Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 29 - Chapter 32~ Talk

Chapter 29 - Chapter 32~ Talk

~Andrea ~

Saat kakak sampai dirinya kebingungan melihat Kyla yang akan ikut ke rumah. Dia hanya membawa motor sehingga tidak mungkin jika Kyla ikut bersama kami. Sehingga mau tidak mau kakak mengantar kami secara satu persatu. Awalnya Kyla mengajakku untuk menaiki kendaraan umum saja tapi kakak melarangku akibat kondisiku yang baru saja pulih sehingga dirinya terpaksa menempuh perjalanan dua kali untuk menjemput Kyla.

"Makasih ya kak! Nanti aku traktir deh!" Teriakku saat kakak kembali memacu motornya untuk menjemput Kyla. Saat ini aku sudah sampai di depan rumah.

Dengan cepat aku langsung menemui mama dan memintanya untuk membuatkan cemilan dan makan siang untukku dan Kyla. Setelah itu aku langsung ke kamar dan berganti baju. Aku sempat berpikir untuk menggunakan kursi rodaku atau tidak. Tapi tidak ada gunanya juga jika aku memakai kaki palsuku karena Kyla telah mengetahui semuanya. Itu hanya membuat kaki palsuku menjadi cepat rusak jika aku memakainya.

Aku pun turun dengan menggunakan kursi rodaku dan menunggu Kyla di dapur. Entah mengapa Kyla dan kakak sangat lama sampai rumah. Semoga saja mereka mampir ke supermarket untuk membeli cemilan sehingga mama tidak perlu membuatkan cemilan untuk kami. Sambil menunggu, aku membantu mama untuk membuat makan siang.

"Kau yakin untuk memakai kursi rodamu itu sweetheart?" Tanya mama entah untuk yang keberapa kalinya.

"Mama.. Sudah berapa kali aku menjawabnya. Kyla sudah mengetahui kalau aku lumpuh. Jadi tidak ada gunanya untuk memakai kaki palsuku." Jawabku kesal.

"Baiklah-baiklah. Mama hanya meyakinkannya saja. Mama tahu kaki palsumu bukan hanya membantumu berjalan, itu juga membuatmu merasa aman. Kaki palsumu sangat berarti bagimu bukan?" Tuturnya sambil meletakan lauk untuk makan siang.

Yang mama katakan itu benar. Kaki palsu ini membantuku menyembunyikan ketakutanku. Bisa dibilang kaki palsu ini adalah topeng yang membuatku merasa aman. Aku tidak pernah membiarkan orang lain melihatku menggunakan kursi roda. Tentu saja selain keluargaku dan juga Om Jason. Bahkan sepupu-sepupuku yang mengetahui keadaanku jarang sekali melihatku menggunakan kursi rodaku.

Entah mengapa aku benar-benar merasa cacat saat aku menggunakannya. I feel insecure. Saat aku menggunakan kursi rodaku, aku merasa menjadi diriku yang lemah dan tidak bisa apa-apa. Aku menyadari itu semua karena psikolog yang papa bayar untuk menanganiku. Sejak saat itu mereka berusaha untuk mengharuskanku memakai kursi roda di depan orang selain keluarga dan tentu saja mereka tidak pernah berhasil membujukku. Aku sangat tidak suka jika dianggap lemah.

"Maaf lama.." Seru Kyla memasuki dapur secara tiba-tiba. Mengetahui kehadirannya seketika tubuhku menegang.

Saat ini posisiku menghadap ke arah kitchenset sehingga aku membelakangi Kyla dan aku sangat takut untuk memutar balikkan kursiku. Sepertinya mama menyadari ketakutanku sehingga dia meninggalkan pekerjaan memasaknya dan menghampiri Kyla dan mengambil barang belanjaan dari tangannya dan pergi untuk bertemu kakak.

"Ehmm... Tadi aku dan kakakmu pergi ke supermarket untuk membeli beberapa cemilan dan katanya kau berhutang atas itu." Katanya dan mulai berjalan mendekatiku. Aku mengambil nafas panjang dan memberanikan diriku untuk memutar kursi rodaku.

"O...Oke thanks by the way." Kataku sambil menatap ke arah manapun selain matanya.

"Aku masih tidak percaya kalau kau benar-benar lumpuh." Bisiknya tidak yakin.

"Ehmm... Yaps dan di rumah aku menggunakan kursi roda." Kataku gugup.

"Dre... Kau tidak perlu merasa gugup di depanku. I won't judge or criticize you okay.." Serunya lembut sambil mendekatiku dan berlutut sehingga dirinya sejajar denganku. Aku pun menghembuskan nafas yang selama ini tidak kusadari kutahan.

"Okay.... I'll try." Jawabku sambil tersenyum lemah.

"Bolekah aku mendorongmu? Aku selalu ingin mencoba mendorong kursi roda dan memakainya. Sekali saja boleh aku mencoba memakainya?" Tanyanya dengan semangat. Melihat dirinya yang penasaran dan semangat ini membuatku tertawa.

"Okay... Tapi hanya sebenatar!" Ancamku jahil.

"Yaah.." Keluhnya dan kami pun tertawa atas obrolan kami sendiri.

Setelah makan siang bersama mama dan kakak, aku dan Kyla langsung menuju kamarku. Kyla bertanya-tanya bagaimana cara aku menaiki tangga menggunakan kursi rodaku dan aku hanya tersenyum menjawabnya. Dia terkagum-kagum saat melihat tangga di bagian samping menarikku ke atas seperti di elevator. Aku yang melihatnya hanya terkekeh pelan.

"Kau tahu saat pertama kali aku datang ke sini aku penasaran dengan bagian samping tangga yang tidak memiliki anak tangga seperti itu dan kini aku tahu alasannya. Rumahmu benar-benar keren Dre." Serunya membuatku kembali terkekeh. Kami pun meneruskan perjalanan sampai ke kamarku.

"Papa yang membuatkannya untukku. Saat masih kecil aku sama sekali tidak mau kamarku pindah ke lantai satu dan ingin selalu dekat dengan kakak. Jadi papa mengalah dengan membuatkan ini untukku." Tuturku.

"Oouuu.... Aku baru tahu ternyata kau sangat manja terhadap kakakmu." Ejek Kyla menjahiliku.

"Aku tidak!" Elakku.

"Ekhm.. Kau tahu Kyl. Anak itu tidak bisa lepas dariku. Dia selalu bertanya mana kakak mana kakak saat aku tidak ada." Seru kakak yang tiba-tiba datang dan langsung memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.

"Aku tidak pernah!" Seruku kesal sambil melemparkan bantal yang ada di dekatku kemukanya.

"Sayang sekali adik kecilku yang manis berubah menjadi seperti ini." Keluh kakak mendramatisir.

"Shut up! And get out already!" Teriakku kesal karena dirinya yang terus menjahiliku seperti ini.

"Hei! Aku hanya ingin mengantarkan ini." Katanya sambil mengangkat bungkusan makanan.

"Dan kau masih berhutang padaku!" Serunya kesal sambil meninggalkan kamarku.

"Sepertinya kak Andrew marah tuh." Goda Kyla.

"Biarkan saja nanti juga baikan sendiri." Balasku sambil mengambil bungkusan makanan dan membukanya. Aku langsung mengambil biskuit stik dengan rasa matcha dan memakannya.

"Jadi.. Kau mau menceritakannya?" Tanya Kyla yang sedang berbaring di kasurku dan menatapku serius.

"Menceritakan apa?" Tanyaku dan menatapnya bingung.

"Tentu saja semuanya mengenai dirimu. Aku rasanya belum mengetahuimu sepenuhnya. So spill it out!" Serunya.

"Aku tidak tahu harus bercerita apa... Bagaimana kalau bertanya dan akan kujawab?" Usulku yang langsung di setujui dengan Kyla.

"Hmmm..... Baiklah. Pertanyaan pertama! Bagaimana kau bisa sampai lumpuh seperti itu?" Tanyanya.

"Aku mengelami kecelakaan waktu aku kecil mengakibatkan aku kehilangan fungsi kakiku." Jawabku singkat.

"Kenapa bisa terjadi kecelakaan?"

"Saat itu hujan besar, bahkan bisa dibilang badai dan sebuah kilat menyambar pohon. Pohon itu tumbang dan hampir menimpa kami. Papa menghindar menyebabkan kami menabrak tembok pembatas dan sebuah truk menabrak kami dan boom aku menjadi lumpuh." Seruku cepat sambil menghentakan tanganku saat mengatakan boom.

"Mengerikan. Aku kira hal-hal seperti itu hanya terjadi di film-film dan novel-novel saja." Katanya sambil membayangkan ceritaku.

"Bagaimana ceritanya sampai kau dibuatkan kaki palsu seperti itu? Terus saat keluargamu mengetahui kau lumpuh bagaimana reaksi mereka?" Tanyanya bertubi-tubi membuatku tertawa.

"Hei bertanya satu-satu aku jadi pusing menjawabnya." Keluhku.

"Hehehe.. Maaf. Aku terlalu bersemangat." Katanya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.

"Untuk pertanyaanmu yang pertama, Papa membuatkannya karena dia ingin membantuku sehingga dia bekerja sama dengan teman-temannya. Untuk pertanyaanmu yang kedua, tentu saja mereka terkejut. Mereka langsung menangis saat itu sementara aku hanya menatap mereka bingung." Tuturku dan menaruh cemilan di mulutku. Aku merasa seperti sedang diwawancarai.

Terjadi keheningan diantara kami. Sepertinya saat ini Kyla sedang memikirkan semuanya mengenai diriku. Untuk memecah kesunyian ini aku menggerakan kursi rodaku menuju tempat speaker dan menyalakan lagu dari handphoneku yang sudah terhubung dengan spearker.

"Dre.. Hubunganmu dengan Revan sudah tidak apa-apa kan?" Tanyanya ragu. Mendengar itu aku kembali memikirkannya kembali. Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepalaku sementara Kyla tersenyum lemah kepadaku.

"Aku yakin semuanya akan baik-baik saja Dre. Mungkin saat ini dirinya sedang ada masalah." Hibur Kyla.

"Semoga saja." Bisikku pelan.

"Kau akan ikut kemping minggu depan, kan?" Tanya Kyla mengganti pembicaraan dan seketika membuatku kembali bersemangat mendengarnya.

"Tentu saja. Aku sudah membujuk mama untuk hal ini." Seruku gembira. Baru saja kemarin kami membahas soal kemping ini.

"Baguslah. Aku harap kita bisa bersenang-senang di sana."

"Hei Kyl. Sebenarnya apa tujuanmu ke sini?" Tanyaku dengan tatapan menyelidik.

"Entahlah Dre. Aku rasa aku perlu mengunjungimu akibat semua yang terjadi hari ini. Kupikir kau butuh teman dan aku ingin mengetahui semuanya tentangmu. Jadi jangan harap untuk menyembunyikan sesuatu dariku." Ancamnya.

"Baiklah. Aku akan memberitahukan semuanya. Aku ini cacat, penakut, anti sosial, tidak pandai bergaul, phobia terhadap petir, dan...." Aku benar-benar tidak tahu apalagi yang harus aku katakan.

"Kupikir segitu saja." Lanjutku.

"Kau phobia terhadap petir? Aku baru tahu akan hal itu." Kata Kyla sambil menatapku.

"Apalagi yang kau takutkan?" Tanyanya.

"Hmmm.. Dulu aku sempat trauma untuk menaiki mobil. Namun itu sudah teratasi walaupun kadang-kadang aku masih takut."

"Kau hebat Dre.. Aku tidak tahu apa yang terjadi jika aku mengalami kecelakaan sepertimu." Katanya sambil menatapku dengan tatapan terkagum-kagum.

"Sejujurnya itu sangat berat. Aku hampir membunuh diriku sendiri dulu." Kataku sambil mengingat masa laluku yang berat. Kyla yang mendengarnya membelaklakkan matanya tidak percaya.

"Kau apa-?" Tanya tidak percaya. Aku hanya menanggukan kepalaku.

"Aku pernah hampir membunuh diriku sendiri. Saat itu aku ingin membuktikan kepada orang-orang kalau aku bisa berjalan dan aku menjatuhkan diriku dari tangga berharap bisa berjalan. Dan ya aku jatuh terguling-guling menabrak meja kaca sehingga menjadi pecah. Setelah itu dengan kesalnya aku mengambil pecahan kaca itu dan menusukkannya berulang-ulang ke kakiku."

"Apa kau gila?! Wow..." Dirinya kembali menatapku dan setelah itu membaringkan tubuhnya.

"Saat itu aku sangat depresi Kyl. Aku bahkan benci kepada kakiku yang tidak bisa merasakan apa-apa ini. Dan akibat perbuatan bodoh itu sekarang kakiku dipenuhi dengan bekas luka." Kataku sambil mengamati bekas luka lamaku. Kyla pun bangkit dan mendekatiku untuk melihat bekas lukaku.

"Dre... Jika bekas lukamu sejelas ini itu artinya kau menusuknya sangat dalam kan?" Tanyanya sambil membayangkannya.

"Aku menusuknya dengan sepenuh kekuataanku." Jawabku.

"Kau benar-benar pisikopat. Mengerikan." Serunya sambil bergidik ngeri.

"Hei kau harus ingat bahwa aku lumpuh. Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa!" Seruku membela diri.

"Walaupun begitu aku yakin banyak darah yang mengalirkan! Ya ampun aku mempunyai teman seorang pyscho." Serunya panik.

"Terserah kau saja Kyl." Kataku yang malas mendengarnya sambil memutar bola mataku.

Sambil menunggu dirinya diam aku pun mengambil handphoneku dan akhirnya setelah sekian lama dia berhenti dengan celotehannya itu. Dia pun mulai menyibukkan dirinya dengan cemilan dan beberapa kali melirikku yang masih sibuk dengan handphone. Sepertinya dirinya tidak tahan untuk terus berbicara sekarang. Dia semakin mirip dengan Tio.

"Apa yang dilakukan para cowok sekarang ya? Kuharap saja Alex dan Rafa tidak terluka parah." Seruku ketika mengingat pertengkaran mereka tadi.

"Mereka terluka?! Apa yang terjadi?" Teriak Kyla tidak percaya. Dengan reaksinya yang seperti ini itu berarti dia tidak mengetahuinya. Pantas saja dia tidak mengungkit-ungkit mengenai pertengkaran mereka.

"Tadi mereka bertengkar di lapangan basket indoor. Memang Alex tidak memberitahumu?" Tanyaku.

"Tidak? Mengapa mereka bisa bertengkar? Ya ampun kenapa aku baru mengetahuinya sekarang?!" Serunya frustasi sambil mengeluarkan handphonenya yang kuyakini akan dipakainya untuk menghubungi Alex.

Kyla pun meletakan handphonenya di mejaku dan menghadapkan layarnya ke arah kami. Kurasa dirinya akan melakukan video call dengan Alex. Benar saja dirinya sedang menyambungkan kami dengan video call dari line. Dengan panik aku mencoba menyembunyikan kursi rodaku dengan selimut, namun Kyla mencegahku untuk melakukannya.

"Hei Dre.. Kau lupa bahwa mereka sudah tahu? Dan tenang saja kamu tidak perlu menyembunyikan kursi rodamu oke." Bujuk Kyla. Aku pun mengangguk sambil tersenyum lemah.

Video call pun tersambung. Aku dapat melihat Alex yang sedang berbaring di sebuah karpet yang terlihat seperti karpetnya Rafa. Sepertinya saat ini mereka sudah baikan dan sedang berada di rumah Rafa. Dari sini kami dapat melihat muka Alex yang terdapat beberapa plester dan juga goresan.

"Ya ampun Lex.. Kau tidak apa-apa?.. Lihat mukamu yang penuh dengan luka." Seru Kyla membuat Alex terkekeh.

"Kau terlalu berlebihan Kyl.. Aku tidak separah itu. Revan tidak akan berhasil membuatku terluka." Jawabnya.

"Wah apakah itu mereka?" Tanya Tio dan dirinya langsung muncul di layar handphone.

"Hai!" Serunya dan dibalas oleh kami.

"Apakah Rafa baik-baik saja?" Tanyaku khawatir.

"Kau benar-benar baik Dre. Kau masih mengkhawatirkannya." Seru Aldo yang muncul tiba-tiba sambil memegang sebuah gelas.

"Walau seperti itu aku masih khawatir kepadanya.." Bisikku.

"Hei Alex kenapa kau bertengkar dan membuatku khawatir seperti ini?!" Seru Kyla memarahi Alex.

"Tenang Kil.. Aku melakukannya untuk Revan juga. Terkadang anak itu perlu disadarkan. Dan Dre aku telah memukulnya untukmu." Jawabnya.

"Tapi aku tidak memintanya. Kau melukai dirimu dan juga Rafa. Dan aku tidak suka perkelahian!" Seruku kesal.

"Dre... Kalau kau berharap kami memaklumi dirinya melukai dirimu, itu tidak mungkin! Dia berhak mendapat pukulan. Lagian jika tidak begini mungkin kami tidak akan akur dengan dirinya." Tutur Tio yang disetujui oleh Aldo dan Alex.

"Dan terkadang perkelahian memang kami perlukan." Lanjut Aldo.

"Biarkan saja Drea jangan diambil pusing. Itu memang urusan laki-laki yang tidak akan kita mengerti." Seru Kyla sambil memelukku.

"Ngomong-ngomong tuan rumah di mana?" Tanya Kyla. Alex pun menggerakan handphonenya dan berhenti di sofa. Rafa sedang tertidur di sana dan aku dapat melihat dirinya yang penuh dengan luka.

"Dia kelelahan. Sepertinya aku terlalu kasar padanya hari ini." Seru Alex.

"Hei Lex! Dia seperti itu karena kelelahan bermain basket. Jangan sombong seperti itu. Jika Revan dalam keadaan baik dia pasti sudah menghabisimu." Protes Tio yang dibalas dengan decakkan kesal dari Alex. Aku dan Kyla pun terkekeh melihat perdebatan mereka.

"Kalian diamlah. Revan butuh isitrahat sekarang." Seru Aldo yang merebut handphone dari tangan Alex. Selama mereka bertengkar handphone Alex terus bergerak ke sana kemari karena mereka yang tidak bisa diam.

"Do tolong urus anak-anak nakal itu untukku ya." Pinta Kyla yang dibalas dengan protesan dari Alex dan Tio dan kekehan dari Aldo dan aku. Setelah itu Kyla langsung memutuskan sambungan.

"Sepertinya mereka tidak menyadari bahwa aku mengenakan kursi roda." Kataku sambil menghela nafas lega.

"Kalau pun mereka menyadarinya mereka pasti ribut mengenai hal itu." Kata Kyla sambil terkikik yang disahut dengan tawa dariku.

"Aku masih tidak mengerti mengapa Revan meninggalkanmu dan tidak mau mendengarkan penjelasanmu saat itu." Kata Kyla bingung aku pun menjawabnya dengan mengedikkan bahu.

"Aku masih tidak mengerti kenapa mereka harus bertengkar seperti itu?" Tanyaku yang masih tidak percaya mereka bertengkar karena diriku.

"Aku tidak tahu Dre. Namun aku percaya perkataan Aldo bahwa kadang-kadang laki-laki membutuhkannya. Walaupun aku tidak setuju. Lihat akibat pertengkaran itu mereka berdua menjadi terluka. Kasihan Alexiusku." Jawabnya sambil berpura-pura menangis mengingat wajah Alex. Aku yang melihatnya selebai itu langsung memutar mataku.

"Tapi yang dikatakan Alex benar. Jika aku menjadi kau, aku pasti tidak akan mengkhawatirkannya dan membencinya. Kecuali.." Godanya sambil tersenyum jahil.

"Kecuali apa?!" Tanyaku kesal.

"Kecuali... Kamu menyukai dirinya. So do you like him?" Tanyanya dengan mengangkat sebelah alisnya dan senyum mengerikannya itu.

"Stop teasing me Kyl!" Protesku.

"Baiklah-baiklah. Tapi apa yang kukatakan serius Dre. Kau tahu ceritaku dan Alex? Seberapapun dirinya mambuatku kesal, aku tidak mungkin bisa membencinya karena aku mencintainya." Tuturnya membuat mataku membelalak akibat perkataan terakhirnya.

"Hold up! Did I just said I love him?" Tanyanya sambil membelalakkan matanya dan aku hanya menjawabnya hanya dengan anggukan.

"Holly crap!" Umpatnya dan setelah itu menutup kedua mulutnya.

"Sepertinya kau baru menydarinya sekarang Kyl." Ledekku sambil menunjukan senyum jahilku.

"Oh My Goldfish! I Love him!" Serunya berulang kali dengan berbisik. Aku hanya memperhatikan dirinya sambil sesekali terkekeh pelan melihat kelakuannya yang lucu itu.

Sementara Kyla memikirkan tentang dirinya dan Alex, aku memikirkan perasaanku terhadap Rafa. Apakah benar aku menyukainya? Apa yang harus aku lakukan jika aku benar-benar menyukainya? Sepertinya tidak mungkin jika aku menyukainya, dia sudah menjadi sahabatku semenjak kami kecil. Namun tidak dapat kupungkiri jika aku menyukai kehadirannya. Walaupun aku sudah berbaikan dengan yang lainnya dan mendapatkan sahabat-sahabatku yang lain, namun aku merasa aneh karena tidak ada Rafa di sana. And I think I really like him. Aku tidak bisa memungkiri jika aku memerlukannya. Aku menyukainya dan saat ini saja, saat aku mememikirkannya jangtungku berdetak kencang!