Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 24 - Chapter 27~Chaos

Chapter 24 - Chapter 27~Chaos

~Rafael~

Aku terpaku di tempat saat melihat bayangan orang yang paling kubenci. Entah mengapa dirinya bisa ada di sini saat ini juga. Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada dipikirannya. Aku terus melihat ke arahnya saat ia mendekat ke arahku. Saat dirinya berdiri di dekat cahaya, aku bisa melihatnya secara jelas. Wajahnya terlihat tidak terawat karena kumis-kumis yang tidak dicukur terlihat memenuhi wajahnya. Kantung matanya terlihat menumpuk, seakan-akan dirinya tidak tidur selama beberapa tahun. Walau bagaimana pun dia tetap terlihat rapih dengan setelan jas yang dipakainya.

"Son.." Bisiknya pelan dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan.

"Why do you here? What do you want from me!" Teriakku kesal sambil menatapnya dengan sinis. Aku tahu aku baru saja membuat diriku menjadi pusat perhatian di tengah keramaian ini.

"I.. I just.." Serunya dengan terbata-bata.

"If you come here to say sorry or trying to explain anything. I don't want to hear it and I don't care!" Kataku dengan nada yang di sentakkan sambil memalingkan wajahku darinya.

"Okay... I get it. I just want to see you and say sorry. I reggretted for what I have done to you and your mom. And I wanna see you. You have been a handsome young man." Serunya.

"Of course you reggret it. But why now! You can say it a long-long time ago before she meets another man. You can fix it but you won't. You just care about your self!"

"I know I'm wrong but. I wanna fix it. If you give me a second change. Can you?" Tanyanya dengan penuh harap.

"I'm done with you! Just go away and never come back. Never search for me and meet me again. I'm already sick of you." Makiku kepadanya. Mungkin aku terlalu kasar kepadanya, namun aku benar-benar tidak peduli. Dia telah menoreh sebuah luka di hatiku dan aku sama sekali tidak tahu apakah luka ini akan sembuh.

Dia hendak mengatakan sesuatu hanya saja dia seperti ragu untuk mengatakannya. Dia pun berbalik dan pergi tanpa mengucapkan satu katapun kepadaku. Kurasa dia sangat kecewa dengan sikapku. But you know what! I don't care what he is thinking.

Setelah kepergiannya aku masih tertuduk di tempat yang sama. Rasanya ingin sekali menghajarnya tapi tentu tidak bisa. First mom will get angry at me. Secondly I don't want to humilate my self anymore. And third I really hate him and I dont want to reggret what I have done latter.

Setelah duduk cukup lama mencoba menenangkan emosiku, aku segera berjalan di tengah hujan yang sangat deras. Aku baru sadar kalau selama aku berbincang dengannya hujan telah turun dengan derasnya. Dengan amarah yang masih tersisa aku berlari untuk melelahkan diriku sendiri. Aku bahkan tidak mengetahui kemana arah yang kutuju. Setelah cukup lelah dan merasa puas menghabiskan seluruh tenagaku, aku berhenti di salah satu pagar pembatas jalan yang menghadap ke arah jalan tol. Di sana aku berteriak sekencang-kencangnya dan dengan sendirinya otakku mengulang kembali kejadian-kejadian masa kecilku. Mungkin saat ini orang-orang di bawah sana mengira diriku adalah orang gila.

Setelah kurasa cukup untuk melepaskan emosiku aku terduduk sambil bersandar ke belakang pagar. Aku mendongakkan kepalaku menikmati buliran air hujan yang menerpa wajahku. Rasanya cuaca saat ini benar-benar menggambarkan emosiku. Petir-petir yang menyambar entah mengapa saat ini benar-benar membuatku tenang.

Tiba-tiba aku merasa getaran dari handphoneku. Aku melihat banyak sekali missed call dari mom. Sepertinya orang itu memberitahu mamah soal ini. Melihat itu aku mengeluarkan kata-kata kasar sambil memakinya. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti bagaimana mamah bisa memaafkannya. Aku mengabaikan panggilan dari mamah karena aku tidak akan sanggup untuk menerima omelannya saat ini. Yang aku perlukan adalah mengalihkan pikiranku dari pria itu.

Aku kembali menscroll handphoneku dan melihat satu missed call dari Andrea. Aku kembali memaki diriku karena lupa akan dirinya. Orang tua itu benar-benar mengacaukan hariku. Karena kedatangannya yang tiba-tiba, dia benar-benar menghancurkan moodku dan membuatku menelantarkan Drea. Aku yakin sekarang dia pasti ketakutan dan sendirian di rumah. Dengan cuaca seperti ini, apalagi dengan petir-petir yang menyambar, aku yakin dia pasti sedang ketakutan melawan memori-memori buruknya.

Aku segera memesan GoJek menuju alamat Drea. Aku benar-benar lupa akan dirinya. Aku tidak yakin jika kak Andrew sudah sampai di rumah. Semoga saja dia tidak kenapa-kenapa. F*ck! I really hope she will be okay. Aku yakin dia sangat menderita saat ini. Panick attacknya sekarang pasti sedang melandanya, aku harap itu tidak buruk.

Aku mengingat saat kak Andrew sedang berbincang denganku di apatermen beberapa hari yang lalu, dia berkata bahwa Drea menderita panick attack setiap kali petir menyambar. Aku tidak tahu jelas seperti apa itu, namun saat mengingat dirinya yang pernah menangis dengan histeris di apatermenku, aku langsung mengetahui bahwa itu adalah salah satu serangannya. Bahkan kata kak Andrew hal itu bisa terjadi lebih parah. Dia sering sekali pingsan jika keadaan itu terjadi.

Setelah sampai di depan rumahnya, aku bergegas berlari ke dalam rumah. Saat sampai di dalam rumahnya, rumah itu sangat sepi dan pintunya terkunci. Aku mencoba membukanya dengan segala cara dan tetap saja pintu itu tidak mau terbuka. Satu-satunya cara adalah dengan mendobraknya. Aku mencoba mendobrak beberapa kali dengan seluruh tenagaku yang tersisa. Setelah berhasil mendobraknya aku segera mencari Drea ke segala ruangan di lantai satu.

Doodle mulai menggonggong saat aku memasuki area dapur. Aku melihat sebuah pecahan gelas di lantai. Hal ini benar-benar membuatku panik. Aku segera memanggil-manggil Drea namun sama sekali tidak ada jawaban. Aku segera berlari ke arah kamarnya dan menemukan dirinya tergeletak di sudut kamar. Aku segera menghampirinya dan mengira dirinya telah kehilangan kesadarannya. Oh shit! I'm so sorry Drea...

Saat aku berada tepat di depannya, dirinya langsung menggapai lenganku sambil memegang lehernya. Dengan otomatis aku segera menaruhnya dalam pelukannku. Saat ini sepertinya dia benar-benar kesulitan untuk bernafas. Aku segera menggendongnya ke atas tempat tidur. Aku mengingat bahwa kak Andrew sempat memberitahuku kalau aku harus memberikan obat yang ada di dapur kepadanya jika terjadi suatu hal seperti ini. Kak Andrew bilang Drea benci sekali untuk meminum obat itu, jadi setiap pannick attacknya menyerang dia selalu menghindarinya dengan pura-pura tertidur padahal dirinya masih mengalami kesulitan bernafas. Dia selalu meletakan obat itu jauh-jauh darinya.

Aku segera turun ke bawah untuk mengambil dua pill obat di lemari obat-obattan dan segelas air. Setelah itu aku segera kembali ke kamar Drea. Aku menyandarkan Drea ke pundakku dan memberikan kedua pil itu. Untung saja kali ini Drea mau menerimanya tanpa mengeluh. Setelah dia selesai menegak habis seluruh airnya, aku kembali menyenderkannya di dadaku dan membantunya untuk menormalkan nafasnya kembali. Melihatnya seperti ini benar-benar membuatku marah kepada diriku sendiri karena seharusnya aku dapat mencegahnya.

"I'm so sorry Dre.... I'm sorry." Bisikku kepadanya. Tubuhnya yang gemetaran mulai kembali normal. Nafasnya mulai kembali teratur. Sepertinya obat itu benar-benar bekerja kepadanya.

"Aku takut Raffa.." Bisiknya berulang kali dalam dekapanku.

"Sshh... I'm here.. It's okay I'm here. You wont never be hurt cause I'm here." Bisikku menenangkannya. Kak Andrew memberitahuku bahwa dengan mengatakan hal-hal seperti ini hal itu akan membantu dirinya untuk lebih tenang dan tidak kembali ketakutan.

Setelah beberapa kali aku memeluknya dia sudah sepenuhnya kembali tenang. Dia melepaskan diri dari pelukanku dan duduk di sampingku. Drea mengambil nafas panjang dan melihat ke arahku dengan khawatir dengan senyum kecil di bibirnya. Dia pun melepaskan pandangan dariku dan aku pun mengikuti arah pandangnya. No... No.. Please don't right now! Seruku saat aku melihat arah pandangnya menuju kursi roda. Aku tahu apa yang ada dipikirannya sekarang, dan aku belum siap akan hal itu. Kondisi fisik dan mentalku belum siap untuk menghadapi dirinya. Hal yang paling kutakutkan sepertinya sebentar lagi akan terjadi dan aku benar-benar dalam kondisi mental yang tidak baik. Mengingat pertemuanku dengan orang itu hari ini.

"Thanks for calming me Raf..." Serunya dan aku menjawabnya dengan anggukan. Pikiranku sekarang sedang kacau dengan semua hal yang baru saja terjadi dan akan terjadi nantinya.

"And I think it's time for you to know all of my secret. Since you already find out 70% of it." Serunya sambil tertawa pelan.

"This is not the right time. Please don't tell me now." Seruku dengan tegas kapadanya.

"If it isn't right now. I don't know if I have a courage to tell you again. So all this time I'm hidding the fact that I'm a dissa." Aku langsung memutuskan perkataannya. Jika Drea meneruskannya lebih lanjut semuanya akan terbongkar dan dia akan kembali mengingat masa lalunya sementara aku sedang berada dalam kondisi mental yang tidak baik untuk menenangkannya.

"Cut it out! I said I'm not ready for it." Seruku dengan nada yang di sentakkan. Hal itu membuat Drea terdiam dan dia terlihat terkejut dengan reaksikku. Dia diam selama beberapa saat. Sepertinya dia sedang menyambungkan kepingan puzzle yang aku berikan dalam pikirannya.

"Kau tahu semuanya?" Serunya terkejut dengan setengah berbisik.

"You know it?!" Serunya kali ini dengan lebih keras. Aku hanya diam. Aku tidak berani menjawabnya.

"Kakak pasti memberitahumu.... Jadi selama ini kau mengetahui kalau aku adalah seorang gadis cacat yang tidak bisa apa-apa. Makannya kau merasa kasihan kepadaku dan menjadi temanku. Selama ini kukira kau tulus melakukannya. Kau sama saja." Bentaknya dengan suara tercekat akibat air matanya yang mulai mengalir. Aku benar-benar terluka dengan tatapannya kepadaku saat ini. Dan aku lebih membenci diriku sendiri yang sama sekali tidak bsia menenangkannya saat ini.

"Aku tulus kepadamu. Jadi kumohon hentikan!" Perintahku.

"Aku mohon... Kita berdua sedang dalam kondisi mental yang tidak baik. Bisakah kita melanjutkannya nanti?" Bujukku dengan suara yang kucoba untuk pelankan.

"Melanjutkannya lain kali? Itu tidak mungkin. Setelah ini apa yang akan terjadi kepada kita tidak mungkin sama lagi. Kau sudah tahu itu dan kau mau melanjutkan percakapan ini lain kali dan berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa seperti yang kau lakukan sebelumnya." Katanya sambil menatap mataku dengan tajam.

"Itu tidak mungkin Raf! Aku tidak mungkin melakukan hal itu..." Bisiknya sambil menundukkan kepalanya ke bawah.

"Apakah kau malu dan tidak mau menerima diriku yang sesungguhnya, sehingga kau menghindari penjelasanku? Aku tahu aku seorang gadis cacat. Seharusnya dari awal aku tidak mencoba membuka diriku kepadamu." Tanyanya dengan suara tersakiti. Oh God! I really can't take this anymore! Her words is make me really angry at her.

"Aku tidak malu! Aku menyukaimu apa adanya! Jadi berhentilah memandang rendah dirimu sendiri! I'm enough of this conversation! I'm leaving." Seruku sambil meninggalkan kamarnya.

Aku benar-benar tidak tahan menghadapinya saat ini. Bahkan kondisinya lebih buruk dari yang kubayangkan. Drea benar-benar seperti sebuah kaca yang rapuh dan aku yakin jika aku lebih lama berada di sana menghadapi dirinya yang seperti ini aku akan menghancurkannya. Bahkan aku mungkin aku sudah menghancurkannya berkeping-keping.

Saat turun ke bawah tangga aku tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang gadis yang sepertinya adalah teman kak Andrew. Dengan semua kekacauan ini aku bahkan tidak mendengar kedatangan kak Andrew. Aku melanjutkan langkahku tanpa memandangnya dan mengucapkan permintaan maaf. Pikiranku sedang kacau dan yang aku inginkan saat ini adalah menghajar seseorang sampai orang itu mati.

"Hei Raf! Terimakasih telah menenangkan Drea." Seru Kak Andrew ketika dirinya melihatku.

Aku sama sekali tidak mendongakkan kepalaku dan mengabaikannya. Aku terus melanjutkan langkahku tanpa memperdulikannya. Aku berjalan cepat sementara kak Andrew terus memanggilku dan mengejarku. Aku sama sekali tidak ingin berhubungan dengan siapapun saat ini. Aku pun berlari menerobos hujan yang sudah mulai mereda. Tanpa berpikir dua kali aku langsung menaiki angkot menuju rumahku.

Sesampainya di depan gedung apatermen, aku melanjutkan langkahku menuju apatermen. Aku langsung membaringkan tubuhku di atas sofa. Menaruh tanganku di atas kepalaku sambil menghela nafas panjang. Semua hal yang terjadi di hari ini kembali mendatangi kepalaku. Aku benar-benar frustasi dengan semua ini!

Bagaimana bisa semua hal yang kutakutkan dan kubenci terjadi pada satu hari yang sama?! Padahal aku baru saja berbaikan dengan Drea dan sekarang Drea pasti membenciku. Belum lagi orang tua itu! Aku yakin dia tidak akan menyerah. Dia orang yang sangat keras kepala dengan kepribadiannya yang keras.

Aku tak tahan lagi dengan semua ini! Aku bangkit dan membalikkan meja yang ada di dekatku sambil berteriak marah.

"Kenapa! Kenapa!" Seruku marah sambil menghancurkan perabotan yang ada di sekelilingku.

"Kenapa semuanya terjadi di hari yang sama...." Kataku setengah berbisik, setelah berjam-jam melampiaskan amarahku kepada apatermenku yang tak bersalah ini.

Aku terperosot dan terduduk sambil menyandarkan diriku di sofa. Aku menutup muka dengan kedua tanganku. Sepertinya hari ini merupakan hari terburuk yang pernah ada dalam hidupku. Aku sangat frustasi dengan situasi yang ada. Kenapa aku begitu bodoh dengan melakukan sesuatu hal seperti itu? Aku benci diriku sendiri karena tidak bisa mengontrol emosiku dan melemparkannnya kepada Andrea seperti sebuah bom.

"She's must be hurt this time.." Bisikku. Tiba-tiba sebuah titik air jatuh ke tanganku dan aku baru menyadari kalau pelupuk mataku telah dibanjiri dengan air mata. Kali ini aku membiarkan titik air mata terjatuh bersama dengan seluruh emosiku. Kesal, kecewa, frustasi, marah, takut. Semua emosi itu bercampuk aduk.

Aku sama sekali tidak mengetahui bagaimana caranya berbaikan dengan Drea. Bahkan mungkin akibat kekacauan ini aku sudah kehilangan Drea sepenuhnya.

"Apa yang kulakukan saat besok bertemu dengannya di sekolah?" Tanyaku frustasi sambil melihat ke arah jam yang menunjukan pukul setengah tiga pagi. Bahkan dalam beberapa jam aku akan bertemu dengannya.

Aku terdiam sambil memikirkan segalanya. Kusenderkan kepalaku dan menselonjorkan kakiku dan merentangkan ke dua tanganku. Kupenjamkan mataku. Lagi-lagi wajahnya yang menunjukan ekpresi terluka terukir kembali di kepalaku. Rasanya ingin sekali hilang dari muka bumi saat ini. Namun aku tahu mengakhiri hidupku seperti itu hanya akan memperburuk masalah. And I wont give up on her.

Sebuah sinar matahari menembus celah tirai dan menyinari wajahku. Tak terasa aku menghabiskan waktu satu malam hanya berpikir bagaimana caranya memperbaiki semua masalah ini. Dengan malasnya aku berdiri dan berjalan menuju kamarku. Satu-satunya tempat yang tidak hancur oleh monster dalam diriku.

Setelah bersiap-siap pergi menuju sekolah. Bahkan aku tidak yakin akan mengikuti pelajaran dengan baik. Setelah meminta Aldo menjemputku, aku menunggunya di lobi. Bahkan aku tidak berselera untuk memakan apapun untuk sarapan.

"Woah man! You look like a crap!" Seru Aldo ketika melihatku terduduk dengan kedua tanganku di kepalaku.

"Morning to you too." Seruku sarkastik sambil berdiri menghampirinya dan mendahuluinya ke arah motornya.

"Jangan bertanya apapun!" Seruku tepat sebelum dirinya mengeluarkan suara.

"Baiklah." Jawabnya sambil mengedikan kedua bahunya.

Apa yang harus kulakukan saat bertemu dengannya? Aku harap dapat menghindarinya sepanjang hari untuk sementara waktu. Sampai emosiku kembali normal.