Bayangan dirinya yang mengenakan blazer semiformal berwarna peach muncul di balik cermin rias. Darla duduk sambil memandangi wajahnya yang sudah dipoles dengan riasan make up tipis.
Bibirnya yang membentuk lengkungan seketika pudar begitu menyadari rambutnya yang tak sesuai dengan model yang ia harapkan. Keriting panjang berwarna hitam. Benar-benar keriting seperti mie instan, tapi teksturnya kasar seperti sapu ijuk.
Rambut itu sudah ia sisir rapi, tapi tetap saja tidak puas dengan hasilnya. "Bersabarlah mahkota kecilku, jika aku sudah memiliki uang lebih, kalian akan aku luruskan kembali untuk waktu yang lama, dan mungkin akan aku ubah warnanya juga," ocehnya pada refleksi dirinya sambil mencatok perlahan rambut mekar itu.
"Ah, ku mohon mengertilah keadaanku hari ini, Rambuuut, aku bisa terlambat jika kalian tidak mau mengalah. Tolong lemaskan diri kalian hari ini saja," pinta Darla pada pasukan benang-benang hitam tebal yang bandel di kepalanya.
Sudah pukul tujuh kurang lima belas menit. Entah kenapa hari ini rambutnya sangat sulit untuk diluruskan, padahal ia harus berangkat ke pelabuhan sebelum jam delapan. Hari ini akan menjadi hari bersejarah untuk Darla yang telah mendapat pekerjaan pertamanya setelah lulus kuliah di tahun ini.
Darla menghabiskan waktu tiga puluh menit hanya untuk meluruskan rambutnya yang sulit diatur. "Huffftt akhirnya selesai, tolong bertahan lama ya..." gumam Darla sambil menyemprotkan hairspray di kepalanya.
Darla mengangkat koper yang ada di atas kasur, lalu menariknya sambil berjalan ke pintu. Setelah mengunci pintu rumah sewanya, ia mengecek layar ponselnya, hanya mengecek.
Tak lama kemudian mobil yang ia pesan melalui aplikasi online tiba di depan jalan. Darla seperti mencocokkan plat mobil itu dengan nomor plat yang tertera di layar ponselnya. Setelah memastikan sama, ia menyebrang dari pagar ke jalan tersebut.
"Ke pelabuhan GM kan Mbak?" tanya sopir sesaat setelah Darla duduk di kursi belakang bersama kopernya.
"Iya Pak," jawab Darla sedikit menyunggingkan senyumnya.
"Oke, Mbak," sahut sopir yang usianya kira-kira dua kali lipat dari usia Darla.
***
"Perjalanan kita akan memakan waktu kurang lebih empat bulan, Pak. Segala persiapan sudah saya rampungkan termasuk barang-barang dari perusahaan yang akan kita angkut ke sana," jelas Anton yang berdiri di hadapan meja dengan papan di atasnya yang bertuliskan CEO beserta nama 'Fabio Febriano'.
"Seratus hari, waktu yang cukup lama aku meninggalkan kantor ini dan lahan yang ada di desa..." Fabio mengetuk-ngetukkan kuku jarinya ke atas papan kaca meja.
"Kau tunjuk satu orang yang bisa dipercaya untuk menggantikan posisiku selama aku pergi." Sorot mata Fabio terlihat tajam dalam tangkapan retina Anton.
"Bagaimana kalau Pak Razlan?" Anton tak ingin menyia-nyiakan kesempatan selagi ia mengingat nama orang tua yang sudah lama bekerja di perusahaan milik almarhum kakeknya Fabio tersebut.
Dibandingkan dirinya yang sudah menjalani dua tahun bekerja untuk Fabio, Pak Razlan sudah lima belas tahun bekerja untuk kakeknya Fabio dan sekarang masih bekerja untuk cucunya.
Fabio tampak berpikir, "Baiklah, aku percayakan padamu." Fabio berdiri dari kursi jabatan sekaligus tempatnya bekerja. Ia berjalan menuju dinding kaca tanpa memperdulikan Anton yang masih berdiri di sana.
Ia memperhatikan pemandangan kota yang dipenuhi benyaknya gedung pencakar langit. Pemandangan yang sangat berbeda dari yang ia saksikan di desa seminggu sekali. Jika bisa memilih ia lebih suka tinggal di desa tempat ia dibesarkan oleh kakeknya hingga ia bisa seperti sekarang.
Walau begitu ia masih sering menginap di rumah yang ada di desa dekat lahan perkebunannya tersebut jika ia bosan dengan suasana di penthouse-nya yang ada di kota.
Namun ada satu hal yang ia sayangkan, ia masih belum bisa mengunjungi kediaman kedua orang tuanya, ayah kandung dan ibu tirinya.
Ia tidak memberitahu orang tuanya tersebut di mana tempat tinggalnya yang sekarang. Bukan tak ingin, tapi ia belum siap, karena phobia itu masih melekat dalam dirinya.
Membayangkan bertemu dengan ibunya saja, jantungnya sudah berdetak tidak normal. Jadi ia menunggu sampai benar-benar siap untuk bertemu mereka.
'Kakek, terima kasih untuk semua yang kau berikan hingga aku merasakan kenyamanan ini. Aku berjanji untuk terus membangun perusahaan ini demi dirimu. Hari ini aku izin pamit sebentar meninggalkan tempat ini. Aku akan pergi ke beberapa negara yang terikat kerja sama dengan perusahaan ini', batin Fabio.
Ia tersenyum miring, 'ngomong-ngomong ini menjadi pertama kalinya aku bepergian jauh melintasi negara, sebenarnya aku malu mengatakan ini pada Kakek, bahwa aku masih seorang pecundang yang takut dengan dunia luar. Tapi berkat doamu aku sudah sampai pada tahap ini. Aku akan berusaha lebih keras lagi sampai aku tidak merasakan ketakutan itu lagi, walau mungkin akan memakan waktu yang lama'. Interaksi batin Fabio pada kakeknya berakhir untuk hari ini.
Fabio membalikkan tubuhnya, "Ayo berangkat sekarang!" titahnya pada Anton setelah mengecek arloji di tangan kirinya.
"Baik Pak." Anton melangkah tegas mengiringi langkah tegas bos-nya keluar dari ruangan. Tidak ada terlihat seorang pekerja perempuan satupun di ruangan yang dilewati Fabio dan Anton. Atas perintah Fabio, Anton berhasil merekrut seluruh karyawan di perusahaan tersebut dengan karyawan pria.
Hanya Anton yang tahu alasan dibalik itu semua, Fabio masih ingin menyembunyikan kelemahannya pada dunia. Bahkan perusahaannya yang cukup terkenal itu, hanya segelintir orang yang tahu seperti apa rupa seorang CEO-nya. Namun banyak gosip yang beredar tentang ketampanan seorang Fabio tersebut, sehingga banyak orang yang menerka-nerka bagaiamana wajahnya.
Hampir setiap hari wartawan berdatangan untuk menguak informasi yang masih menjadi misteri tersebut, tapi mereka selalu gagal. Fabio sangat pandai menyembunyikan sosoknya di depan umum kecuali karyawan terdekatnya.
Sekitar kurang lebih satu jam, Fabio dan Anton berhasil mendarat di pelabuhan dan sudah mulai menjelajah kapal pesiar miliknya. Ya, kapal super mewah berjenis Royal Caribbean itu milik pribadinya.
Fasilitas kapal itu diklaim menyaingi mansion global. Selama kurang lebih empat bulan, hotel terapung itu akan menjadi rumahnya. Ia akan berada di dalamnya melakukan perjalanan panjang.
Armada kapal tersebut sudah mulai berlayar meninggalkan pelabuhan besar. Ruangan pertama yang Fabio singgahi adalah kamarnya yang memiliki fasilitas mewah seperti hotel bintang lima.
Lalu ia berlanjut ke ruangan lainnya yaitu ruangan olah raga. Ruangan yang satu itu tidak bisa ia tinggalkan dalam kesehariannya.
Berolahraga merupakan hal wajib yang ia lakukan minimal tiga kali dalam seminggu bagi Fabio. Trauma masa kecilnya membuatnya tak ingin lagi memiliki tubuh yang kelebihan lemak.
Setiap hari ia harus mengontrol berapa kalori yang ia konsumsi untuk tubuhnya dan berapa persen lemak yang tersisa. Semua harus terkontrol dengan sempurna. Begitu cara Fabio menjalani hari-harinya di bawah bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Kemudian ia menuju kolam renang yang terpapar langsung dengan matahari. Dengan begitu ia bisa memanfaatkannya untuk berjemur dan menikmati hidangan favoritnya.
Puluhan kamar yang ada di stateroom, hanya ada lima kamar yang terisi. Semua merupakan pegawai Fabio yang ikut berkunjung ke perusahaan penerima barangnya di Arab Saudi sekaligus berdestinasi.
Sementara ruangan lainnya dibiarkan kosong. Seperti tempat pertunjukan kesenian dan yang lainnya kecuali pusat perbelanjaan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kapal yang menjadi sewaan para keluarga kaya untuk berlibur ke luar negeri tersebut dialih fungsikan sementara waktu khusus untuk perjalan sang pemiliknya kali ini.
Setelah terasa lelah menjelajah berbagai isinya, Fabio memutuskan kembali ke kamar untuk beristirahat. Namun tiba-tiba ia kaget melihat seorang stateroom steward sedang merapikan kamarnya. Apa lagi alasan yang membuatnya kaget jika bukan karena pegawai stateroom steward itu seorang perempuan?
Fabio mengurungkan niatnya masuk ke dalam. Dengan perasaan tak karuan akibat gelisah serta keringat mulai berjatuhan. Ia berjalan tegas dan cepat untuk menemui asistennya yang pertama kali ia dapati tidak amanah terhadap perintahnya.
Rahang Fabio mengeras, napasnya terlihat tak beraturan, "Anton! Siapa wanita yang ada di kamarku itu? Bukannya sudah kubilang tidak boleh ada satupun makhluk itu di kapal ini?" tuntut Fabio dengan nada suara tinggi.
Anton gelabakan, ia tampak kebingungan siapa wanita yang dimaksud bos-nya itu. Ia yakin bahwa dirinya sudah menjalankan amanah sesuai perintah Fabio untuk tidak mengizinkan petugas perempuan ada di kapal tersebut.
"M-maaf, Pak. Tapi saya bersumpah tidak ada menerima seorang wanita pun ke sini." jawab Anton panik.
"Lalu mengapa wanita itu ada di kamarku?" Fabio berkacak pinggang, satu tangannya memegang dahinya. "Saya tidak mau tahu, bagaimana pun caranya wanita itu harus musnah dari kapal ini." Ucap Fabio tak ingin mengerti.
"B-baik, Pak, saya akan menangani wanita itu." Anton bergegas menuju kamar Fabio.