Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 27 - Chapter 30~Reveal

Chapter 27 - Chapter 30~Reveal

~Andrea ~

Aku terbangun dengan pikiran yang tidak tenang. Aku ingin sekali tidak bersekolah hari ini dan mengikuti usul mama, namun jika begitu aku tak akan pernah berani untuk datang ke sekolah. Aku harus melawan ketakutanku sendiri. Aku memaksa tubuhku untuk bangun dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dengan malasnya aku turun ke bawah. Kalau jujur ingin rasanya menghindar dari mereka.

"Pagi sayang." Sapa mama yang sedang menyiapkan sarapan.

"Pagi ma." Seruku sambil mengambil sehelai roti dan langsung kumakan.

"Perasaanmu baik-baik saja?" Tanya mama. Insting seorang ibu memang tajam. Aku hanya mengangguk menjawabnya sambil terus berkutat dengan roti yang sedang kukunyah.

"Hati-hati di sekolah ya. Jangan sampai capek juga. Mama takut kamu drop lagi." Serunya sambil memberikanku bekal dan menyerahkan roti panggang.

"Kakak belum turun?" Tanyaku.

"Kau bisa memanggilnya. Tadi dia membawa sarapannya ke kamar. Sepertinya dia sedang mengerjakan sesuatu di kamarnya." Jawab mama. Aku pun menganggukkan kepalaku dan setelah menghabiskan seluruh roti, aku segera pergi memanggil kakak untuk mengantarku ke sekolah.

Sesampainya di sekolah tanpa berpikir panjang aku langsung masuk ke dalam kelas dan duduk di mejaku. Untung saja teman-temanku belum ada yang datang karena aku datang lebih pagi. Setidaknya dengan begini aku bisa menghindari mereka, terutama dirinya.

Aku langsung memakai headset dan membaca novel, mencoba mengabaikan sekelilingku. Saat Aldo datang dan menyapaku aku menjawabnya hanya dengan sebuah senyuman lemah. Aku terpaksa menjawabnya karena Aldo terus saja memanggilku bahkan sampai datang ke mejaku sehingga aku tidak dapat mengelak lagi.

Setelah lolos dari cengkraman Aldo aku langsung dihadapkan dengan dirinya. Saat Rafa memasuki kelas, aku langsung diam seketika. Aku tidak dapat mencegah pandanganku untuk melihat ke arahnya. Aku memperhatikan setiap gerak langkahnya. Aku tidak bisa mencegah perasaan terluka saat dirinya berjalan langsung ke arah tempat duduknya. Walaupun aku tahu dirinya akan menghindar dariku seperti itu, namun tetap saja rasanya sakit.

Aku menghelas nafas panjang. Hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan bagiku. Aku yakin kalau Rafa belum memberitahukan soal rahasiaku kepada yang lain karena Aldo masih menyapaku tadi pagi. Aku tidak tahu kapan mereka akan menuntut penjelasan itu. Semoga saja mereka memintanya saat aku benar-benar siap.

Rasanya ingin menangis karena semua rasa sakit yang tiba-tiba ini. Teman. Aku tidak tahu bahwa teman akan seberarti ini bagiku. Rasanya sakit ketika teman-temanmu pergi meninggalkan dan tidak ada untukmu.

Saat istirahat Rafa kembali mengabaikanku dan langsung pergi ke kantin. Aku kembali termenung dalam kesendirianku.

"Hei Dre.." Seru Kyla menyapaku. Seketika aku terpaku di tempat. Aku senang saat dia memanggil namaku, namun aku tahu itu tidak akan bertahan lama. Aku harus menjauhkan dirinya sebelum aku semakin terluka.

Aku mengabaikannya dengan mengambil headsetku dan segera memakainya. Aku tahu dirinya sempat memandangku dengan aneh, namun aku membiarkannya dan memfokuskan diriku ke dalam novel.

"Dre..." Serunya lagi. Dia bahkan sampai melambai-lambaikan tangannya di depanku namun aku tetap membiarkannya. Dia terus mencoba mengambil perhatianku dengan segala cara bahkan sampai mengambil novel.

Saat dirinya mengambil novelku, saat itu aku marah karena bisa dibilang dia sudah keterlaluan. Aku segera melepaskan headsetku dan menatapnya garang.

"Aku sedang tidak ingin diganggu sekarang. Bisakah kau pergi." Seruku dengan nada dingin dan kembali memakai headsetku dan mengambil novelku dari tangannya dan kembali membacanya. Aku sempat melirik ke arahnya dan mendapati dirinya tengah memandangku dengan pandangan terkejut dan terluka.

"Dre.... Aku tidak tahu aku salah apa tapi aku mohon jangan seperti ini. Kau membuatku takut." Katanya dengan suara yang terluka. Aku kembali mengabaikannya.

Setelah beberapa lama sepertinya dirinya mulai emosi dengan kelakuanku yang mengabaikannya, dia melepaskan headsetku dan berbicara.

"Aku tidak tahu aku salah apa denganmu tapi mohon maafkan aku dan berhenti bertindak seperti ini!" Teriaknya emosi. Aku menatapnya dengan tatapan dingin dan membetulkan letak headsetku.

"Mulai dari sekarang jangan ganggu aku. Dan kau tidak salah apapun." Kataku dan kembali memasang headsetku. Setelah itu dia menatapku tidak percaya dan lansung meninggalkanku. Aku dapat melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku merasa bersalah karena telah membuatnya menangis karena ke egoisanku sendiri.

Setelah Kyla meninggalkanku, aku segera menaruh novel dan menghela nafas panjang. Aku menaruh kepalaku di atas meja. Rasanya ingin sekali menangis saat ini. Aku memejamkan mata dan kembali menghela nafas panjang. Akibat semua masalah ini kepalaku menjadi sangat pusing. Untung saja setidaknya panic attack-ku tidak muncul.

Sepanjang istirahat aku hanya terdiam sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Aku bahkan tidak menyadari saat bel istirahat berakhir berbunyi. Aku sama sekali tidak menyentuh kotak bekalku karena aku sama sekali tidak bernafsu makan.

Setelah semua orang masuk kelas aku tidak mendapati Rafa dan yang lainnya di dalam kelas. Namun tidak beberapa lama kemudian Aldo, Alex dan Tio datang dan menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku yang melihatnya langsung memalingkan mukaku. Apakah mereka sudah mengetahuinya? Apakah Rafa memberitahukan segalanya? Semoga saja iya.

Pelajaran pun berlanjut dan aku sama sekali tidak menemukan Rafa selama ini dan mereka terus saja memandangiku dengan tatapan menyelidik. Aku risih dengan semua ini.

Saat istirahat ke dua, aku sudah menyiapkan perlengkapan tempurku. Aku langsung memakai headset dengan cepat dan langsung tenggelam dalam dunia novel. Aku tahu kalau mereka bertiga akan mengintrogasiku saat ini.

Benar saja, mereka langsung datang ke arah mejaku. Aku yang melihat hal itu tetap saja pada pendirianku untuk mendiamkan mereka. Aku berusaha tidak menatap ke arah mereka bertiga yang sedang berdiri di depan mejaku. Alex sudah duduk di depanku, sementara Tio mengambil kursi dan duduk di sebelahku dan Aldo yang berdiri di sebelah Tio.

"Andrea... Bisakah kami berbicara denganmu?" Tanya Aldo dengan lembut. Aku tetap mendiamkan mereka.

Alex dengan beraninya melepaskan headsetku dan membuatku menatap garang ke arahnya. Sementara dirinya hanya tersenyum kecil melihatku dengan tatapan garangku. Aku pun menyerah dan mencoba meladeni mereka.

"Baiklah.. Apa?" Tanyaku.

"Hei... Aku tahu kau bermasalah dengan Revan tapi kau tidak perlu melampiaskannya seperti itu kepada kami." Keluh Alex dan seketika dirinya mendapat pukulan dari Aldo.

"Bisakah kau tidak berbicara seperti itu." Seru Aldo memarahi Alex.

"Kau terlalu blak-blakan Lex!" Ledek Tio.

"Kalian bisakah diam." Keluhku karena terganggu dengan mereka. Seketika mereka pun terdiam karena perkataanku. Melihat mereka yang ketakutan dengan sikapku membuatku terkekeh pelan. Reaksi yang mereka berikan benar-benar lucu. Sekarang mereka takut kepadaku dan itu sangat lucu.

"Maafkan kami." Seru Aldo yang tersenyum dengan lembut. Sepertinya mereka mendengarku terkekeh karena mereka bertiga tersenyum kepadaku. Aku pun memutar bola mataku karena reaksi mereka.

"Jadi apa yang kalian mau?" Tanyaku kembali dengan suaraku yang dingin itu.

"Sebelum aku bertanya, aku ingin menyampaikan pesan Revan terlebih dahulu. Dia bilang bahwa kau bisa mempercayai kami dan kami tidak akan menyakitimu seperti dia. Dia juga bilang untuk menjelaskan semuanya itu sendiri karena bukan hak dia untuk berbicara." Tutur Aldo.

Ketika mereka bilang begitu aku langsung mengumpat 'bullshit!' dalam hatiku. Aku mempercayai mereka?! Itu sangat tidak mungkin. Haruskah aku mempercayai mereka? Tentu saja tidak! Namun aku memang harus menjelaskannya karena aku benar-benar tidak akan peduli lagi dengan apa yang akan terjadi. Aku mencoba untuk tidak terpengaruh dengan yang namanya teman. Aku ingin kembali menjadi diriku yang dulu.

"Baiklah. Akan aku bongkar rahasiaku. Namun bukan karena aku percaya pada kalian, namun karena aku sudah tidak peduli dengan semua ini." Seruku dingin. Mereka yang mendengar penjelasanku segera terdiam di tempat.

"Kalau seperti ini kami tidak akan mendengarkannya!" Seru Alex kesal.

"Ka..Kalian benar. Dre.. Kau tahu? Kami ini sangat menyayangimu. Tidak peduli apapun rahasia yang akan kau ungkapkan! Aku mohon percayalah pada kami." Seru Kyla yang secara tiba-tiba datang. Aku yang mendengar penuturannya segera memutar bola mataku kesal.

"Kalian saja belum mendengarkannya." Seruku dingin.

"Kami tahu! Namun apapun itu kau tetap sahabatku Dre!" Seru Kyla berteriak. Aku dapat melihat dirinya yang frustasi untuk membuatku percaya kepadanya. Bahkan air matanya mulai terlihat.

"Baiklah begini saja. Kami dengarkan rahasiamu setelah itu kamu memutuskan apakah kami masih bisa berteman denganmu atau tidak." Usul Aldo.

"Baiklah." Jawabku singkat karena aku benar-benar sudah tidak peduli.

Kami pun pergi ke lantai tiga seperti biasa. Aku tidak dapat memungkiri ketakutanku. Walau pun berkali-kali aku berkata aku tidak peduli dengan reaksi mereka, namun tetap saja sebenarnya aku peduli. Ketakutan benar-benar melandaku saat ini. Berulang kali aku meremas ujung rokku. Kenapa aku harus berubah dan menjadi percaya dengan mereka. Seharusnya dari awal aku tidak mendekati mereka. Resiko yang kuambil benar-benar terjadi sekarang.

"Baiklah. Lebih baik aku tunjukan saja." Seruku dan langsung duduk di salah satu anak tangga. Aku mulai melepas sepatu dan kaos kakiku. Mereka melihat ke arahku dengan bingung.

"Hmm.. Apa yang kau lakukan Drea?" Tanya Tio bingung.

"Menunjukan rahasiaku." Jawabku dan terus melanjutkan aktifitasku melapaskan sepatuku.

Saat keduanya telah terbuka aku mendongakkanku melihat ke arah mereka. Mereka menatapku dengan tatapan penasaran dan bingung. Aku menghela nafas panjang sebelum aku membuka kaki palsuku. Setelah yakin aku bisa, aku pun mulai membukanya dengan perlahan. Setelah selesai aku menaruhnya di sampingku dan menatap mereka dengan tatapan takut yang tidak bisa kusembunyikan.

"Kau memakai stocking?" Tanya Alex dan Tio bingung.

"Stocking?" Kyla terlihat bingung. Memang kaki palsuku terlihat seperti itu namun dia lebih keras dan tidak bisa dilipat. Seperti mengenakan sepatu boots dari plastik namun lebih tipis dan keras.

"Itu bukan stocking." Seru Kyla.

"Ini bukan stocking. Ini kaki palsuku." Jawabku dan langsung menundukan kepalaku. Aku benar-benar tidak berani melihat mereka sekarang. Aku berpura-pura melihat kakiku demi menghindari tatapan mereka.

"Kau menggunakan kaki palsu?" Tanya Aldo bingung. Sedari tadi dia tidak berbicara dan hanya memperhatikanku. Aku hanya mengangguk menjawabnya.

"Tapi itu tidak terlihat seperti sebuah kaki palsu." Seru Tio bingung.

"Ini kaki palsu yang sengaja ayahku buat untukku." Jawabku singkat.

"Tunggu! Jadi kau selama ini .... eem...lum...puh?" Tanya Alex tidak yakin. Aku hanya mengangguk menjawabnya.

Mereka menatapku tidak percaya. Selama beberapa menit keadaan menjadi sunyi. Mereka semua masuk ke dalam pikirannya masing-masing untuk menyerap informasi yang baru saja aku sampaikan. Sementara aku hanya diam sambil menutup mataku menyiapkan mentalku untuk reaksi mereka.

"Eeem... Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa." Seru Tio memecah kesunyian. Aku menghela nafas panjang mendengarnya.

"Kalian boleh menghinaku sekarang." Kataku dengan dingin.

"Tentu saja tidak!" Seru Tio panik.

"Drea... Tidak mungkin kami menghina teman kami sendiri." Seru Aldo lembut. Kyla menghampiriku dan memelukku. Aku menatap dirinya dan yang lain dengan bingung. Kenapa mereka tidak mengataiku? Apakah mereka mengasihaniku? Aku benar-benar tidak butuh rasa kasihan mereka.

"Jika kalian berteman denganku hanya karena kasihan. Aku benar-benar tidak membutuhkan hal itu!" Seruku kesal.

"Hei! Kamu pikir kami menganggapmu rendah dan berbeda karena kau tidak bisa berjalan? Itu tidak mungkin." Seru Alex.

"Dre.. Percayalah kami benar-benar menyayangimu. Kau sahabatku dan aku tidak kasihan padamu. Kau orang terkuat yang pernah aku lihat." Seru Kyla sambil tersenyum.

Aku hanya diam tidak menanggapi mereka. Benarkah itu? Haruskah aku mempercayainya? Mereka tidak akan mengejek dan menjauhiku nantikan? Aku benar-benar takut. Tanganku mulai bergetar dan keringat dingin keluar.

Kenanganku saat aku masih kecil tereka kembali. Aku mengingat saat teman-teman masa kecilku menjahili dan membullyku. Awalnya mereka berbuat baik padaku, namun semua itu hanya sebuah sandiwara belaka. Di saat aku keluar dari despresiku mengenai kecacatanku ini dan mulai mencintai diriku apa adanya, aku keluar berharap orang lain akan menerimaku. Awalnya aku di ejek dan bully habis-habisan. Aku tidak berani bilang ke kakak apa lagi orang tuaku, aku benar-benar memendam semua itu sendiri.

Setiap sore orang tuaku menyuruhku keluar untuk bermain bersama teman. Tentu saja kuturuti karena tidak ingin membuat orang tuaku sedih, walaupun aku tahu aku hanya akan dibully di sana. Hingga seorang anak perempuan datang dan berteman kepadaku. Aku yang saat itu masih polos dan disertai banyak harapan langsung menerimanya begitu saja. Ternyata semua itu hanyalah kerjaan anak lain yang menyuruhnya untuk berteman denganku. Sampai saat itu aku benar-benar tidak mau keluar rumah lagi sampai akhirnya Doodle muncul.

"Dre.. Kau tidak apa-apa!" Seru Kyla panik. Aku baru menyadari panick attack kembali muncul. Aku mencoba memejamkan mataku dan menghitung angka sambil menetralkan nafasku. Selama ini Kyla menyandarkan tubuhku di tubuhnya dan yang lain duduk mengelilingku. Muka mereka panik dan sangat ketakutan. Aku benar-benar mengerti jika mereka tulus kepadaku sekarang.

"Maafkan aku." Seruku sambil mencoba duduk dengan tegap.

"Kau kenapa Drea? Perlu kita ke ruang UKS?" Tanya Aldo beruntun.

"Aku akan mengambil minum!" Seru Tio sambil pergi dari sini.

"Kau tidak apa-apa? Kau membawa obat atau semacamnya?" Tanya Alex khawatir. Aku tertawa pelan melihat mereka yang sepanik ini.

"Aku benar-benar tidak apa-apa guys." Seruku sambil tersenyum. Seketika Tio datang dengan membawa botol minumku dan dengan keringat di seluruh wajahnya.

"Terimakasih." Seruku sambil menegak habis minumku.

"Kau sebenarnya kenapa sih Drea?" Tanya Kyla khawatir.

"Barusan saja panick attack-ku kambuh." Jawabku.

"Kau menderita panick attack? God! I'm really sorry.. " Seru Aldo.

"Tidak apa." Seruku sambil tersenyum lemah.

"Maafkan kami yang memberikanmu banyak tekanan." Serunya lagi. Kali ini aku hanya mengangguk dan melihat teman-temanku yang lain kebingungan.

"Ehm.. Seseorang bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi?" Tanya Tio bingung. Aku dan Aldo pun tertawa melihat muka mereka yang benar-benar lucu.

"Itu bisa kujelaskan nanti. Sekarang apa yang Revan lakukan sampai kalian seperti ini?" Tanya Aldo. Aku pun menghela nafas panjang.

"Aku juga penasaran." Seru Kyla. Aku pun mengangguk.

"Sehabis pulang dari mall aku kembali terserang panick attack, dan saat itu tidak ada siapapun di rumah. Dengan kesadaran yang tinggal sedikit aku mencoba menghubungi seseorang yang terkahir kutelphone dan itu adalah Rafa."

"Setelah diriku tenang dan menyadari bahwa Rafa telah melihat kursi roda yang kukenakan, aku berpikir ini saatnya untuk memberitahukannya semuanya. Dan dia menolak untuk mendengar penjelasanku. Awalnya aku bingung kenapa? Namun aku menyadarinya bahwa dia telah mengetahui semuanya. Kak Andrew memberitahunya beberapa hari yang lalu. Saat itu dia berteriak kepadaku untuk tidak menjelaskan apa-apa dan pergi begitu saja. Aku benar-benar shock dan bingung saat itu. Aku menangis karena aku menyadari bahwa dirinya tidak mau mendengarkan penjelasan dariku karena dia tidak mau menerima diriku yang cacat ini. Dan itulah yang terjadi kenapa aku marah kecewa kepadanya. Itu seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan."

Semuanya diam saat mendengar ceritaku. Mereka sepertinya mengerti betapa sulitnya aku untuk mempunyai teman dan mempercayai arti pertemanan dan salah satu temanku sendiri telah merusaknya. Aku dapat melihat muka mereka yang mengeras dan kilatan marah di mata mereka. Dan tepat saat itu bell istirahat pun berbunyi.

Kami pun masuk ke dalam kelas dan melanjutkan perjalanan. Saat pulang sekolah aku kebingungan mendapati Alex yang dengan cepat pergi ke luar kelas dengan emosi yang tak terkendali. Tio yang melihat itu langsung menyusulnya. Aku yang penasaran langsung mengejar mereka namun tertahan oleh Aldo. Dia memintaku agar ikut bersama dengannya.

Kami pun menyusuri sekolah untuk mencari Alex. Aku melihat Tio sedang berjaga di depan lapangan basket indoor. Seketika aku langsung berjalan ke arahnya. Tio yang melihatku tampak kaget dan melihat ke arah Aldo untuk meminta persetujuan apakah aku boleh melihat apapun yang terjadi di dalam. Aldo pun mengagguk dan dengan seketika aku menerjang Tio dan melihat Rafa dan Alex yang sedang bertengkar.

Dengan cepat aku berjalan ke arah mereka dengan maksud untuk melerai mereka namun sebuah tangan menahan pinggangku sehingga aku tidak bisa ke mana-mana. Aku melihat ke belakang dan mendapati Aldo yang tengah menatapku dan menggelengkan kepalanya. Aku yang mengerti hal itu langsung mengangguk pelan.

"Apa mereka akan baik-baik saja?" Tanyaku khawatir. Aldo tersenyum kepadaku.

"Percayalah Dre ini yang mereka butuhkan terutama Revan." Katanya dengan yakin.

"Baiklah. Aku titip mereka ya." Seruku membuatnya tersenyum dan mengangguk.

Aku pun berjalan ke arah lapangan parkir untuk menunggu kakak. Langkahku terhenti karena Kyla yang memanggilku. Aku terkejut saat dirinya memelukku secara tiba-tiba.

"Dre... Aku sayang kamu." Serunya dengan berteriak sambil memelukku erat. Tingkahnya ini membuat semua orang memandang ke arah kita.

"Kyl lepas! Malu tau!" Seruku setengah berbisik. Dia pun melepaskanku dan memamerkan giginya.

"Hehehehe..." Serunya sambil tertawa dan menggandeng tanganku.

"Apa yang kamu lakukan sih Kyl?" Tanyaku bingung ketika dirinya menarikku.

"Bolehkah aku main ke rumah kamu?" Tanyanya secara tiba-tiba. Aku menaikan salah satu alisku menatapnya bingung.

"Emang kita udah baikan?" Tanyaku secara dingin. Seketika dirinya diam di tempat.

"Dre... Aku mohon kasih aku kesempatan.. Ya.." Pintanya dengan serius. Melihatnya begitu aku terkekeh pelan. Hari ini aku benar-benar berhasil membuat semua orang takut kepadaku.

"Aku hanya bercanda Kyl.. Melihatmu ketakutan seperti itu sangat menghiburku." Seruku sambil tersenyum jahil. Aku melihatnya membuang nafas yang selama ini ditahannya. Dia tersenyum lega dan memelukku sekali lagi.

"Jangan pernah membuatku takut seperti itu!' Serunya sambil mencubitku gemas.

"Maafkan aku Kyl. Aku tidak tahan untuk mengerjaimu." Seruku sambil terkikik.

"Sekarang aku ke rumahmu! Kita lanjutkan pembicaraan kita mengenai semua ini." Serunya sambil tersenyum membuatku tenang.