau hanya ingin berdiri di situ?"
Pertanyaan Fabio juga mengagetkannya setelah keberadaan Darla. Anton kembali berada dalam situsai genting. "Ah, aku masih ingin meregangkan tubuhku, tadi kelamaan duduk jadi pegal," dalih Anton.
Anton jauh lebih berpikir keras dibandingkan Darla. Ia memikirkan cara agar Fabio tidak melihat keberadaan gadis itu.
"Bapak masih ingin berada di sini?" tanya Anton.
"Memangnya kenapa? Kau ingin pergi? Silakan saja, aku akan berada di sini sampai matahari benar-benar tenggelam," jawab Fabio sembari memejamkan mata.
Gerak-gerik Anton semakin terlihat gelisah. "Oh, begitu, tidak. Aku hanya ingin tahu." Anton bahkan tak mengerti dengan jawabannya sendiri.
Ketika menoleh ke belakang, ia sudah tak mendapati Toni, "Kemana pria itu perginya?" gumamnya tak sadar.
"Siapa maksudmu?" Fabio menyahut dengan pertanyaan.
"Maksudku Toni Pak, kapan dia pergi dari sini?"
"Barusan, memangnya kau tidak lihat?" jawab Fabio yang menyadari kapan kepergian Toni, padahal matanya sedang terpejam.
Anton menyadari Darla yang menepuk jidatnya sendiri. Mereka berdua saling berinteraksi dengan bahasa kalbu melalui isyarat mata dan tangan.
Tapi interaksi dalam diam itu lebih terkesan saling menyalahkan daripada memberikan solusi.
Baru saja Anton ingin melangkah, mendadak ia dikagetkan dengan bangkitnya Fabio dari bersandar. Kaki Fabio menapak ke lantai dan posisi duduknya kini menghadap ke samping.
Darla bisa melihat dengan jelas sepatu Fabio dari belakang sandaran itu dengan jarak yang kurang dari satu meter. Matanya melebar dan membulat. Tubuhnya berdesir hebat. Bukan hanya dirinya tapi juga Anton.
Tak disangka Fabio berdiri setelah itu.