Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 32 - Chapter 35~Mine

Chapter 32 - Chapter 35~Mine

~Rafael ~

Saat ini aku sedang mendampingi Drea menuju kamarnya. Akibat tingkahnya, tanpa disengaja aku menumpahkan minuman coklatku ke bajunya. Untung saja aku memesan coklat hangat dan bukannya panas, jika panas aku yakin sekarang kulitnya memerah dan dirinya akan semakin bertambah marah kepadaku. Aku masih tidak bisa menyangka bahwa Drea akan dengan cepat memaafkanku. Saat ini aku menahan diriku sekuat tenaga untuk tidak memeluknya. Aku sangat merindukannya.

Saat dirinya mengatakan bahwa ia juga merindukanku aku tidak dapat mempercayainya, bahkan dirinya memintaku untuk tidak lagi meninggalkannya dengan mata yang berkaca-kaca. Bagaimana bisa ada manusia yang sangat imut seperti dirinya? She's so adorable. Rasanya aku ingin mengurungnya di kamarku dan tidak akan pernah kuizinkan untuk pergi keluar. Aku tidak rela membaginya dengan dunia ini.

"Raf.. Kau mau menunggu di dalam kamar atau di luar?" Tanyanya saat kami sudah sampai di depan pintu kamarnya.

"Akan lebih baik jika aku masuk ke dalam." Jawabku dan dibalas oleh anggukan darinya dan segera memasuki kamarnya.

Kamarnya tidak jauh berbeda dari kamarku, hanya saja di sini terlihat lebih rapih. Terlihat sangat jelas jika teman sekamarnya sangat menyukai kebersihan. Aku melihat salah satu tempat tidur di paling kiri dekat dengan tembok dan membaringkan diriku di sana. Bublegum, wangi dirinya yang sangat kusukai dan sekarang dengan jelas aku mengetahui bahwa ini adalah kasurnya. Aku tersenyum puas dan segera mendekap bantalnya dan menghirupnya kuat-kuat. Creepy? Yes.. if anyone see me like this. But I don't mind it 'cuz I really miss her scent.

Aku menunggu sambil mendekap kuat bantalnya dan menutup mataku membayangkan saat-saat kita bersama. Mulai dari saat ini apapun yang terjadi aku tidak akan pernah memutuskan untuk pergi menjauh dari dirinya lagi, bahkan mungkin sepulang dari sini aku akan membuatnya menjadi miliku. Aku tidak akan bisa bertahan lama tanpa membuatnya menjadi miliku, dengan begitu aku akan tenang dan dapat mendekapnya sesukaku.

Tiba-tiba saja dirinya keluar dari kamar mandi dengan menyeret tubuhnya yang berada di lantai. Aku yang kaget dengan pemandangan ini segera bangkit dari tempat tidurku mendekatinya dan segera mengendongnya dan mendudukannya di atas tempat tidur.

"Ehm.. Thanks Raf." Serunya sambil mengeringkan kakinya dengan handuk.

Aku memperhatikan dirinya dan segera mengamati kakinya dengan lekat-lekat. Aku terkejut dengan luka-luka yang tergores hampir di seluruh kakinya. Sepertinya masih banyak hal yang belum kuketahui tentangnya. Luka yang terletak di kakinya terlihat begitu jelas. Aku yakin sebelum luka itu mengering pasti sesuatu menusuk kakinya dengan sangat dalam. Tanpa kusadari tanganku bergerak sendiri menyentuh setiap luka yang ada.

"Kau seharusnya tidak menyentuhnya Raf. Kakiku terlihat sangat menjijikan." Serunya berbisik sambil melihat kakinya dengan pandangan jijik.

Aku tidak menyukai dirinya yang berpikiran seperti itu. Sepertinya hingga saat ini dia masih merendahkan dirinya sendiri dan sama sekali tidak menyadari betapa cantik dan berharganya seorang Andrea yang kusuka. Aku segera menangkupkan kedua tanganku di mukanya dan memaksanya untuk melihat ke arahku.

"Jangan pernah berkata seperti itu lagi. Mengerti?" Seruku lembut dan hanya dijawabnya dengan anggukan kecil namun aku masih dapat melihat pandangannya yang membenci dirinya sendiri.

"Kau tidak boleh merendahkan dirimu seperti itu. Kau tahu bahwa kau adalah salah satu orang terhebat yang pernah aku temui. Aku tidak peduli dengan luka yang ada di kakimu, aku tahu kau mempunyai kepribadian yang kuat dan hebat. And it's mean more than anything." Kataku dengan sungguh-sungguh. Sekali lagi dirinya hanya menganggukan kepalanya dan memberikan senyum lemah kepadaku. Ingin sekali aku memuji dirinya dan mendekapnya namun aku tidak bisa. Tidak sekarang. Namun pasti, aku akan bisa melakukan semua yang aku bisa lakukan untuk membuatnya senang.

Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Sepertinya aku akan bersedia membayar berapapun untuk mengintip isi dari pikirannya itu. Aku hanya dapat berharap dirinya bisa menerima kata-kataku dan menyadari betapa hebatnya Andreaku itu.

"Ekhm.. Sebaiknya kita kembali ke aula Raf. Aku yakin yang lain sudah selesai mencari." Katanya memecah kesunyian yang mungkin canggung untuknya.

"Baiklah." Seruku sambil menghela nafas akibat pemikiranku. Aku berjalan keluar mendahuluinya.

Kami pun sampai di aula dan benar saja kelompok kami sudah berganti permainan. Aku pun menyuruhnya masuk ke dalam permainan sementara aku pergi melapor ke guru atas apa yang telah terjadi. Setelah selesai melapor aku segera masuk ke area permainan. Aku masuk ke dalam kelompokku dan mengikuti permainan yang beberapa menit lagi akan berakhir. Sepertinya aku dan Andrea sudah menghabiskan banyak waktu tanpa kita sadari.

Permainan pun berakhir tanpa aku mengerti peraturan dan hanya menonton sambil ikut-ikutan berlari pelan bersama Alex. Kami pun dikumpulkan untuk diberi pengarahan selanjutnya. Aku duduk bersama Alex dan tak lama kemudian Tio dan Aldo datang bergabung bersama kami. Selama pengarahan diberikan aku sama sekali tidak mendengarkan karena aku sedang mencari sosoknya, dan saat aku menemukannya pandanganku memerah karena kemarahanku. Aku mendapati Andrea bersama seseorang laki-laki dan dapat kulihat laki-laki itu berusaha mengajak ngobrol dirinya.

Aku merasa sangat marah sekarang. Rasanya ingin aku memukul laki-laki itu. Selama ini tidak ada yang pernah mendekati Andrea sama sekali namun mengapa sekarang ada?! Aku tahu bahwa dirinya adalah perempuan yang sangat hebat dan aku yakin jika banyak orang yang menyukainya. Hanya saja aku tidak menyukai ide bahwa dirinya bersama orang lain. Sepertinya aku benar-benar harus bergerak cepat. Aku tidak mau jika Dreaku sampai direbut oleh laki-laki lain.

Tak tahan lagi dengan pemadangan ini aku segera berdiri tanpa mempedulikan pandangan-pandangan bingung yang ditunjukan orang-orang kepadaku dan segera berjalan ke arah mereka. Aku melihat teman-temanku saling berpandangan dan ketika mereka mengikuti arah pandanganku mereka langsung mengerti, bahkan Alex tersenyum puas saat dia melihat tingkahku ini.

Tanpa pikir panjang aku langsung duduk di tengah-tengah mereka. Aku dapat mendengar Kyla dan teman-temanku tertawa atas tingkah lakuku. Sementara Andrea dan cowok itu, yang ternyata adalah Rico, menatap kaget atas kehadiranku yang tiba-tiba. Aku menatap garang ke arah Rico dan hanya tersenyum kecil ke arah Drea. Entah mengapa Drea seperti lega saat aku menyela obrolan mereka.

"Apa yang kau lakukan di sini Revan?!" Tanya Rico dengan nada kesal yang sama sekali tidak disembunyikannya.

"Kau tidak bersama Kyla?" Tanyaku kepada Drea dan mengabaikan Rico.

"Hei aku sedang berbicara denganmu!" Protes Rico namun aku tetap saja mengabaikannya. Dia masih beruntung karena aku tidak memukulnya sekarang.

"Raf, Rico sedang berbicara denganmu." Bisik Drea memarahiku. Aku menghela nafas kasar, kesal karena harus berbicara dengan si Rico ini.

"Aku haya ingin berbicara dengannya." Seruku dingin sambil menunjuk ke arah Drea. Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah Andrea tanpa menunggu reaksi atau jawaban dari Rico.

"Kau seharusnya tidak boleh seperti itu Raf." Lagi-lagi Drea memarahiku.

"Bisakah kita pindah ke belakang bersama yang lainnya?" Tanyaku mengabaikan protresannya mengenai sikapku. Andrea mendesah pasrah mendengar aku mengabaikannya.

"Baiklah."Serunya singkat dan mengikutiku ke tempat Alex dan yang lainnya.

Setelah selesai melakukan pengarahan dan makan siang kami pun memasuki bis dan memulai perjalanan menuju kota. Kami memasuki bis yang sama yang kami tumpangi saat pergi menuju kemari. Namun kali ini aku memaksa Tio untuk duduk di belakang bersama Alex sementara aku duduk bersama Andrea. Butuh usaha untuk meyakinkan kedua anak itu agar mau sebangku di belakang, terutama Alex. Aku yakin mereka akan sering bertengkar di belakang sana.

Aku menggeleng kepalaku pelan membayangkan tingkah laku mereka dan mengalihkan perhatianku kepada gadisku. Aku tersenyum mendapati dirinya sedang meminum susu mochanya sambil memandang keluar jendela lengkap dengan earphonenya. Aku memandanginya sebentar dan lama-kelamaan aku tidak tahan untuk menjahilinya. Aku tersenyum jahil dan mulai mencabut sambungan kabel earphone dari handphonenya. Seketika dirinya melihat ke arahku dengan muka kesalnya. Her face is extremely cute when she angry.

"Rafa!" Serunya dengan nada meninggi.

"Apa?" Tanyaku dengan memasang wajah polosku.

"Geez! Aku tahu kamu yang menjahiliku!" Serunya dan memasukan kembali earphonenya dan merajuk kesal. Gemas dengannya yang kembali menjahiliku aku mengacak-ngacak rambutnya dan mendapat pandangan galak yang kedua kalinya dari Andrea.

Selama di perjalan yang tidak terlalu panjang ini, aku habiskan untuk menjahili gadis kesayanganku ini. Akibat kejadian dengan Rico tadi aku menjadi semakin possesive kepadanya. Sepertinya selama perjalanan di kota ini, aku akan terus menempel seperti lem kepadanya. Aku tidak akan menurunkan kewaspadaanku, karena sudah jelas si Rico menyebalkan itu menyukai Drea. Aku menyadari selama beberapa terkahir ini aku sempat menangkap basah Rico yang sering menatap ke arah Drea, namun aku abaikan karena aku pikir dirinya tidak akan mungkin menjadi ancaman bagiku. Ternyata aku salah besar! Aku tidak suka jika Drea mengenal laki-laki lain selain ketiga teman idiotku itu.

Membayangkan Drea bersama si kakak-kakak menyebalkan yang ditemuinya di mall kala itu sudah membuatku muak. Apa lagi dengan si Rico ini. Menghembuskan nafas kesal, aku segera turun mendahului Andrea dan ke dua temanku itu. Setelah keluar bis kami segera dibebaskan untuk pergi kemanapun dan kembali ke area bis pada jam 5 tepat dan setelah itu kita akan pulang kembali ke sekolah. Sementara teman-teman yang lain sudah pergi dari bis aku masih menunggu di depan bis. Aldo dan Kyla pun datang dan menghampiriku.

"Yang lain kenapa lama?" Tanya Kyla kepadaku dan hanya aku jawab dengan kedikan bahu. Kyla pun langsung memasuki bis sementara Aldo menunggu di sini bersamaku.

"So.. Kapan kau akan menjadikan dirinya resmi menjadi milikmu?" Tanya Aldo dengan senyum menyebalkannya itu.

"Segera... Aku tak akan tahan jika lebih lama lagi." Jawabku.

"Hahaha! Tak kusangka kau akan seposessive itu terhadapnya." Seru Aldo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau baru tahu bahwa aku sangat teritorial. Dan aku hanya tidak suka bila dirinya tersakiti oleh orang lain. Lagian aku ini sangat pencemburu." Seruku sambil menampilkan Smirkku.

"Tidak hanya kau Rev. Aku juga." Seru Alex bangga.

"Apa yang membuat kalian lama!" Keluhku kesal.

"Tanyakan kepada gadismu nanti." Balas Alex.

"Rev, kurasa aku beruntung menjadi seorang laki-laki. Sepertinya menjadi seorang perempuan itu menyusahkan." Seru Tio secara tiba-tiba yang baru turun dari bis.

"Ada apa dengan dirinya?" Tanya Aldo bingung.

"Dia hanya mendramatisir apa yang baru saja terjadi." Keluh Alex sambil memutar bola matanya.

"Memang apa yang terjadi?" Tanyaku penasaran.

"Itu rahasia perempuan!" Seru Kyla yang tiba-tiba turun bersama Drea. Sepertinya mereka lama karena Drea harus mengganti celana terlebih dahulu dan aku menyadari bahwa celana yang dipakainya adalah celana Tio.

"Ada apa dengan celanamu?" Tanyaku bingung. Entah mengapa pertanyaanku membuat mukanya merah karena malu.

"Sudah kubilang ini urusan perempuan!" Seru Kyla memarahiku.

"Akan kuceritakan nanti." Bisik Tio di telingaku membuatku tersenyum.

"Sebaiknya kita segera menyusul yang lain." Usul Aldo yang segera disetujui oleh yang lain.

Alex dan Aldo mendahului kami untuk berjalan di depan, sementara aku dan Tio sengaja berjalan di paling belakang karena dia ingin menjelaskan yang terjadi tadi. Para gadis berjalan di tengah-tengah dan sepertinya sedang sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri. Kami pun berjalan di trotoar dan saat ini jalanan penuh oleh murid dari sekolah kami. Di sepanjang sisi trotoar terdapat toko-toko kecil yang menjual berbagai macam barang-barang. Sementara jalanan di sisi kanan kami tidak terlalu penuh oleh kendaraan, hanya ada beberapa kendaraan umum yang melewatinya. Kota ini cukup tenang.

"Kau ingin tahu apa yang terjadi tadi?" Tanya Tio kepadaku yang langsung kujawab dengan menganggukan kepalaku.

"Tadi saat kita menunggu Drea untuk keluar terlebih dahulu, Alex melihat bercak merah di celananya, lalu aku menawarkannya untuk menggantinya dengan celana milikku. Dengan malu-malu akhirnya Drea mau untuk menggantinya." Tutur Tio.

"Jadi seperti itu. Pantas saja mukanya memerah saat aku bertanya mengenai itu. Hal itu juga mengungkapkan sikapnya yang emosional belakangan ini."

"Makanya tadi kubilang bahwa menjadi cewek itu menyusahkan." Komentar Tio.

"Makannya kita harus menghargai cewek." Seruku sambil menyentil dahinya.

Kita pun melihat-lihat sekitar dan tanpa sengaja aku dan Tio terpisah dengan yang lain. Selama ini Tio tertarik dengan barang-barang yang ada di sepanjang jalan, katanya untuk oleh-oleh Sira. Dia selalu memaksaku untuk menemaninya dengan menarikku saat dia melihat-lihat. Itu sebabnya kami terpisah dengan mereka. Kami berhasil mengontak Aldo dan saat ini kami sedang menunggu mereka untuk sampai di salah satu minimarket yang ada di sini.

"Itu mereka!" Seru Tio sambil menunjuk ke arah kaca minimarket.

"Sudah menunggu lama?" Tanya Aldo, aku mengangguk untuk menjawabnya.

"Karena kau menghambat kami, aku jadi kehilangan Kyla!" Protes Alex kepada Tio.

"Hei! Ini bukan salahku sepenuhnya!" Seru Tio membela diri dan mereka pun mulai kembali berdebat.

"Tunggu Lex, apa maksudmu kau kehilangan Kyla?" Tanyaku khawatir.

"Saat kami menerima telphone darimu tiba-tiba saja para gadis itu menghilang." Tutur Alex menjelaskan.

"Kalian sudah menghubungi mereka?" Tanyaku.

"Tentu saja sudah Rev. Tapi mereka berdua tidak mengangkatnya." Seru Aldo.

"Handphone Kyla mati." Timpal Alex.

"Aku akan mencoba untuk mengontak Drea." Seruku dan langsung mengambil handphone dan mengontak Drea. Setelah beberapa kali mencoba, aku menyerah karena Drea memang tidak mengangkat telphonenya.

"Dia tidak mengangkatnya." Seruku memberitahu mereka.

"Sebaiknya kita mencari mereka." Usul Aldo.

"Tentu saja kita harus mencarinya." Gerutu Alex dan pergi mendahului kita.

"Ada apa dengannya?" Tanyaku yang heran dengan tingkah Alex yang tiba-tiba marah seperti itu.

"Dia hanya kuatir dengan Kyla." Jawab Aldo dan pergi menyusul Alex.

Aku bertatapan mata dengan Tio dan dia hanya mengedikkan bahunya dan pergi menyusul mereka berdua. Aku pun menyusul mereka. Setelah lumayan lama mencari, Alex menemukan Kyla sedang berbelanja di suatu toko. Dia sedang menikmati berbelanja dengan muka tersenyum tanpa menyadari kekhawatiran yang kami rasakan. Aku merasa sedikit kesal kepada para gadis-gadis sekarang. Alex menghampirinya dan langsung mengacak-ngacak rambut Kyla kesal.

"Hei kalian kemana saja?" Tanya Kyla begitu melihat kami.

"Jangan pernah menghilang lagi secara tiba-tiba!" Seru Alex kepadanya.

"Kami dari tadi mencarimu dan Drea." Tutur Aldo.

"Kau membuatku berjalan jauh dan menghabiskan waktuku untuk membeli oleh-oleh untuk Sira!" Keluh Tio kesal.

"Maafkan aku. Perhatianku teralih saat aku melihat dream catcher ini. Tanpa kusadari kita telah terpisah." Kata Kyla menyesal.

"Kemana Drea?" Tanyaku yang selama ini mencari keberadaan dirinya.

"Tadi saat di jalan kami bertemu dengan Rico dan dia ingin meminjam Drea sebentar. Namun sampai sekarang mereka belum kembali." Jawab Kyla

Mendengar hal itu aku menjadi sangat marah dan khawatir. Aku keluar dari toko tersebut dan mencoba menenangkan diriku. Aku harus menjernihkan pikiranku agar kecemburuan dan kemarahanku tidak menguasai pikiranku. Tidak ada satupun teman-temanku yang mengejarku, sepertinya mereka mengerti bahwa aku membutuhkan waktu untuk menenangkan pikiranku.

Setelah merasa bahwa emosiku cukup tenang, aku mencoba menelphone Drea dan berharap dirinya akan mengangkat dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun sayang, dia sama sekali tidak mengangkat telphonenya. Menyerah dengan Drea aku mencoba menelphone Rico dan menjengkelkannya dia juga tidak mengangkat telphonenya. Aku hampir saja membanting handphoneku karena kesal.

Berbagai pikiran negatif muncul dalam pikiranku. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada mereka? Lebih parahnya jika sesuatu yang parah terjadi pada Dreaku. Aku bahkan tidak bisa mempercayai Rico. Pikiranku memikirkan kemungkinan terburuk yang akan Rico lakukan kepada Dreaku secara tidak senonoh. Kepalan tanganku semakin mengerat saat aku memikirkan hal-hal mengerikan tersebut. Aku akan membunuhnya jika dirinya berani menyentuh Andrea. Aku tidak bisa mempercayai laki-laki lain bersama Drea selain diriku dan teman-temanku. Akibat terbiasa dengan lingkungan Australia, aku jadi dapat membayangkan Andrea disentuh oleh laki-laki lain.

Aku kembali ke dalam dengan nafas memburu dan cengkraman kuat pada tanganku hingga kulitku memutih. Seketika keenam temanku menyadari kemarahanku yang sudah sangat memuncak.

"Tenanglah Rev. Coba untuk berpikir positif untuk saat ini." Perintah Aldo mencoba bijak. Terkadang aku muak dengan tingkahnya yang selalu bijak itu. Sama seperti saat ini, dia sama sekali tidak mengetahui perasaanku.

"Kalau kau menyuruhku untuk tenang dan berpikir positif sekali lagi aku tidak akan segan memukulmu Do." Kataku geram.

"Okay.. Okay.. Bagaimana jika kita mulai mencari mereka?" Kyla mencoba menengahi.

"Aldo dan Tio akan mencari bersama sementara aku dan Alex, dan kau Rev. Kau harus pergi bersama kami." Perintah Kyla.

"Baiklah aku hanya ingin cepat menemukan Drea." Seruku dan segera keluar dari toko mendahului mereka. Alex mengejarku dan aku membiarkan dirinya mengejarku. Kupikir hanya dia sekarang yang dapat mengerti perasaanku, mengingat pemikiran possesive kita yang sama.

"Cheer up man! Aku yakin kau akan menyelesaikan masalah ini." Seru Alex menghiburku.

"Kuharap begitu. Aku hanya ingin agar dirinya baik-baik saja. Aku tidak dapat mencegah pikiran-pikiran negatif yang terus datang Lex." Akuku membuat Alex menghela nafas kasar.

"Kalau aku jadi kau. Aku tidak akan dapat menahan amarahku. Kau lebih hebat dalam mengontrol amarahmu."

"Jika Drea benar-benar terluka saat saat aku menemukannya nanti, aku tidak akan segan-segan untuk memukul Si Rico br*sek itu!" Janjiku.

"Kau bisa menyimpan amarahmu untuk nanti. Yang terpenting sekarang kita harus memastikan Drea baik-baik saja." Seru Kyla dari belakangku dan langsung disambut dengan gandengan tangan dari Alex.

"Kau benar." Balasku sambil menghela nafas kasar dan mengacak-ngacak rambut frustasi. Aku harus segera mencari Andrea secepatnya.