Tidak ada hujan yang mengguyur tadi malam, tetapi embun pagi dengan apik menyelimuti dedaunan, hingga perlahan jatuh merayapi bumi. Tak bisa dipungkiri, udara fajar tak pernah gagal menyejukkan hati.
Seorang pria mengenakan setelan formal berjalan tegas melewati sebuah alur kecil tanah kuning yang subur. Ia tak takut sepatu pantofelnya kehilangan kilap karena debu dan tanah yang akan menempel.
Namun ia lebih takut pada pria di hadapannya yang mengenakan setelan formal sama dengannya. Hanya saja setelan pria tersebut berkali-kali lipat lebih mahal darinya.
Pria yang memperhatikan beragam tanaman sayuran dan buah-buahan yang sangat subur di lahan luas itu menoleh ke belakang. Dari suara decakan tanah basah, ia sadar jika seseorang menghampirinya.
"Selamat pagi, Pak Fabio!" sapanya begitu mata tajam itu menatapnya.
"Selamat pagi, Anton," jawabnya dengan senyuman, manik matanya seperti bercahaya. Apakah mentari pagi yang memberikan cahaya itu?
Anton tersenyum canggung, lalu mendekat hingga berdiri di samping Fabio. "Ini saya membawakan berkas rencana perjalanan kita minggu depan. Silakan dicek, Pak." Ia menyerahkan sebuah map berwarna merah.
Fabio membuka map tersebut tanpa mengeluarkan lembaran kertasnya. Ia memegang map seperti seorang inspektur upacara sedang membacakan teks pancasila, tidak melipat sisi map lain ke belakang sisi lainnya. Ia tak suka itu. Prinsipnya sangat menjunjung tinggi kerapian.
Alis Fabio mengerut, "Itali? Spanyol?... Prancis?" Fabio menyebut beberapa nama negara yang tertera di rencana perjalanannya, tetapi ketiga dari lima negara tersebut tidak termasuk rencana perjalanan yang ia pikirkan.
"Jadi begini Pak, setelah tujuan utama kita untuk mengunjungi perusahaan di arab saudi, negara-negara di eropa tersebut akan menjadi rute perjalanan kita selanjutnya yang akan menjadi destinasi liburan bapak," jelas Anton lancar dan bersemangat.
"Tapi jika bapak tidak menginginkannya, saya bisa membatalkannya, jadi hanya akan ada tiga negara yang akan kita kunjungi: arab saudi, mesir dan dubai," lanjut Anton.
Fabio menutup map tersebut, "Saya tidak masalah dengan rencana perjalanan ini," jawabnya yang membuat senyum sumringah Anton melebar. "Tapi sekali lagi saya ingatkan..." Fabio menyerahkan kembali berkas map itu ke tangan Anton.
Anton melihat perubahan ekspresi di wajah bos-nya... menjadi lebih tajam. Sepertinya Anton sudah mengetahui apa yang ingin dikatakan Fabio. Terlihat dari matanya yang menyipit dan senyum tipis terbentuk.
Fabio melanjutkan kalimatnya, "Saya tidak ingin melihat ataupun mengetahui ada seorang perempuan dalam perjalanan ini. Tidak peduli dari kalangan usia berapa pun, entah itu anak-anak, remaja, atau ibu-ibu. Jangan sampai ada yang mempekerjakan wanita di kapal saya. Pastikan semuanya hanya ada makhluk berjenis kelamin laki-laki. Kau mengerti?"
"Tidak juga wanita jadi-jadian atau sebaliknya." Fabio membungkam mulut Anton lebih dulu sebelum pertanyaan dari jawaban itu keluar dari mulut asisstennya.
"Mengerti, Pak!" sahut Anton tegas dan yakin.
Fabio mengangguk sekilas diiringi dengan memasukkan jemari ke dalam saku celana, lalu menerawang pemandangan perkebunan luas di sekelilingnya.
Beragam jenis buah-buahan dan sayuran tumbuh di tanah lapang dan luas dengan berjejer rapi dan terklasifikasi. Berada di tengah-tengah lahan tersebut seolah hanya memandang dunia yang ditumbuhi pepohonan dengan buah-buah yang lebat. Seperti berada di surga yang dibayangkan orang-orang.
Fabio memejamkan matanya sejenak sambil menghirup udara pagi yang membelai wajahnya.
"Ih dasar gendut, wajahnya mirip tokoh kartun kereta api yang sering aku tonton di TV." Seorang gadis cantik berambut keriting yang dikepang kuda menertawakan anak laki-laki berseragam merah putih yang berdiri di tengah-tengah kantin sambil membawa semangkuk bakso yang masih panas.
Mata cerah anak laki-laki itu menjelajah seluruh kantin demi menemukan kursi kosong yang akan ia tempati. Senyumnya mengembang setelah mendapatkannya satu di pojok kiri paling belakang.
Ia duduk dan meletakkan mangkuknya di atas meja, dengan berusaha mengabaikan tatapan sinis dan jijik dari teman-temannya. Penampilannya tidak kotor walau seragam putihnya sudah berubah menjadi warna krim dan celana merahnya sudah hampir menjadi oren sebab lama tak diganti, ditambah kekecilan untuk tubuhnya yang gemuk.
Alasan orang tuanya tak ingin mengganti seragamnya karena ia sudah berada di kelas enam. Jadi bukan karena mereka tak mampu. Walau terkadang ia merasa minder dengan seragam teman-temannya yang masih terlihat baru, tapi ia tak pernah menuntut orang tuanya.
Ia menyantap bakso dengan lahap, lalu tiba-tiba seorang gadis berambut keriting datang dan duduk di hadapannya. Anak laki-laki itu tidak berhenti menyantap bakso, tapi memeperlambat tempo makannya. Ia salah tingkah karena tidak nyaman ditatap saat makan.
"Hei, Fabio!" sapanya dengan wajah licik, "tidak heran, wajahmu bulat seperti kartun Thomas, karena makananmu bakso bulat setiap hari." Gadis berwajah cantik dan imut itu menertawakannya lagi.
Tawanya menular, sehingga hampir seluruh siswa Sekolah Dasar yang ada di kantin ikut menertawakannya.
Anak laki-laki bernama Fabio itu langsung berhenti mengunyah, pipi bulatnya semakin menggelembung karena bakso di dalam mulutnya belum ia telan. Fabio tertunduk dalam, tapi mata tenggelamnya melirik sekeliling.
Ia dapat menangkap semua ekspresi teman-temannya menertawakan dirinya karena lelucon gadis itu.
"Teman-teman, ayo lihat sini, pipinya semakin bulat dan dia semakin terlihat jelek." Gadis itu memanggil teman-temannya untuk menyaksikan bersama-sama Fabio yang tak dapat menahan malu. Pipi bulatnya memerah.
"Iya, kau benar, Tania, wajahnya bulat persis bakso itu," sahut salah satu temannya setuju.
Gema tawa kembali terdengar menyebalkan di telinga Fabio. Kepalanya semakin tertunduk dalam, bergeming. Harapannya dipaksa sirna pada orang-orang yang tak akan pernah perduli padanya.
Jika saja yang mengejek dirinya adalah teman laki-laki, Fabio mungkin sudah siap untuk menumpahkan kuah bakso itu pada wajah mereka.
Tania adalah seorang siswi pindahan yang awal kehadirannya dikira anugerah oleh Fabio. Fabio menjadi lebih bersemangat datang ke sekolah demi melihat wajah cantik gadis itu. Ia sendiri mengklaim bahwa Tania adalah cinta pertamanya.
Namun setelah mengenalnya, sikap gadis itu menjadi mimpi buruk bagi Fabio. Tania membuat image Fabio semakin terlihat buruk di mata teman-temannya.
Mental Fabio terpontang-panting disebabkan oleh Tania dan pasukan teman-teman perempuannya, tubuhnya mengeluarkan keringat, padahal bakso yang ia pesan, tanpa cabai atau saus sedikitpun, tapi karena gadis-gadis itu terus mengejek dan menertawakannya, ia menjadi takut, gelisah dan gugup.
Sepulang sekolah, sambil menunggu jemputan, ia berjalan di trotoar. Ia ingin cepat pergi dari sekolah agar bisa menghindari para siswa yang akan mengejeknya. Namun saat berjalan di trotoar, ia dihampiri mobil yang menjemput Tania.
Mobil itu melaju perlahan di sampingnya, tiba-tiba jendela mobil terbuka dan ia medapat lemparan air es dan saos kecap dari plastik jajanan goreng. Saos dan kecap mengenai wajahnya, air es berwarna coklat membasahi seragamnya.
"Dadah badut jelek dan gendut!" ledek Tania saat mengeluarkan wajahnya di balik jendela. Perlahan mobilnya semakin menjauh. Namun, Fabio masih dapat melihat tawa di wajah Tania yang puas menertawakan dirinya.
Apa yang dipikirkan orang tua anak di dalam mobil itu? Kenapa dia tidak melarang anaknya berbuat buruk terhadap temannya? Apa orang-orang itu hidup hanya untuk mengejeknya? Atau hidupnya yang hanya untuk diejek orang lain? Mungkin seperti itu pertanyaan yang bersarang di kepala Fabio sekarang yang tak dapat ia ungkapkan.
"Kenapa kau tidak menunggu ibu saja di gerbang sekolah?" tanya ibunya dengan nada tinggi. Hampir terkesan memaki.
"Gadis nakal itu pasti akan mengejekku jelek bersama teman-temannya jika aku menunggu di sana," jawab Fabio dengan nada pilu.
"Tidak ada gunanya kau menghindari mereka, toh yang mereka bilang juga benar, kamu itu tidak tampan, jadi terima saja." Ibunya memandang risih anaknya.
Perasaaan Fabio semakin kacau, hatinya berkecamuk, bahkan ibunya sendiri setuju jika ia berwajah jelek dan bertubuh gemuk. Ibunya tak membela dirinya sedikitpun dan malah menyalahkannya. Padahal bukan salah dirinya sama sekali terlahir jelek. Ia pun tak menginginkan itu sama sekali.
Masalah tubuhnya yang gemuk, itu karena ia terlalu sering diberi ayahnya minuman manis yang memiliki kandungan asam dan gula yang tinggi. Lalu sering pula memberinya makanan cepat saji, sehingga kalori di tubuhnya menumpuk setiap hari dan bertransformasi menjadi lemak yang tebal dan jadilah dia obesitas.
Tentu itu juga bukan salah Fabio, anak sebelas tahun belum mengerti hal tersebut jika tidak orang tuanya yang memberi tahu. Apa yang ia terima, jika ia suka, maka akan ia konsumsi tanpa memikirkan akibatnya.
"Ibu tidak mau kau naik motor, nanti baju Ibu juga kotor. Pokoknya kamu pulang jalan kaki, hitung-hitung sekalian menguruskan badanmu," kata ibunya tanpa merasa bersalah ataupun kasihan.
"Baik Bu," jawab Fabio terpaksa dengan wajah tertunduk. Ia tak berani menatap mata ibu tirinya yang menyeramkan ketika marah.
Akibat dari perbuatan Tania, ia dimarahi habis-habisan oleh ibunya ketika sampai di rumah.
Perubahan pada nasibnya terjadi kala ayahnya menikah lagi. Ibu kandung Fabio pergi dari dunia ini sebelum Fabio lancar mengucapkan kata "mama".
Sejak hari itu ia mulai merasakan takut dan cemas setiap kali bertemu dengan perempuan, bahkan ia tak pernah lagi berani menatap wajah ibunya ketika berbicara. Ia selalu menghindari interaksi jika melibatkan seorang perempuan.
Hingga ia mendapat pertolongan oleh sang kakek. Kakeknya menyadari bahwa Fabio tidak diperlakukan istimewa di rumah orang tuanya, akhirnya ia memutuskan untuk membawa dan merawat cucu satu-satunya itu ke desa.
Fabio sangat senang bisa tinggal di desa yang tidak banyak penduduknya. Sebab rumah kakeknya tersebut berada di lahan perkebunan yang sangat luas. Setiap hari ia diajak berkebun. Di sana jarang sekali menemukan makhluk yang ia takuti—perempuan.
Namun karena jarangnya ia bertemu, membuat ketakutannya semakin utuh. Ia menjadi semakin takut jika berhadapan dengan perempuan. Suatu ketika ada seorang wanita tua berkunjung ke kebun kakeknya, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan mengeluarkan keringat dingin serta jantungnya berpacu dengan tidak normal. Melihat seorang perempuan, seolah melihat hantu bagi Fabio.
Untuk menyembuhkan trauma Fabio, sang kakek membimbing Fabio untuk terus berolah raga setiap hari. Kakeknya membuatkan alat-alat olahraga sederhana dari kayu-kayuan dan sejenisnya yang bisa Fabio gunakan di sela ia berkebun.
Makanan yang ia konsumsi dari hasil perkebunan membuat dirinya menjalani pola hidup sehat. Pada akhrinya, Fabio kini tumbuh menjadi pria tampan dengan tubuh ideal dan atletis. Sangat terlihat berbeda dari dirinya sebelumnya.
Namun walau sudah memiliki penampilan bak pangeran, kecemasannya saat berhadapan dengan wanita masih tetap menyerang. Ia pun didiagnosis menderita gynophobia—ketakutan terhadap wanita cantik. Ralat, semua wanita.
"Pak, ini sudah pukul sembilan, bapak sudah harus kembali ke kantor perusahaan."
Suara serak Anton membuyarkan lamunannya. Namun Fabio bersyukur, dengan begitu bayang-bayang kelam sepuluh tahun silam, tersapu dari kepalanya.