Anton buru-buru melangkah dan duduk di sofa sebelah Fabio, yang mana posisi duduk mereka saling berhadapan. Namun untuk menatap wajah sang bos, Anton mendongak sementara Fabio menunduk.
Merasa posisi itu tidak nyaman, Fabio duduk kembali dengan melempar tatapan heran dan jijik pada Anton.
"Ada yang perlu aku bicarakan dengan bapak, ini penting," ucap Anton yang terdengar misterius bagi Fabio. Ekspresinya juga terlihat serius padahal yang sebenarnya Anton sedang tegang.
Darla masih berada di belakang sandaran kursi Fabio. Jika dari posisinya, maka Darla berada di sebelah kadang, sedangkan dari posisi Fabio, sebaliknya, di kiri.
Anton menatap mata coklat Fabio dengan tajam, entah kenapa Fabio menjadi risih dibuatnya. "Cepat katakan saja padaku, jangan memasang wajah seperti itu," tuntut Fabio.
"Jadi begini Pak..." Anton sengaja memperlambat tempo bicaranya padahal iasedang berpikir keras apa yang harus ia bicarakan. Sementara Fabio memberinya tatapan penasaran dan tak sabar.
Di samping itu ia sadar bahwa Darla sedang menuju pintu keluar dari area kolam renang dengan merangkak seperti bayi, tapi dengan cara perlahan. Sesekali Anton meliriknya untuk memastikan bahwa jarak Darla semakin dekat untuk menuju pintu.
Masih sekitar tiga meter lagi untuk Darla yang merangkak agar bisa melewati pintu, sementara itu Anton masih berbicara asal dengan bos-nya.
"Masalah perkebunan di desa bapak itu..." Anton terhenti lagi, sebab ia bingung kalimat apa yang harus ia ucapkan.
"Ada apa dengan perkebunan di desa itu?" tanya Fabio tak sabar.
"Eh... mengalami kenaikan dalam jumlah persentase panen, Pak!"
"Itu sudah kau katakan padaku ketika datang ke sini tadi, jadi sebenarnya apa yang ingin kau sampaikan, jangan bertele-tele." Fabio terus mendesaknya untuk berbicara jelas dan cepat, sementara ia merasa pergerakan Darla semakin lambat untuk sampai di pintu yang hanya berjarak satu meter lagi.
Keringat bercucuran di tubuh Anton, terlebih ia masih mengenakan jas. Tubuhnya terasa semakin gerah dan panas.
"Ah, benarkah? Saya sudah mengatakannya pada bapak?" tanya Anton berpura-pura lupa.
Fabio menggeleng heran dan sedikit kesal, "Jadi apa ada lagi yang perlu kau katakan padaku selain itu?"
"Eh..." Anton menggaruk kepalanya, "sepertinya tidak ada, Pak. Saya hanya ingin menyampaikan itu." Anton nyengir sambil bernapas lega karena Darla sudah berhasil keluar.
Fabio sudah malas menghadapi Anton, ia pun segera berdiri dan menuju pagar kapal untuk menyaksikan lebih dekat pemandangan lautan di sore hari.
***
"Hampir saja," Darla menghela napas lega sambil mengusap kedua lututnya yang terasa sakit akbat berjalan merangkak tadi.
Ketika ia mendongak, datang Toni di hadapannya membawa nampan berisi dua gelas air jus jeruk. Dengan santainya dan tidak merasa bersalah Darla mengambil salah satu gelas dan langsung meminumnya, "terima kasih," katanya sebelum meminum.
"Eh, Darla... itu untuk Pak Anton dan Pak Fabio, kenapa kamu yang minum?" protes Toni cepat.
Mendengar hal itu air jeruk di mulut Darla muncrat sebagian, kemudian ia nyengir tak berdosa. "Maaf, kau tidak mengatakannya padaku dari awal, lagi pula aku haus jadi tidak sempat lagi berpikir..." jelasnya tersenyum lebar dan langsung kabur dari hadapan Toni.
Bahkan gelas air itu juga Darla bawa kabur bersamanya. Toni hanya bisa pasrah dan ternganga melihat kelakukan licik rekannya.
"Ngapain kamu bengong di situ?"
Suara Anton berhasil membuat Toni berdecak kaget, entah sejak kapan Anton sudah berdiri di depan pintu. "Eh... saya mau mengantarkan jus ini untuk bapak," jawab Toni cemas.
"Hanya satu gelas?" Pertanyaan Anton terkesan intimidatif.
"Maaf, Pak. Sebenarnya tadi saya membawa dua gelas, tapi diambil oleh Darla satu gelasnya, dan sekarang dia kabur." Toni tak ingin disalahkan.
Hembusan napas Anton tedengar berat dan kasar. Matanya terpejam sesaat, rahangnya menegang. "Wanita itu memang bedebah," gumamnya kesal. "Ya sudah bawa minuman itu untuk Pak Fabio di luar," lanjutnya.
"Baik, Pak." Toni langsung melaksanakan titah Anton.
***
Pangkal alis tebal Fabio mengerut dan hampir menyatu saat melihat patung yang dibawa Anton ke kamarnya.
"Apa kau benar-benar kurang kerjaan di sini sampai-sampai mengganti pakaian manekin itu?" tanya Fabio heran.
Patung wanita itu mengenakan busana blazer yang dipadukan dengan rok mini ketat. Warnanya sepasang anatara blazer dan rok tersebut yakni bermotif kotak-kotak berwarna coklat.
Style rambutnya keriting brkgelombang yang tergerai sepinggang dengan warna coklat, lalau memakai topi bundar dengan motif dan warna yang senada dengan rok an balzer-nya. Tak tanggung-tanggung, tangan kanan manekin wanita cantik itu menenteng tas branded mahal.
Dan sepatu yang dikenakan adalah boot bertumit tinggi dengan warna hitam. Style yang tidak main-main. Manekin itu terlihat seperti hasil curian di toko pakaian branded kelas internasional.
"Ini menyangkut latihanmu untuk berhadapan dengan seorang wanita, jadi harus menyesuaikan karakter wanita itu pula yang suka berganti pakaian. Maka dari itu kau akan menganggap manekin ini seolah hidup dan kau seperti sedang berhadapan dengan wanita asli. Tapi bukankah manekin ini terlihat sangat nyata? Wajahnya, bentuk tubuhnya, tingginya 170 cm...dia sempurna." Anton terpana.
Fabio mengakui dalam hati bahwa Anton sangat totalitas sekali. "Tapi aku tidak suka senyum patung itu, terlihat menyebalkan." Fabio berpendapat.
Anton merogoh saku celananya, sebuah masker berwarna biru ia keluarkan dari celah kecil tersebut. Masker itu yang biasa Anton kenakan saat keluar. Ia memang memiliki banyak masker cadangan dan suka menyimpannya di kantong.
"Nah, sekarang kau tidak akan melihat lagi senyumnya," kata Anton setelah sukses memasangkan masker itu di mulut manekin.
Fabio memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sembari mendekati manekin, lalu menoleh ke Anton. "Apa yang harus aku lakukan pada Jessica sekarang?"
Alis kiri Anton melengkung, wajahnya miring ke kiri, seolah ada tanda tanya besar di atas kepalanya saat ini, "Jessica? Siapa yang kau maksud Jessica?" tanya nya.
Kepala Fabio bergerak perlahan dari menghadap Anton ke manekin cantik di hadapannya, sehingga Anton langsung paham siapa Jessica yang disebut Fabio.
Mendadak Anton langsung beralih ke belakang manekin tersebut, "Maaf, Pak, tapi saya sudah memberinya nama Liza, jadi bapak harus memanggilnya Liza bukan Jessica," sanggah Anton.
"Kau membuat penampilan manekin ini terlihat tidak polos, jadi lebih cocok dipanggil Jessica dari pada Liza." Fabio tak mau kalah.
"Besok aku bisa mengganti busananya lagi dengan pakaian yang lebih tertutup, jika perlu aku akan buat dia berhijab." Bos dan asissten itu belum ada yang mau mengalah terhadap perdebatan serius itu.
"Oke kalau begitu nama panjangnya Jessica Monaliza, aku akan memanggilnya nama depan, dan kau belakang."
Anton sebenarnya masih ingin membantah, tapi ia sudah melihat ekspresi wajah bos-nya menajam, dan itu artinya ia sudah harus mengalah. "Baik, Pak."